Membaca tulisan Fadlir Nyarmi Rahman, sejak baris pertama argumentasinya lemah dan bisa dikatakan apriori. Dia tidak mendengar lagu-lagu Nadin Amizah lantas menyimpulkan bahwa Nadin melakukan omong kosong lewat Twitter-nya. Mas Fadlir menyebutnya terlalu visioner.
Dalam teknik membuat argumentasi, pernyataan itu harus dibuktikan kebenarannya. Bagaimana bisa dikatakan benar, sedangkan ia sendiri tidak punya pengalaman empirik terhadap lagu-lagu Nadin. Analoginya, Mas Fadlir ingin mengatakan bahwa seblak itu enak, tapi dia sendiri tidak pernah mencicipinya. Dia hanya mendengar dari temannya bahwa seblak itu enak.
Sampai di sini sebenarnya tulisannya sudah tidak bisa dipertanggungjawabkan. Argumentasi yang ia buat hanya bersandar pada teman mutualannya di Twitter dan akun Twitter Nadin sendiri. Tanpa mengaitkannya dengan karya-karya Nadin Amizah yang menjadi latar belakang. Dalam teori kritis, teks tidak berdiri sendiri melainkan ada konteks yang mendahuluinya.
Mengapa Nadin Amizah membuat banyak cuitan dengan bahasa baku dan terkesan puitis? Ini yang seharusnya ditanyakan terlebih dahulu oleh Mas Fadlir sebelum menulis. Kenapa harus bertanya? Ini logika dasar dari berpikir yang dikenal dengan kausalitas. Tentu Mas Fadlir tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut karena mendengar lagunya saja tidak.
Saya menikmati lagu Nadin Amizah sejak ia masih bersama Dipa Barus yang berjudul “All Good” dan karya-karya setelahnya seperti “Sorai”, “Rumpang”, dan album Selamat Ulang Tahun yang rilis pertengahan tahun 2020 lalu. Lirik-lirik lagu Nadin memang puitis dan terbilang sangat puitis untuk anak seusianya. Meski puitis, lagu-lagu Nadin punya kesan meneduhkan bagi para pendengarnya.
Perlu Mas Fadlir tahu, setiap lagu Nadin lahir dari pengalaman hidupnya cukup berat. Lagu-lagunya diciptakan dengan sentuhan rasa yang mendalam dan tidak sama dengan lagu-lagu indie yang lain. Lagu indie lain dominan dengan kisah percintaan sepasang kekasih. Sementara Nadin Amizah lebih kepada dirinya sendiri dan keluarganya.
Tentu Mas Fadlir tidak mengetahui sejauh itu dan saya tidak menyalahkannya. Setiap orang punya preferensi musiknya sendiri dan tidak bisa dipaksa untuk mengerti preferensi musik orang lain. Namun, yang membuat saya tidak sreg dengan tulisan Anda, bukan karena saya penikmat lagu Nadin. Itu hanya salah satu argumentasi untuk menguatkan tulisan saya kali ini. Saya tidak mau membuat kesalahan yang sama. Saya tidak akan mengatakan bola itu kotak sementara kenyataannya bola itu bulat.
Dalam tulisannya, Mas Fadlir ingin menyinggung cuitan Nadin Amizah sebagai berikut:
Kalau pake bahasa baku sedikit dibilangnya sok indie, kasian anak seumuran saya yg memang cita-citanya jadi penyair dan ahli bahasa. pada takut kena semprot tukang nyinyir. tar giliran generasinya gada seniman hebat, malu juga kalian.
Betul ini adalah respons Nadin Amizah karena banyak mendapat nyinyiran dari netizen. Namun, Nadin berhak membuat cuitan itu. Kenapa? Karena dia adalah seniman yang mempunyai karya dan karya-karyanya memang sarat dengan kalimat alegoris. Nadin punya otoritas berbicara seperti itu, ia sudah masuk golongan seniman atau penyair dengan sejumlah karyanya yang sudah diakui publik.
Mas Fadlir mungkin lupa teknik menulis non fiksi itu harus berdasarkan pada sumber yang paling dekat dengan yang ingin Anda tulis. Sumber itu bisa dibilang sumber otoritatif atau dalam nama lain dikenal dengan A1. Nadin Amizah dalam hal ini sudah sangat otoritatif karena dia bagian dari penyair. Maka cuitannya bukan sekadar respons terhadap netizen, tapi bentuk peringatan dan kekhawatirannya terhadap masa depan penyair.
Jika Mas Fadlir menyinggung Mas Jokpin yang karyanya ditulis dengan bahasa yang luwes itu memang benar dan itu adalah sebuah pilihan. Dalam acara Ziarah Malam di YouTube Mojok, Mas Jokpin menyatakan bahwa karyanya sekarang adalah hasil perjalanan panjang selama puluhan tahun berkarya sebagai penyair. Gaya bahasa yang dipilih Mas Jokpin berguna agar puisi tidak selalu susah dimengerti karena bahasanya yang melangit.
Jadi antara Nadin dan Jokpin itu hanya soal pemilihan gaya bahasa. Keduanya mempunyai “kebun” yang berbeda, tapi sama-sama menyampaikan sebuah pesan secara estetis. Justru dengan keduanya kesusastraan Indonesia semakin kaya.
“Kasian anak seumuran saya yg memang cita-citanya jadi penyair dan ahli bahasa. pada takut kena semprot tukang nyinyir.”
Pada kalimat ini Nadin tidak sepenuhnya salah. Belakangan orang enggan membuat kalimat puitis karena stigma alay, atau indie dalam artian negatif. Jika Mas Fadlir mengaku sebagai penyuka puisi, seharusnya ikut merasakan itu. Bagaimana cara merasakannya? Coba Mas Fadlir bikin tulisan puitis di medsos secara kontinu. Setelah itu biarkan orang-orang lain berpendapat. Namun, jika Mas Fadlir malu tandanya setuju kalau orang bikin kalimat puitis itu alay dan takut dinyinyirin, secara tidak langsung membenarkan kalimat Nadin yang di atas.
Sekali lagi saya katakan, saya menulis ini bukan semata-mata karena penikmat lagu-lagu Nadin Amizah. Namun karena hal lain yang lebih penting tentang perlunya logika yang dibangun dalam menulis sebuah argumentasi. Jika bukan hal yang metafisik, observasi secara empirik itu sangat penting.
BACA JUGA Budaya ‘Indie-indie Eksklusif’ Nyebelin yang Perlu Dihentikan dan tulisan Irvan Hidayat lainnya.