Menjadi anak sulung atau anak yang dilahirkan di posisi pertama memang luar biasa. Tidak hanya rasa bangga berada di posisi pertama saat dilahirkan. Menjadi anak pertama tentu saja menjadi makhluk spesial yang sering kali permintaannya selalu dituruti (sebelum yang namanya adik hadir). Namun jangan dikira menjadi anak pertama itu mudah dan menyenangkan. Banyak tekanan yang didapat, banyak harapan disampirkan di pundak, dan banyak kesalahan adik yang dilampirkan ke wajah anak-anak sulung.
Alasannya? Karena lebih tua, dewasa, hingga dianggap lebih bijaksana. Ini tidak menyoal keluhan betapa sulitnya menjadi anak sulung. Namun lebih dari itu, ini adalah sebuah kebanggaan menjadi anak pertama karena bisa menjalani sebuah proses yang 11-45 sama latihannya agen Mossad. Ya memang tidak ada hubungannya. Tapi satu yang seharusnya bisa ditangkap oleh kita semua bahwa jadi agen Mossad itu sulit, begitu pula jadi anak sulung (katanya).
Tetapi bagaimanapun sulitnya menjadi anak sulung. Pengalaman dan pola asuh yang dirasakan anak pertama memang sebanding dengan hasilnya. Yang kalau boleh saya sebut jika anak pertama berhasil lulus dari proses tempaan (pola asuh khusus oleh orang tua) maka ia akan menjadi manusia bijaksana yang sangat berbelas kasih dan tanpa celah.
Mengapa hal itu terjadi? Bagaimana tidak bijak dan penuh belas kasih. Anak sulung sedari kecil sudah ditempa (diberikan pola asuh khusus) dengan ditanami mindset harus menjadi pemimpin, harus mengalah, harus bersikap adil, hingga harus menjadi mandiri. Apalagi jika anak sulung ini sudah memiliki adik. Bertambahlah apa yang ditanamkan dalam mindset anak sulung. Mulai dari diperingatkan untuk tidak cengeng, tidak manja, mau mengakui kesalahan yang sebenarnya dilakukan adiknya, hingga yang paling umum adalah ajaran untuk, “Jangan pernah bersikap buruk, nanti adik ngikutin kamu.”
Selain diberikan ajaran dan harapan yang sangat luar biasa. Anak sulung juga dijadikan prototype manusia sempurna untuk adik-adiknya. Kalau mau baik, lihat kakakmu. Kalau adik tidak baik, yang dijadikan kambing hitam sering kali kakaknya. Anak pertama adalah model percontohan yang perannya sudah semacam presiden. Kalau ada kelakuan rakyat yang aneh-aneh, semua salah presiden.
Sama halnya kalau adik melakukan hal aneh, yang sering disalahkan adalah si sulung karena tidak mencontohkan perilaku yang baik kepada si adik. Semua yang diajarkan dan dibebankan orang tua kepada anak sulung itu pada akhirnya jika memang benar-benar diserap akan melahirkan seorang manusia sempurna yang tanpa celah. Tapi ini jika memang benar-benar diserap dengan baik. Karena faktanya di dunia ini tidak ada manusia sempurna. Maka satu yang bisa diambil hikmahnya adalah ternyata menjadi manusia sempurna itu susah, begitulah kira-kira gerutuan si sulung kepada si bungsu.
Ketika menjadi manusia sempurna ternyata susah bagi anak-anak sulung. Itu bukan berarti semua tempaan (pola asuh khusus), harapan, dan tanggung jawab yang didapat anak pertama akan pudar tak berbekas. Justru semua hal tersebut bisa menggumpal menjadi sebuah kepribadian yang membentuk para anak pertama menjadi oknum manusia yang lebih baik. Jiwa kepemimpinan lahir, sifat mandiri terbentuk, dan kuatnya mental terasah.
Anak sulung adalah simbol kesempurnaan yang sejatinya tidak bisa diraih tapi selalu ingin dicapai oleh para orang tua. Padahal ujung-ujungya semua kembali kepada diri manusia masing-masing, bukan kepada anak pertama masing-masing. Tapi ini semua bukanlah penderitaan. Semua tempaan dan harapan adalah inisiasi yang harus dilewati oleh anak-anak sulung di manapun keberadaannya. Dan itu bukanlah hal yang buruk. Semua orang tua pastilah paham kapasitas anak pertama mereka. Maka dari itu para orang tua selalu memberikan ajaran dan tempaan yang agak lebih kepada anak sulungnya. Tidak peduli anak sulung itu bisa menerima atau tidak, yang penting orang tua yakin saja dulu. Tentu ini harus dimaklumi. Karena semua itu demi satu hal, kebaikan.
Lantas, apakah menjadi anak sulung merepotkan? Tentu saja tidak. Menjadi anak sulung tidak merepotkan. Yang merepotkan itu ketika disuruh menjadi manusia sempurna yang tanpa celah dan diharapkan menjadi gerbang pembuka kesuksesan dalam keluarga. Kadang itu merepotkan. Tapi apa daya, anak sulung sudah seperti simbol kebaikan hakiki yang harus berperan layaknya Nabi di depan adik-adiknya. Yang pada kenyataannya sangat sulit dan 99% memang mustahil dilakukan.
Anak sulung, tanggung jawab lebih, harapan yang besar, dan model percontohan adalah satu kesatuan yang saling berkaitan. Tidak untuk mengglorifikasi bahwa jadi anak pertama itu repot, ribet, dan bebannya gede. Hanya sebagai pengingat saja, segede-gedenya tanggung jawab anak sulung dan betapa pun merepotkannya menjadi anak pertama, tetap lebih sulit menjadi orang tua, ujar Bapak dan Ibu saya.
BACA JUGA Ada Apa dengan Anak SD Zaman Sekarang? atau tulisan M. Farid Hermawan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.