Apa Masalahnya kalau Kita Bangga Ada Orang Indonesia di The Last of Us?

Apa Masalahnya kalau Kita Bangga Ada Orang Indonesia di The Last of Us?

Apa Masalahnya kalau Kita Bangga Ada Orang Indonesia di The Last of Us? (Pixabay.com)

Semalam, ketika saya sedang rebahan di kamar sambil scrolling Instagram, saya menemukan sebuah berita yang cukup mengejutkan: dua orang pemeran film senior Indonesia, Christine Hakim dan Yayu Unru, muncul di sebuah series Hollywood produksi HBO yang bertajuk The Last of Us. Saya tidak akan terlalu jauh berbicara mengenai acara TV tersebut, karena toh, saya belum menyaksikannya. Namun, satu hal yang pasti: kemunculan aktor dan aktris tanah air itu sukses membuat netizen Indonesia bangga dan bahagia bukan main.

Meskipun begitu, ada saja pihak yang menganggap tindakan tersebut sebagai sesuatu yang “overproud” atau bangga secara berlebihan. Mereka berpendapat bahwa baik Christine maupun Yayu, kan, tidak menjadi pemeran utama, melainkan hanya pemeran sampingan. Maka dari itu, keterlibatan mereka dalam proyek yang diadaptasi dari video game itu tidak perlu terlalu “dirayakan” sebegitu hebohnya. Bahkan, ada pula yang mengolok-olok segala bentuk “overproud” yang dilakukan mayoritas netizen Indonesia dengan mem-posting meme legendaris bertuliskan “Ada Indonesia coy”. Kalian tahu, kan, meme yang saya maksud?

Bagi saya, sebetulnya tidak ada yang salah dengan segala ke-“overproud”-an yang dilakukan. Ketahuilah bahwa apa yang dicapai oleh Christine Hakim dan Yayu Unru memang merupakan sesuatu yang membanggakan. Tidak mudah untuk dapat terlihat di sebuah proyek Hollywood, terlebih dalam sebuah proyek yang tergolong besar dan cukup diantisipasi seperti The Last of Us. Dan walaupun peran mereka bukanlah yang utama di serial tersebut, tetapi, kan, mereka juga tidak sekadar cuma numpang lewat juga, bukan? Kalau misalnya adegan yang mereka lakoni tak lebih dari lima detik, barulah kita boleh “merendah” dan tidak membanggakannya secara berlebihan.

Selain itu, bagaimana bisa kita tidak merasa bangga atau setidaknya, menorehkan senyum sedikit pun, ketika menyaksikan aktor-aktris Indonesia unjuk muka di film atau series Hollywood? Saya ingat sekali betapa girangnya saya ketika menyaksikan Joe Taslim berkelahi dengan Sung Kang dan Tyrese Gibson di film Fast & Furious 6. Saya pun tak akan lupa momen ketika menyaksikan para trio The Raid—Iko Uwais, Yayan Ruhian, dan Cecep Arif Rahman—menjadi cameo singkat di Star Wars: The Force Awakens. Bahkan, hanya sekadar mendengarkan kata “Indonesia” disebut oleh Anthony Mackie, sang The Falcon, di salah satu episode serial The Falcon and the Winter Soldier saja sudah cukup untuk membuat hati saya terasa hangat.

Momen-momen seperti itulah yang membuat saya cukup “bodo amat” apabila diklasifikasikan ke dalam golongan yang “overproud” dengan Indonesia. Untuk saat ini, kita harus mengakui bahwa aktor-aktris Indonesia memang belum berada di taraf yang membuat mereka bisa menjadi pemeran utama di suatu proyek besar Hollywood. Levelnya kita barulah sampai di tahap memerankan peran sampingan, anak buah dari tokoh antagonis, atau bagi “Indonesia” sendiri, sekadar menjadi latar tempat dalam salah satu scene. Oleh sebab itu, daripada sibuk memperdebatkan apakah hal-hal semacam itu perlu dibanggakan atau tidak, saya rasa akan lebih baik jika kita menikmatinya saja dan mengapresiasi hal apa pun yang perlu diapresiasi.

Sebab, saya juga paham bahwa kelewat bangga akan sesuatu yang sebenarnya tidak hebat-hebat amat juga bukanlah sikap yang patut dimiliki. Seakan-akan kemampuan maksimal para aktor-aktris negeri ini hanya sampai segitu saja, sehingga kita langsung dibuat puas apabila melihat mereka mendapatkan peran cameo atau yang istilah kasarnya, “numpang lewat” di kancah perfilman dunia.

Namun, hal lain yang saya rasa menarik untuk di-highlight adalah kepintaran orang-orang di Hollywood sana untuk menggunakan Indonesia sebagai sarana memancing penonton. Mereka sadar bahwa orang Indonesia pasti akan “overproud” dengan hal itu. Mereka pun sadar bahwa ke-“overproud”-an itu pada akhirnya akan memberikan cuan yang tak sedikit.

Sebagai contoh, kita dapat menengok pada kasus keterlibatan Christine Hakim dan Yayu Unru di The Last of Us ini. Sebelumnya, jujur saya tidak tahu-menahu mengenai program TV tersebut. Saya tidak tahu bahwa itu merupakan hasil adaptasi dari video game, saya tidak tahu bahwa proyeknya sedang dikembangkan, bahkan saya tidak tahu bahwa serial yang dibintangi oleh Pedro Pascal itu telah dirilis sejak 15 Januari lalu. Singkatnya, saya sama sekali tidak tahu bahwa proyek itu eksis di dunia ini.

Akan tetapi, begitu media sosial tanah air ramai membicarakan mengenai kemunculan Christine Hakim dan Yayu Unru di dalamnya, saya seketika langsung menaruh perhatian kepada The Last of Us. Saya jadi menyaksikan official trailer-nya di YouTube, melihat cuplikan gameplay-nya, hingga tentunya, berencana menyempatkan waktu untuk maraton menyaksikan episode-episode yang telah dirilis sejauh ini. Bagi para kreator serialnya, ketertarikan saya tersebut pada akhirnya akan berbuntut pada bertambahnya pemasukan uang ke kantong mereka, bukan? Gimana nggak, lha wong saya jadi menonton beragam media promosinya dan streaming seriesnya. Uang semua itu, Bro!

Maka dari itu, saya ingin mengapresiasi setinggi-tingginya atas kecerdikan orang-orang di Hollywood sana. Mereka paham betul bahwa masyarakat Indonesia akan memberikan perhatian yang besar apabila ada aktor-aktrisnya yang terlibat di suatu proyek luar negeri. Maka dari itu, meng-cast mereka untuk ikut ambil bagian barang tentu akan menjadi langkah yang efektif dalam menjaring penonton. Suatu strategi yang terbukti ampuh dan tampaknya akan terus berhasil di masa-masa mendatang. Mengapa? Ya, karena orang Indonesia, kan, tak pernah lupa untuk “overproud”. Melihat ada Indonesia tampil atau sekadar disebut sedikit saja, mereka auto gaskeun untuk segera menikmati karya tersebut. Benar, ‘kan? Hehehe.

Pada intinya, tindakan “overproud” yang dilakukan haruslah dipandang sebagai bentuk dukungan dan apresiasi kepada para anak bangsa yang telah membuat bangga Indonesia di kancah internasional. Tak masalah walaupun peran mereka bukanlah yang utama, tetapi tetap saja, bisa ambil bagian di dalamnya sudah merupakan sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Bagi saya, menyebut semua dukungan tersebut sebagai sikap “overproud” sangatlah kurang pantas dilakukan. Terima saja fakta bahwa level Indonesia di perfilman dunia memang baru sampai di tahap ini. Jadi, rayakan saja itu dulu. Simpel, kan?

Penulis: Bintang Ramadhana Andyanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA The Last of Us: Beginilah Seharusnya Adaptasi Game Dibuat!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version