Ngomongin kuliner Semarang tidak pernah ada habisnya. Ada banyak sekali makanan dan minuman yang bisa dicicipi di sana, Es Puter Conglik sudah pasti jadi salah satunya. Apalagi untuk pelancong yang baru pertama kali mampir Kota Atlas, Es Puter Conglik jadi daftar teratas. Sebagai warga lokal Semarang saya nggak heran sih, jajanan pencuci mulut ini memang legendaris.
Berbeda dari kebanyakan es krim modern, Es Puter Conglik setia mengusung cita rasa tradisional. Tekstur es yang disajikan bukan tipe lembut mirip es krim, apalagi gelato. Sebaliknya, ada kesan sedikit berpasir yang justru bikin kangen ketika es tersebut meleleh di rongga mulut.
Konon, rahasianya terletak pada bahan baku yang digunakan. Semua bahan yang dipakai dalam proses pembuatan es puter tersebut masih asli. Tanpa ada pemanis atau pewarna sintetis maupun penguat rasa. Bahkan, potongan buah yang dijadikan topping pun selalu segar. Itu mengapa ada sensasi krenyes-krenyes saat digigit.
Jujur saja, sebagai warga lokal Semarang, saya turut bangga ada kuliner klasik asal Kota Atlas yang terkenal hingga ke mana-mana. Namun, di balik segala keunggulannya tersebut, jumlah kunjungan saya ke sana dapat dihitung dengan jari. Bukan tak suka, tetapi saya punya pengalaman dan pertimbangan pribadi yang sering membuat enggan kembali.
Es Puter Conglik Semarang dijual petang, padahal lebih cocok disantap siang
Sejujurnya jam operasional Es Puter Conglik Semarang bikin saya heran. Es puter dingin seharusnya bisa menjadi oase di siang hari yang terik. Eh, malah jajanan satu ini baru dijual pukul 6 sore hingga 11 malam. Padahal jam segitu kan enaknya rebahan sambil scroll medsos ya.
Apalagi, kedai Es Puter Conglik berdekatan dengan Simpang Lima yang padat merayap saat menjelang malam. Kalau Es Puter Conglik ini buka tepat saat terik matahari sedang panas-panasnya, mungkin saja saya jadi pelanggan loyalnya. Bagi saya, waktu menyambut gelap lebih cocok ditemani teh hangat dan pisang goreng ketimbang semangkuk es puter.
Baca halaman selanjutnya: Tempat kaki lima …
Tempat kaki lima, harga hotel bintang lima
Nah, berikut ini poin yang sering bikin saya ngelus dada. Es Puter Conglik gerainya berupa warung tenda di tepi jalan utama. Tepatnya di Jalan KH. Ahmad Dahlan, dekat Simpang Lima. Orang semarang pasti paham, betapa sulitnya cari parkir di sana, apalagi parkir mobil.
Buat yang belum tahu, saya beri gambarannya. Es Puter Conglik terletak di persimpangan yang ramai karena berseberangan dengan mall dan rumah sakit besar. Mencari spot parkir di sana bisa bikin senewen. Selain ramai kendaraan, toko-toko di sekitar Es Puter Conglik jelas menolak kehadiran mobil yang parkir di depannya.
Makan di tempat juga kurang sreg. Soalnya, sering disela pengamen. Belum lagi soal harga makanannya sendiri yang bikin auto megap-megap pas bayar. Seporsi Es Puter Conglik dihargai mulai dari Rp25 ribu.
Saat terakhir mampir, pembayaran cuma bisa pakai uang tunai
Satu lagi yang bikin saya jadi agak ogah-ogahan. Di sana tidak melayani pembayaran nontunai. Itu berdasar pengalaman terakhir kali ke sana pada akhir 2024 lalu. Pada saat itu, belum hilang rasa kaget atas nominal yang mesti dibayar, saya masih dikejutkan dengan fakta sang penjual tidak menerima pembayaran digital.
Untungnya, waktu itu lembaran rupiah di dompet saya masih mencukupi. Kalau tidak, pasti malu sekali. Selain itu, harus repot cari ATM dan mungkin juga wajib meninggalkan kartu identitas buat jaminan. Ditambah lagi, boleh jadi es puter yang disiapkan juga keburu meleleh karena menunggu pembeli selesai tarik tunai.Entah kalau sekarang. Mungkin saja mereka sudah mau menerima pembayaran digital.
Saya pribadi sudah kadung kapok dan malas untuk mampir. Saya cenderung berpikir dua kali sebelum ke Es Puter Conglik, kecuali kalau ada yang mau traktir ya. Mungkin saya akan ke sana lagi untuk menemani teman yang lagi main ke Semarang dan penasaran dengan kuliner legendarisnya. Pesan saya, bawa thermal bag atau wadah sendiri kalau mau dibawa pulang. Soalnya mangkuk dan gelas plastiknya tipis sekali. Pokoknya nggak banget untuk jajanan pinggir jalan dengan harga segitu.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA 5 Kuliner Malang yang Jarang Disantap Warga Lokal, bahkan Dihindari.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
