Amikom Jogja memang tidak segemerlap kampus lain, tapi tak berarti dia redup. Justru ia membuktikan bahwa ketenaran bukanlah satu-satunya bukti keberhasilan
Di Indonesia, ada banyak cara untuk dikenal sebagai kampus unggulan. Bisa lewat ranking-ranking besar, bisa lewat kolaborasi internasional, bisa juga lewat popularitas di media sosial. Tak sedikit kampus yang gencar beriklan, mengatur citra, dan tampil penuh pencapaian di hadapan publik.
Namun, ada satu kampus di Yogyakarta yang memilih jalan sunyi. Ia tak banyak berisik, tak sering muncul di televisi, bahkan tak jadi bahan obrolan orang tua ketika mencari referensi universitas untuk anaknya. Tapi ia tumbuh. Bekerja. Berkarya. Dan pelan-pelan, ia membuktikan bahwa ketenaran bukan satu-satunya bukti keberhasilan. Kampus itu bernama Universitas Amikom Yogyakarta.
Amikom tidak seglamor yang lain, tapi sungguh berisi
Bila kamu pernah lewat Jalan Ring Road Yogyakarta dan melihat gedung bernuansa ungu dengan nama “Amikom” di atasnya, mungkin tak banyak yang langsung terkesan. Tidak ada gapura megah, tidak ada menara tinggi yang menjulang. Tapi di balik kesederhanaannya, kampus ini menyimpan cerita luar biasa.
Amikom tak sibuk mengejar label kampus nomor satu di media nasional. Ia lebih memilih memperkuat sistem internal, mengembangkan ekosistem kreatif, dan membiarkan hasilnya yang berbicara. Tahun 2024, Amikom dinobatkan sebagai peringkat pertama dunia dalam kategori Leadership versi WURI (World’s Universities with Real Impact). Ini bukan penghargaan kaleng-kaleng. Ini dunia yang bicara.
Lucunya, pencapaian luar biasa itu tak ramai diberitakan. Tak viral di lini masa Twitter. Tak diangkat di acara-acara talkshow nasional. Seolah-olah prestasi itu lewat begitu saja. Tapi bagi yang paham dan berada di dalamnya, itu adalah bukti sahih bahwa kerja diam-diam bisa jauh lebih bertenaga dari sorotan kamera.
Budaya kerja dan karya: mahasiswa Amikom tidak manja
Yang membuat Amikom Jogja unik bukan cuma pencapaiannya, tapi budaya manusianya. Di kampus ini, mahasiswa tidak dimanjakan oleh fasilitas atau gengsi. Banyak yang harus membagi waktu antara kelas dan pekerjaan. Ada yang menjadi freelancer desain, ada yang ambil proyek coding sambil mengejar deadline tugas, dan ada pula yang bekerja sebagai videografer dari sore sampai malam.
Mereka bukan anak-anak dari kasta atas dunia akademik. Mereka adalah para pejuang jalanan digital yang belajar, gagal, mencoba lagi, sambil terus menabung skill yang akan jadi bekal hidup.
Di banyak tempat, mahasiswa mengejar IPK tinggi untuk dapat pujian. Di Amikom Jogja, IPK penting, tapi skill dan karya jauh lebih menentukan. Buktinya? Banyak alumni yang kini bekerja di industri kreatif nasional bahkan global, dari animator, programmer, digital marketer, sampai startup founder.
Komunitas tumbuh bukan karena uang, tapi karena tujuan
Tak seperti kampus lain yang kegiatan mahasiswanya banyak tergantung pada anggaran birokrasi, komunitas di Amikom Jogja justru sering tumbuh dari kemandirian. Komunitas film, komunitas pengembang game, komunitas UI/UX, hingga komunitas enterpreneur, semuanya berkembang dari semangat dan niat, bukan dari subsidi.
Oleh karena itulah, banyak kegiatan mahasiswa di sini tak hanya bertahan, tapi berkembang. Mereka belajar bukan dari dosen saja, tapi dari rekan seperjuangan. Dari jam terbang, dari kesalahan, dan dari proses yang tak selalu manis.
Sebuah animasi karya mahasiswa Amikom pernah diputar di luar negeri. Aplikasi buatan mereka banyak yang lahir bukan dari tugas kuliah, tapi dari keresahan pribadi yang kemudian diterjemahkan jadi solusi. Hal-hal semacam ini mungkin tak terlihat dari luar. Tapi justru itulah kekuatan sejati: tumbuh tanpa sorotan, berkembang tanpa gembar-gembor.
Kampus yang tidak sering diperhatikan, tapi sering melahirkan solusi
Bila kamu hanya menilai kampus dari seberapa sering ia muncul di televisi atau seberapa besar billboard promosinya, maka mungkin kamu akan melewatkan Amikom Jogja. Tapi bila kamu melihat dari bagaimana kampus itu mengubah cara pandang, membentuk daya juang, dan memberi ruang bagi kreativitas, kamu akan paham bahwa Amikom adalah tempat yang layak disebut rumah bagi para pencipta masa depan.
Amikom tidak sedang berlomba jadi kampus paling tenar. Ia sedang berusaha menjadi kampus yang paling siap melahirkan solusi. Kampus yang menanam kepercayaan pada mahasiswanya untuk tumbuh dengan cara yang paling cocok untuk mereka. Kampus yang tidak menyiapkan jalan, tapi membentuk pejalan.
Kita tidak perlu selalu tampil untuk bermakna
Hari ini, mungkin Amikom belum selalu dilihat. Belum dianggap berada di level kampus-kampus “favorit nasional.” Tapi percayalah, proses tak pernah membohongi hasil.
Suatu hari nanti, kamu akan melihat alumni Amikom muncul di balik aplikasi yang kamu gunakan setiap hari. Di balik film yang kamu tonton, di balik iklan digital yang kamu kagumi. Di balik startup yang kamu pikir berasal dari luar negeri, padahal itu karya anak Yogya.
Dan saat itu, kamu akan sadar bahwa kampus unggulan tak selalu punya panggung, tapi selalu punya dampak.
Buat kamu yang sedang mencari tempat belajar bukan hanya untuk nilai, tapi untuk menjadi manusia yang lebih tangguh, Amikom bisa jadi tempat yang tepat. Mungkin tak gemerlap, tapi menyala dari dalam.
Penulis: S Aji P
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















