Pilihan perguruan tinggi di Semarang memang beragam. Dari yang sudah dikenal luas dengan segudang prestasi dan reputasi mentereng, hingga yang sering kali diposisikan sebagai “pilihan paling buntas” atau paling terakhir. Salah satunya adalah UNNES, kampus almamater saya, yang entah kenapa masih kerap ditempatkan di kategori terakhir itu.
Tentu bukan karena kualitasnya buruk. Tapi tampaknya karena kampus ini masih harus bersaing keras dengan tetangganya yang berlokasi di Tembalang, yang sudah duluan jadi anak emas di mata masyarakat.
Saya masih ingat betul bagaimana reaksi orang-orang saat saya bilang akan kuliah di UNNES. Ada yang bertanya dengan heran, “Kenapa nggak di Undip aja?” Ada pula yang langsung menilai, “Loh, kampus biasa gitu kok dipilih, tiwas kuliah adoh-adoh.” Seolah-olah keputusan kuliah harus selalu disesuaikan dengan ekspektasi publik dan dosa besar saat tak memilih kampus dengan peringkat top lima nasional.
Banyak yang tidak sependapat dengan pilihan saya waktu itu, tapi ya begitulah. Kadang keputusan pribadi harus tetap dijalani meski tidak mendapat banyak dukungan.
Meski sempat bikin ragu, saya akhirnya tetap mantap memilih UNNES. Bukan karena kehabisan pilihan, tapi karena saya memang punya alasan masuk kampus UNNES.
Alasan masuk kampus UNNES karena berjasa karena bisa mengembalikan uang pangkal saya yang nominalnya puluhan juta
Salah satu hal yang membuat saya kekeh memilih UNNES adalah karena kampus ini secara tidak langsung menyelamatkan kondisi finansial keluarga saya. Bayangkan saja, sebelumnya saya sudah lebih dulu dinyatakan lolos di salah satu kampus swasta paling bergengsi se-Semarang. Lokasinya strategis, dekat dengan Tugu Muda, dan jurusan yang saya ambil pun bukan kaleng-kaleng: Teknik Informatika. Jurusan bergengsi dengan prospek kerja paling menjanjikan katanya.
Rasanya kala itu semua sudah tampak ideal… sampai saya tercengang melihat nominal uang pangkalnya.
Waktu itu, untuk bisa daftar ulang saja, orang tua saya harus merogoh kocek sebesar 27 juta rupiah. Iya, baru daftar ulang, lho. Belum sewa kos, belum biaya makan, belum rakit PC biar bisa jadi hacker terkemuka. Meski begitu, orang tua saya tidak mengeluh. Mereka bahkan menyanggupi dan sudah melunasi semuanya, berharap anaknya bisa kuliah di kampus elite dengan jurusan super keren.
Sampai akhirnya saya mencoba beradu nasib untuk ikut tes SBMPTN dengan pilihan pertama di Undip dan kedua di UNNES. Ternyata takdir membuat saya lolos di pilihan kedua. UNNES menerima saya dengan tangan terbuka. Setelah diskusi panjang kali lebar dengan orang tua, kami sepakat untuk pindah haluan dan makin mantap untuk memilih Unnes.
Beruntung, kampus swasta tempat saya sempat diterima punya kebijakan yang cukup manusiawi. Mahasiswa yang lolos jalur SBMPTN diperbolehkan mengundurkan diri dan bisa mengajukan pengembalian uang pangkal—meskipun tetap ada potongan 20%. Ya, lumayan lah, daripada harus merelakan semuanya hilang begitu saja.
Saat itu, saya memang belum sepenuhnya yakin apakah memilih UNNES adalah keputusan paling tepat. Tapi yang jelas, kehadiran UNNES membuat saya selamat dari kewajiban membayar UKP, biaya SKS, dan tetek bengek lainnya.
Tidak perlu effort untuk beradaptasi atau mengubah gaya hidup
Alasan masuk kampus UNNES yang lain adalah karena sejak awal, saya tidak merasa perlu berjuang keras untuk menyesuaikan diri. Lingkungannya sudah terasa akrab bahkan sebelum saya resmi jadi mahasiswa. Saya pertama kali berkunjung ke UNNES sekitar akhir tahun 2016, waktu itu ikut touring ke Semarang dan diajak sarapan di sekitar kampus oleh seorang teman yang sudah lebih dulu kuliah di sini.
Begitu sampai, suasananya langsung membuat nyaman. Udaranya sejuk, jalanannya tidak terlalu padat, dan warung nasinya banyak yang murah. Ini, jelas salah satu indikator penting bagi anak rantau. Rasanya malah bukan seperti sedang main ke kota besar, tapi lebih mirip mampir ke desa sebelah yang jalannya kebetulan lebih bagus.
Saat akhirnya resmi menjadi mahasiswa baru pada 2018, saya semakin yakin bahwa kesan awal itu tak pernah salah. Bahkan tidak ada gegar budaya, tidak ada tekanan untuk tampil ala-ala “anak kota.” Lingkungan kampus yang tenang dan ritmenya yang tidak tergesa-gesa membuat saya bisa tumbuh sesuai kapasitas, bukan hanya terkekang oleh kompetisi.
UNNES, bagi saya, bukan cuma kampus tempat menimba ilmu, tapi juga ruang yang menerima dengan ramah siapa pun yang datang, termasuk anak desa yang lebih akrab dengan hutan ketimbang kafe kekinian.
Kuliah di UNNES bonusnya bisa refreshing tiap hari
Alasan masuk kampus UNNES lainnya, karena ia merupakan paket lengkap. Bukan cuma ilmu yang didapat, tapi juga dikasih bonus refreshing setiap hari. Setelah seharian bergelut dengan tugas dan perkuliahan, cukup melangkah keluar kampus, kamu sudah bisa menikmati udara segar dan pemandangan hijau yang menyejukkan.
Berbeda jauh jika saya nekat memilih kuliah di kampus swasta yang lokasinya tengah kota. Di mana kemacetan akan menjadi santapan sehari-hari, biaya kos dan makan yang mahal juga bisa membuat kantong makin mengkis-mengkis. Jadi, kuliah di UNNES bukan lagi sekadar mengejar gelar, tapi juga menikmati proses belajar dengan suasana yang sangat mendukung kesehatan fisik dan mental. Paket lengkap yang menurut saya jauh lebih berharga daripada sekadar memuaskan gengsi demi kuliah di kampus ternama.
Penulis: Dimas Junian Fadillah
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















