Alasan Kenapa Kita Suka Nggak Puas Sama Film Adaptasi Novel Berdasarkan Teori Sosiologi

film adaptasi novel

Saya baru saja menonton film adaptasi novel favorit saya, yaitu Bumi Manusia (2019) dan Supernova:Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh (2014). Setelah menonton, saya memasukkan kedua film tersebut dalam daftar kecewa saya soal film adaptasi novel yang kurang memuaskan, menyusul film Ayat-ayat Cinta 1 & 2, Dilan 1990 dan 1991, Edensor, dan lain-lain. Daftar kecewa itu semakin membenarkan anggapan umum, bahwa menonton film adaptasi novel setelah membaca novelnya, hanya akan membuat kecewa.

Anggapan ini bisa dilihat dari hasil riset mandiri dari Tirto Januari 2017 yang menyatakan 71,25 % dari total 400 responden merasa tidak puas dengan film adaptasi novel favorit mereka. Responden yang puas hanya 9,25 %, sedang selebihnya memilih netral. Ada dua faktor yang menimbulkan ketidakpuasan itu yaitu setting/visualisasi yang ditampilkan dalam film tidak sesuai dengan imajinasi dan alur cerita tidak sesuai dengan novel.

Saya sendiri termasuk yang netral. Saya masih mau berkompromi soal imajinasi saya saat membaca novelnya dengan imajinasi dari sang sutradara film. Itu karena, masih ada beberapa film adaptasi novel sebelumnya yang menurut saya masih memuaskan. Salah satunya adalah Perahu Kertas (2012). Saya begitu puas melihat sosok Kugy dalam wujud hidup diperankan Maudy Ayunda. Meskipun tidak sesuai dengan imajinasi saya soal cewek yang agak tomboi saat membaca novelnya, tapi gak masalah. Maudy mengubah segalanya.

Namun meski sudah mempertimbangkan sutradara dan pemerannya, tetap saja masih banyak film adaptasi novel yang saya tonton dan sudah baca novelnya, masih membuat saya kecewa. Tapi pendapat Simbah Gabriel Garcia Marquez membuka mata saya. Novelis besar peraih Nobel itu berkata, “menurut saya tidak ada satu film (adaptasi novel) yang dapat secara utuh menggambarkan kasus-kasus di novel bagus, tapi terdapat banyak sekali film bagus yang berasal dari novel yang buruk”. Jangan-jangan, memang bukan karena sutradara, penulis skenario dan pemeran film adaptasi novel yang buruk, tapi memang novelnya terlalu bagus untuk divisualisasikan.

Sebagai mahasiswa Sosiologi Agama, jiwa saya terpanggil untuk menjelaskan fenomena yang meresahkan masyarakat saya ini, lewat teori-teori Sosiologi yang saya pelajari di bangku kuliah. Ini bukan karena diniatkan untuk menyumbangkan pikiran pada peradaban manusia, tapi lebih karena gabut saja.

1. Teori Alienasi Agama-Karl Marx

Simbah Marx mengatakan agama bisa menjadi entitas yang mengalinasi manusia. Alinasi di sini yaitu mengeluarkan sesuatu yang merupakan esensi menjadi realitas baru, dan malah menjadi bersifat asing dan memusuhi asalnya tadi. Sedangkan alinasi agama berarti agama diciptakan manusia, tapi dalam praktiknya, tidak membuat kehidupan manusia menjadi lebih manusiawi.

Teori ini bisa dipakai untuk menjelaskan kenapa film adaptasi novel tidak memuaskan. Film tersebut tercipta karena adanya novel. Tapi film yang diciptakan malah bersifat asing bagi novelnya, yakni berbeda dengan apa yang diceritakan novel. Keasingan ini bisa terjadi akibat kurang pasnya alur cerita, dialog tokohnya, visual latar ceritanya dan sebagainya antara film dan novelnya. Konsep asal-asalan ini, saya namakan Teori Alinasi Film Adaptasi.

2. Definisi Komunikasi-Collin Cherry

Komunikasi didefinisikan Cherry sebagai usaha untuk membuat satuan sosial dari individu dengan menggunakan bahasa dan tanda. Sementara ada perbedaan bahasa yang digunakan antara penulis novel dan pembuat film dalam komunikasi dengan penikmat karya, yaitu bahasa tulis dan bahasa cerita. Memang terdapat perbedaan mencolok antara keduanya. Makanya banyak penulis bagus, tapi bukan seorang pembicara yang baik. Begitu pun sebaliknya. Juga banyak puisi yang hanya bagus dibaca dalam hati saja, tidak saat diucapkan.

3. Agama adalah Candu-Karl Marx

“Agama adalah candu” merupakan kutipan dari Simbah Marx di bukunya A Contribution to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right yang sering digunakan senjata untuk menyerang Marx sebagai pemikir yang anti agama. Marx melihat agama berfungsi seperti opium dalam masyarakat, yang membuat rasa sakit mereka pada realitas berkurang dan memberikan ilusi bagi mereka sehingga melupakan realitas yang sebenarnya menyakitkan mereka.

Dalam konteks film adaptasi novel, bisa dibilang “mengkhayal adalah candu”. Membaca novel bagus membuat kita mengkhayalkannya dalam imaji sendiri. Kadang dengan cara ekstrem, seperti mengganti karakter utama dalam novel dengan kita sendiri. Misalnya saat saya mengkhayal jadi Fahri di novel Ayat-ayat Cinta. Betapa menyenangkannya membayangkan diri menjadi mahasiswa Mesir yang baiknya masyaAllah, dan dikelilingi perempuan-perempuan cantik yang menyukai saya semua. Tapi dalam film, khayalan saya itu dirampas Fedi Nuril.

Tidak puasnya pembaca saat menonton film adaptasi novel, mungkin karena sudah kecanduan mengkhayal dan tidak terima hasil khayalannya menjadi seperti yang digambarkan film. Setelah saya kupas fenomena ini memakai pisau analisis yang sama, bisa dibilang film adaptasi novel kurang memuaskan pembacanya karena “mengkhayal itu candu” bagi masyarakat.

BACA JUGA Seberapa Pentingkah Anime dan Manga Dibuatkan Film Live Action? atau tulisan FN Nuzula lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version