Ujian literasi di sekolah-sekolah kita akhir-akhir ini bikin kepala saya cenut-cenut. Katanya sih, tujuan ANBK (Asesmen Nasional Berbasis Komputer) biar anak-anak makin paham literasi. Kedengarannya mulia. Tapi begitu melihat soal-soalnya, kok malah bikin saya ndlogok. Bayangin aja, hampir semua soal full bacaan. Panjang, njlimet, dan bikin anak-anak yang mengerjakan langsung pesimis dengan kemampuannya.
Saya ini guru. Kemarin ikut mendampingi siswa saat ujian ANBK. Begitu lihat isi soalnya, rasanya pengin ketawa sekaligus nangis. Soal literasi penuh bacaan panjang, soal numerasi juga begitu: bukan sekadar berhitung, tapi dihiasi paragraf cerita yang panjang.
Banyak hal juga sengaja disertakan meski bukan ini dari soal. Seakan tipe soal menjebak murid banyak-banyak baca, meski pertanyaannya ada di beberapa bagian saja. Hasilnya anak-anak sudah capek duluan sebelum nemu jawaban.
ANBK, konsep ndlogok sejak dari pikiran
Biar kita urai dulu masalah, ini konsep sederhana, ketika ada anak tidak bisa menendang bola, maka solusinya adalah latihan menendang, bukan ujian menendang. Bukankah begitu? Namun, di dunia pendidikan, yang terjadi adalah, untuk meningkatkan literasi, solusi yang dipakai adalah membuat ujian literasi macam ANBK. Edan. Aneh banget.
Maksud saya, literasi itu soal proses, bukan produk. Bukan soal seberapa cepat anak bisa menebak jawaban dari bacaan panjang. Literasi itu tumbuh pelan-pelan, dari kebiasaan, dari lingkungan, dari buku yang tepat. Lah ini, negara kayaknya mikirnya: “Ayo dites biar kelihatan hasilnya.” Padahal yang dites bukan sekadar angka, tapi kesiapan membaca yang butuh proses panjang.
Kalau memang serius mau bikin anak-anak suka baca, caranya jelas bukan dengan menjejali mereka soal-soal berlembar-lembar macam ANBK. Pertama-tama, bikin kurikulum yang pas. Kurikulum yang nggak sekadar mengukur, tapi benar-benar memberi ruang anak untuk berproses. Kedua, yang paling penting, hapus pajak buku. Saya ulangi: hapus pajak buku.
Menghapus pajak buku adalah koentji
Kalau mampir ke toko buku dan melirik sebentar harga di sana, rasanya agak mustahil in this economy ada anak desa yang beli buku. Bukan soal tidak mau beli, tapi tak mampu syayanggg. Saya saja meski lebih suka aroma buku fisik, tapi lebih pilih e-book yang harganya lebih murah. Pertimbangannya adalah harga dan kondisi kantong.
Pun banyak guru dan orang tua juga demikian. Mereka ingin beli buku bagus buat anak-anaknya, tapi kantongnya langsung megap-megap. Alhasil, jangan kaget ketika perpustakaan sekolah isinya buku-buku seadanya. Nggak usah buru-buru nyalahin perpustakaan, wong akses beli buku berkualitas dengan harga terjangkau aja masih susah. Itu makanya yang bikin ANBK ini makin kelihatan aneh.
Saya jadi teringat ucapan Kepala Perpustakaan Nasional RI, Pak Aminudin Aziz. Kata beliau, “Anak-anak itu bukan tidak senang membaca buku, melainkan tidak sesuai dengan minat atau usianya. Masa anak-anak sekolah diberi buku tentang budidaya lele? Tentu saja, selain mereka tidak minat untuk membacanya, juga tidak sesuai dengan usianya.”
Nah, ini juga persoalan klasik. Banyak perpustakaan yang memang fokus ke “jumlah” buku, bukan kualitasnya. Akhirnya, koleksinya penuh dengan buku-buku yang bahkan guru pun malas buka. Bayangin, anak SD dikasih buku panduan ternak, atau anak SMP disuruh baca buku laporan penelitian. Gimana mau literat kalau bahan bacanya aja bikin ngantuk sebelum sampai halaman tiga?
Semua tetap salah pemerintah
Saya tidak paham bagaimana proses brainstorming sampai-sampai tercetus ide membuat ANBK. Tapi kalau boleh sedikit memberi usulan, jika pemerintah benar-benar mau meningkatkan literasi, jangan fokus di hilir dengan cara menguji. Selain salah kaprah, juga cuma memperibet banyak orang, baik murid maupun guru. Fokuslah saja di hulu: perbaiki ekosistem membaca. Perbanyak buku bagus, murah, relevan dengan usia. Dorong sekolah bikin aktivitas membaca yang asyik, bukan menakutkan.
Ujian literasi lewat ANBK ini ibarat mau bikin orang jago berenang, tapi ujiannya langsung dilempar ke laut dalam. Ya jelas panik, tenggelam, lalu ujung-ujungnya kapok. Karena itu fokuslah di proses. Anak-anak akan suka literasi dengan sendirinya kalau memang dibiasakan. Bukan ujug-ujug diujikan.
Kalau negara masih ngotot pakai cara ini, jangan heran kalau yang terjadi bukan peningkatan literasi, tapi anak-anak tambah stres menjadi-jadi. Sekali lagi, literasi tumbuh karena cinta pada bacaan, bukan karena ketakutan pada ujian. Selama negara masih mikir bahwa semua bisa diukur lewat soal, ya literasi kita bakal kusut terus, bahkan sejak dalam pikiran.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Guru dan Siswa Nggak Sempat Baca Buku: Guru Diburu Berkas, Siswa Diburu Tugas, Literasi Kandas
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
