Entah siapa yang kali pertama menyodorkan nama dokter Reisa Broto Asmoro sebagai juru bicara di Tim Komunikasi Gugus Tugas Covid-19, tapi yang pasti kehadiran dokter yang pernah menjadi host di acara dr.OZ Indonesia ini sukses membuat informasi covid-19 di Indonesia jadi ada manis-manisnya. Hayo ngaku, kalau disuruh pilih pasti kalian juga lebih suka lama-lama memandang dr. Reisa daripada jubir sebelumnya kan? Kan? Kan?
Saya yakin tentu awalnya tidak mudah bagi dokter Reisa untuk mengiyakan posisi sebagai jubir penanganan covid-19. Jelas posisi jubir nasional ini lebih berat daripada sekedar didapuk sebagai duta-dutaan macam duta pancasila apalagi duta sampo lain.
Bayangkan, dengan posisi ini, dokter Reisa tidak hanya dituntut harus mampu mengkomunikasikan dengan baik kepada masyarakat terkait edukasi dan perkembangan penanganan corona saja tapi juga bagaimana agar masyarakat percaya dengan apa yang disampaikan.
Saya ambil contoh ketika dokter Reisa menyebutkan bahwa Indonesia saat ini telah memeriksa lebih dari 10.000 spesimen setiap harinya atau ketika menyebut bahwa terdapat 195 laboratorium deh, bagaimana cara menyampaikan yang tepat agar masyarakat betul-betul percaya bahwa: eh iya kok beneran sumpah, pemerintah beneran serius geetoo dalam menangani coronaaa. Bukannya malah jadi mikir: Hilih. Kiti sipi??
Melihat penampilan perdana dokter Reisa kemarin, saya jadi tergerak untuk mengomentari dari sudut pandang saya sebagai seorang pembina teater di sekolah.
1. Grogi itu Manusiawi
Seorang pemain teater meski ia sudah sering tampil, perasaan nervous alias grogi pasti ada. Untuk mensiasatinya, para pemain kerap melakukan meditasi sebelum pementasan.
Yang kemudian membedakan antara pemain teater professional dengan yang masih amatir dalam hal mengatasi rasa gugup adalah kemampuannya untuk beradaptasi. Yang professional, sekali tarikan nafas panjang sesaat sebelum naik panggung sudah cukup menenangkan hati. Beda dengan yang amatir. Sudah naik panggung pun kadang masih saja grogi. Baru setelah beberapa menit kemudian, pemain mulai bisa beradaptasi dengan suasana panggung.
Jika kita lihat menit pertama video dokter Reisa, terlihat sekali bahwa bu dokter cantik ini sedang berusaha untuk beradaptasi. Beberapa kali terlihat ketidaksesuaian antara ekspresi wajah, intonasi dan pesan yang sedang disampaikan. Termasuk jeda yang tidak jelas antara kalimat yang dipisahkan dengan titik atau dengan koma sehingga ada beberapa informasi yang sulit dipahami. Faktor grogi mungkin. Dan itu wajar. Iya kan?
2. Gerak bermakna
Dalam teater, tiap gerak sekecil apa pun yang dimunculkan haruslah memiliki alasan. Alasan dibutuhkan agar gerakan memiliki arti. Misal dalam suatu adegan pemain mengangkat tangan, apa alasannya? Kenapa tangan diangkat? Kalau memang tidak ada alasan yang kuat untuk mengangkat tangan ya tidak usah dilakukan.
Meski gerak dalam teater itu penting, tidak semua harus serba bergerak. Diam, asal karakternya kuat akan jauh lebih bagus daripada memaksakan diri untuk melakukan gerakan yang ujung-ujungnya malah membuat penonton jadi: ih, apaan siy?
Sebagai pembina teater, jika dokter Reisa adalah anak didik saya yang kebetulan sedang berperan sebagai jubir penanganan covid-19, maka pasti beberapa kali akan saya teriaki: “Cut cut cut!!”. Habis itu anaknya tak panggil trus tak bisiki, “Nggak usah kebanyakan gerak. Malah ora apik. Kamu diem aja udah kuat kok.”
3. Fase Lebay
Saat tampil di panggung, ada fase ketika pemain tiba-tiba berakting lebay. Biasanya ini terjadi ketika mereka sudah beradaptasi dengan panggung dan sudah merasa menemukan ‘feel’nya. Keasikan, gitu, yang malah akhirnya jadi lebay. Sayangnya, seringkali pemain sendiri tidak menyadari. Justru penonton lah yang bisa merasakannya. Baru setelah melihat rekaman ulang, pemain menyesal: Duh, kok gue gitu banget ya tadi??
Jika dikaitkan dengan penampilan perdana dokter Reisa, maka dimanakah letak fase lebaynya? Oo tentu saja saat bu dokter menjelaskan tentang protokol kesehatan seperti pakai masker, dll. Itu lohhh yang kata kalian seperti orang lagi baca puisi. Ah, emang suka ngarang nih orang-orang. Jangan dengerin, Dok. Sudah bagus, kok. Tapi ngomong-ngomong, kapan keluarin album lagi? Saya sih paling suka lagu ‘Tejebak Nostalgia’ sama ‘Mantan Terindah’. Eh.
BACA JUGA Dokter Reisa Broto Asmoro Direkrut sebagai Tim Komunikasi Publik Gugus Tugas Covid-19 dan tulisan Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.