Memasuki 2021, artinya sudah memasuki tahun pajak baru. Rasanya gatal buat saya untuk mengingatkan teman-teman sekalian agar tidak lupa melaporkan SPT Tahunan PPh Badan Orang Pribadi. Memang sih deadline atau jatuh temponya masih agak lama, tepatnya di bulan akhir bulan Maret 2021, untuk pelaporan tahun pajak 2020.
Perlu diketahui juga teman pembaca dan kawan pajak yang budiman sekalian, pelaporan SPT Tahunan 2020 pada dasarnya sudah bisa dilaporkan pada bulan Januari ini, tapi ya bukan orang Indonesia namanya kalau tidak mepet-mepet laporannya, nanti kalau sudah mau habis masa temponya marah-marah tidak jelas karena jangka pelaporannya terlalu sempit, server-nya error, atau alasan-alasan lainnya.
Sini saya kasih tahu.
Seperti yang teman ketahui, server itu akan padat atau bahkan error apabila diakses dengan jumlah user yang banyak dalam waktu yang bersamaan, kurang lebihnya seperti itu. Saya rasa, di antara Kementerian yang lain, Kementerian Keuangan punya sistem website dan development server yang baik, apalagi seluruh pelaporan harus dilakukan secara elektronik, maka website sudah menjadi kewajiban untuk selalu terpelihara dengan baik.
Jadi saran saya, apabila tidak mau telat, susah, atau repot sebelum masa pelaporan tahunan pajak berakhir, maka laporlah lebih awal sebelum puncak arusnya dilalui.
Nah, sebelum pelaporan dilakukan, teman-teman harus mengetahui beberapa hal dasar terlebih dahulu sehingga tidak bingung dalam melaporkan SPT Tahunannya nanti, jadi saya bantu untuk mengenal SPT Tahunan lebih mendalam lagi.
Kenali formulirnya dahulu
Di beberapa artikel sebelumnya, saya sudah bicara panjang lebar mengenai form SPT Tahunan khususnya Orang Pribadi, kali ini saya ingin bantu mempertegas lagi agar teman-teman tidak bingung saat melaporkan kewajiban perpajakannya.
Formulir SPT Tahunan PPh Orang Pribadi, pada dasarnya terbagi atas tiga jenis, yaitu 1770, 1770 S, 1770 SS. Perbedaan tersebut dilakukan oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak) untuk mengklasifikasi pendapatan dan penghasilan Wajib Pajak. Siapa yang memiliki penghasilan di atas rata-rata, siapa yang di bawah rata-rata, dan siapa yang memiliki usaha sendiri. Mari kita bedah satu-satu.
Pertama, formulir 1770 digunakan bagi WP yang melakukan kegiatan usaha sendiri dan/atau WP yang melakukan pekerjaan bebas. Bedanya apa sih antara berkegiatan usaha sendiri dengan yang melakukan pekerjaan bebas? Mudahnya, WP yang melakukan kegiatan usaha sendiri adalah WP yang memiliki bisnis sendiri bisa dalam bentuk UMKM misalnya, ya contohnya si Bu Tejo punya usaha kue brownies dan omsetnya juga sudah lumayan. Nah Bu Tejo ini termasuk WP di dalamnya.
Bagaimana WP yang melakukan pekerjaan bebas? WP ini tergolong dalam WP yang memiliki profesi sebagai profesional, misal ada dokter, arsitek, aktuaris, akuntan, konsultan, pengacara, notaris, dan sejenis lainnya ini termasuk WP yang melakukan pekerjaan bebas. Artinya, jika Bang Hotman Paris mau laporan pajak SPT Tahunan, Bang Hotman memakai formulir ini karena dia termasuk pekerja profesional yang tidak digaji oleh perusahaan mana pun, atas penghasilannya dianggap sebagai profesional fee.
Mudah kan? Lanjut.
Kedua, formulir 1770 S, ini digunakan bagi WP yang bekerja di sebuah perusahaan baik satu perusahaan atau lebih yang penghasilannya sama atau di atas Rp60 juta dalam setahun. Jadi misalnya ada WP bernama Agus Mulyadi, memiliki penghasilan yang diakumulasi dalam satu tahun dengan dibuktikan melalui bukti potong yang diberikan oleh perusahaan paling tidak sama atau di atas 60 juta, maka Agus harus memakai formulir ini.
Bagaimana jika WP tersebut bekerja di dua perusahaan? Sama saja, tetap menggunakan formulir ini selama penghasilan yang diperolehnya adalah sama atau lebih dari 60 juta dalam satu tahun pajak.
Lanjut.
Ketiga, formulir 1770 SS, ini digunakan bagi WP yang bekerja di sebuah perusahaan yang penghasilannya apabila diakumulasi dalam satu tahun di bawah Rp60 juta. Terus terang saja penggunaan formulir ini terus terang saja banyak membingungkan WP. Di sisi lain, ada beberapa orang yang menyatakan apabila penghasilan dibawah 60 juta tidak usah laporan pajak, dan isu-isu lainnya.
Intinya seperti ini, pelaporan pajak baik yang di atas maupun yang di bawah 60 juta dalam satu tahun tetap harus wajib melaporkan SPT Tahunan. Hal ini untuk membuktikan bahwa kita WP yang taat terhadap ketentuan perpajakan yang berlaku, jadi apabila ada isu-isu seperti ini hiraukan saja, tetap laporkan. Wong sekarang laporan juga mudah kok, serba online semua tidak harus datang ke kantor pajak juga kan.
Persiapkan bukti potong
Bukti potong adalah aspek dan elemen penting yang harus ada dalam pelaporan pajak tahunan. Bukti potong merupakan dokumen otentik dari perusahaan, yang menunjukkan bahwa penghasilan kita telah rutin dipotong pajak, atas dasar tersebut, maka penghasilan yang kita terima dan yang telah dipotong (dibayarkan) pajak tercantum semua di bukti potong.
Kalau teman-teman yang bekerja di perusahaan BUMN, instansi pemerintah, atau perusahaan multinasional, tentu tidak asing dengan dokumen Bukti Potong. Dokumen tersebut harus diberikan oleh pihak perusahaan kepada karyawan sebagai bukti bahwa penghasilan mereka telah dipotong dan disetorkan kepada pajak, dan karyawan sebagai WP berhak dan wajib menerima bukti potong tersebut.
Bagaimana sih bentuk bukti potong? Teman-teman bisa cek langsung saja di Google Images dengan keyword Bukti Potong 1721 A1 (bagi pegawai swasta) dan 1721 A2 (bagi PNS/ASN). Tinggal di mana tempat bekerja teman-teman berada, A1 kalau swasta, A2 kalau bekerja di instansi pemerintah.
Nah, mumpung ini masih di awal tahun, staf akuntansi pun belum begitu sibuk, cobalah minta baik-baik untuk dicetakin bukti potongnya, biar bisa segera laporan pajak. Nanti kalau mendekati deadline, saya jamin bukan sambutan hangat tapi bentakan dan makian yang akan diterima. Ya iyalah, itu pasti mereka sedang sibuk-sibuknya.
Bukti potong itu tidak hanya 1721 saja ya teman-teman. Coba nanti kalau sedang selo bisa cek ke formulir 1770 S atau 1770 lampiran II. Ada beberapa penghasilan yang dikenakan final, artinya apabila teman-teman pernah bertransaksi yang memiliki penghasilan berbentuk final maka akan ada bukti potong yang diterima, karena penghasilan tersebut secara tidak langsung telah dilaporkan dan dipotong pajaknya, tapi kita sebagai WP lalai atau bahkan tidak peduli ada bukti potong yang harusnya diterima.
Misal nih, sekarang kan banyak milenial yang main saham-saham begitu, nah transaksi saham itu merupakan transaksi yang bentuknya final, dan penghasilan yang diterima atas capital gain dalam bermain saham itu secara tidak langsung pun pasti akan dipotong oleh tradernya. Namanya juga pebisnis kan, yang penting cuannya dapet tapi dilupakan aspek pajaknya, atau bisa jadi malah mereka bingung bukti potong itu apa.
Dengan artikel ini saya harap teman-teman yang berbisnis lebih aware juga dengan kewajiban perpajakannya ya, apalagi teman-teman yang bertransaksi di penghasilan yang bentuknya final, harus rajin minta bukti potong dengan lawan transaksi. Alasannya ya untuk laporan pajak.
Amati pergerakan aset
Nah sudah memahami form, sudah meminta bukti potong, lalu selanjutnya adalah mengamati pergerakan aset. Aset adalah elemen penting yang harus dilaporkan pada SPT Tahunan PPh Orang Pribadi. Secara garis besar, aset terbagi menjadi dua jenis yaitu (intangible asset dan tangible asset), aset yang tidak berwujud dan yang tidak berwujud. Aset berwujud itu ya yang kelihatan fisiknya, misal mobil, motor, sepeda, rumah, dan lain sebagainya. Itu harus dilaporkan di lampiran aset. Inget tuh yang punya sepeda sampe ratusan juta jangan lupa untuk dicantumkan di aset.
Lalu ada aset yang tidak berwujud tapi nyata manfaatnya, contoh seperti rekening tabungan, obligasi, deposito, dan aset yang bersifat likuid lainnya. Aset-aset tersebut termasuk ke dalam kategori aset tidak ada wujudnya.
Bagaimana pelaporannya?
Mudahnya, selama aset tersebut masih ada dan belum dijual maka wajib dan harus dicantumkan. Sebagai catatan, nilai dan tahun perolehan adalah harga berapa yang dikeluarkan untuk membeli aset tersebut, dan tahun berapa aset tersebut dibeli. Khusus untuk aset yang sifatnya likuid atau cair seperti rekening tabungan, deposito, obligasi, atau saham yang kita beli itu harus selalu di-update nilainya di setiap akhir tahun pajak.
Jadi misalkan, untuk pelaporan SPT Tahunan 2020 ini, nilai yang harus dicantumkan pada aset likuid tersebut adalah saldo per 31 Desember 2020. Harus rutin, ini khusus untuk aset yang likuid saja ya, kalau aset yang lain dicantumkan sesuai dengan harga beli.
Bagaimana kalau terjual? Apabila aset tersebut dalam bentuk rumah dan atau tanah itu harus dibayar pajak penghasilan finalnya, dan nilai jual serta pajaknya harus dicantumkan di SPT Tahunan kita, tapi bagaimana aset lainnya? Apabila tidak ada gain di dalam penjualan aset tersebut, maka tidak ada pajak penghasilan yang harus disetorkan. Tapi, apabila ada gain di dalamnya, maka pajak penghasilannya harus dibayarkan dan dilaporkan pada SPT Tahunan yang bersangkutan.
Aset yang sudah terjual, otomatis langsung bisa dihapus pada periode sebelumnya. Jadi yang dilaporkan hanya aset yang masih dikuasai atau dimiliki oleh Wajib Pajak saja.
Bagaimana, sudah siap laporan SPT Tahunan?
BACA JUGA Urgensi Kepemilikan NPWP yang Harus Dipahami oleh para Wajib Pajak dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya.