“Betah amat koh mbacain novel anu khayalan thok padahal,” kata seorang teman kamar mes saya belum lama ini. Lain waktu sebelumnya, teman saya yang lain pernah berkomentar juga dan lebih mengarah ke book-shaming, “Aduh bacaanmu kok novel terus, banyakin baca yang nonfiksi dong biar nggak halu mulu.” Dan, dengan dasar menjaga hubungan pertemanan, maka tanggapan saya adalah cuma menghela napas berbunyi “huh”, tiada dapat yang lain soalnya. Meskipun dalam hati banyak yang ingin saya ungkap. Jadi, melalui tulisan inilah satu-satunya jalan damai.
Kedua komentar teman saya tersebut, tentu punya makna dan niat yang berbeda. Teman pertama itu murni karena heran dan mungkin belum pernah merasakan kenikmatan membaca novel atau karya fiksi, sementara yang kedua mau merendahkan jenis bacaan saya. Meski berbeda, tapi tetap ada persamaan antara keduanya. Bahwa mereka hanya berhenti pada pemahaman kalau karya fiksi adalah khayalan dan bualan semata, tidak lebih. Dan, hal ini adalah kekeliruan yang cukup meresahkan namun terus bertahan di lingkungan pergaulan kita.
Kita bisa melihatnya di Twitter belakangan ini. Bagaimana masih banyak orang yang merendahkan jenis bacaan orang, terutama karya fiksi. Dan kali ini, bahkan menjadi trending, adalah Jisoo personel BlackPink yang jadi korban book-shaming saat akun Twitter @readmenid mengunggah daftar bacaannya yang kebanyakan adalah novel.
Hal ini bisa kita lihat juga dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana kita sering memakai kata “fiksi” untuk menggambarkan kebohongan atau sesuatu yang tak nyata. Memang tidak ada yang salah dengan itu. Fiksi memang sebuah karangan, buah imaji dari penulisnya. Namun, yang perlu untuk dipahami juga adalah bahwa kebohongan dan khayalan dalam karya fiksi itu sebuah kebenaran. Loh kok bisa?
Mario Vargas Llosa dalam esai berjudul Benarnya Kebohongan, yang termuat dalam buku terjemahan berjudul Matinya Seorang Penulis Besar (Immortal dan Octopus, 2018) menulis bahwa, “Fiksi adalah pengganti sementara kehidupan.” Maksudnya, kita dapat hidup dalam imaji yang tak nyata itu sehingga kita tergugah untuk mempertanyakan kehidupan nyata yang tidak ideal ini; menentang status quo.
Melalui karya sastra yang berkisah pencapaian harapan atau utopia tokohnya, misalnya, kita bisa hanyut di dalamnya. Untuk kemudian merasa heran dan resah mengapa kenyataan nggak seindah di sana. Nah, dari sinilah daya kritis dalam diri pembaca terpantik. Sebab, kenyataan tak pernah mengungkap secara jujur kebutuhan-kebutuhan itu, dan hanya karya fiksilah yang sanggup.
Atau, misalnya melalui kisah-kisah penderitaan atau distopia macam novel Bumi Manusia. Bagaimana Minke yang seorang pribumi selalu diperlakukan buruk oleh lingkungan yang terdidik itu. Bahkan, kekasihnya dirampas dari pelukannya. Kita hanyut di dalamnya dan menyadari bahwa kenyataan bisa seburuk itu, bahkan lebih. Sebagai contoh betapa magis pengaruh karya fiksi, novel tersebut bahkan memengaruhi pembaca untuk menentang Orba sehingga masuk daftar hitam di masanya.
Intinya khayalan-khayalan itu mampu, walau sedikit, memengaruhi pembaca untuk membelot pada kenyataan yang tidak memadai ini. Pun pada saat bersamaan, melalui sastra kita diantarkan pada keyakinan bahwa dalam situasi paling celaka pun, harapan tetaplah ada sehingga hidup ini layak diupayakan.
Eka Kurniawan pun dalam sebuah acara di Kafe Basabasi, pernah menyatakan hal serupa. Bahwa karya sastra mungkin tidak bisa mengubah dunia tapi bisa mengubah cara pandang kita pada dunia. Jadi, sebuah fiksi tidaklah murni kebohongan atau membohongi. Sebab, ia bukan bertugas merekam kehidupan manusia apa adanya seperti karya nonfiksi, melainkan menampakkan kebenaran atau kedalaman hasrat, nafsu, penderitaan, dan kondisi psikologis lain yang mustahil dibeberkan di kehidupan nyata maupun karya nonfiksi. Dengan kata lain, dengan membaca buah khayalan itu, kita sebagai pembaca juga semakin merasa nyata.
Maka, anggapan bahwa karya fiksi melulu khayalan yang tak layak dipercayai bahkan dibaca, menjadi keliru. Pada kenyataannya, secara sadar maupun tidak, pembaca fiksi pun bisa sampai pada pemahaman yang kritis. Toh, daya kritis tidak dimonopoli karya nonfiksi. Kalau oleh beberapa pembacanya yang snob lah, mungkin iya. Hehehe.
Lebih jauh, Vargas Llosa masih dalam esai yang sama, bahkan memiliki pandangan ekstrem, bahwa kenyataanlah yang justru kerap membohongi. Mengapa? Sebab ia dibentuk oleh doktrin-doktrin untuk memuluskan kepentingan penguasa seperti pengarangan sejarah yang sebenarnya palsu, contohnya. Saya kira, beliau sedang merujuk pada ungkapan bahwa sejarah ditulis oleh penguasa. Ya, kita juga tahu sendiri kalau kita itu korban kebohongan Orba melalui narasi antikomunisnya. Dengan demikian, kenyataan yang dibentuk oleh kebohongan macam itu mendorong kita ke jurang penderitaan.
Dari situlah, kehadiran karya fiksi menjadi tak kalah penting untuk bikin kita sadar, atau minimal resah terhadap apa yang sedang kita jalani. Maksudnya, oleh sebab dunia fiktif, kita jadi nggak bisa lagi main “ikhlasin aja”. Sebab ada kebenaran yang indah melalui khayalan atau utopia yang didapatkan dari karya fiksi sehingga dalam kenyataan hidup kita harus memperjuangkannya.
Maka, apa pun jenis bacaan yang ada punya pengaruh yang sama pentingnya. Tak ada yang lebih unggul dari yang lainnya kecuali kesombonganmu itu. Jadi, berhentilah berpikir bahwa fiksi cuma bualan belaka sampai kamu merasa boleh merendahkannya. Sebagai penutup, perlu ditekankan bahwa saya, kamu, Jisoo, atau siapa pun berhak memilih bacaan apa pun tanpa perlu merasa unggul satu sama lain.