Para penggemar musisi Indonesia ternyata udah nggak tertarik beli album fisik idolanya. Kenapa, ya?
Sekitar sebulan yang lalu, saya baru saja memesan sebuah CD album untuk adik saya lewat jasa beli. Sama seperti sejumlah remaja lainnya, adik saya merupakan salah satu penggemar boyband asal Negeri Ginseng. Sama pula seperti remaja lainnya, adik saya pun kena sirep untuk nyemplung dalam per-CD-an Korea itu.
Setelah riweuh menyelesaikan transaksi, saya dihadapkan pada sebuah pemberitahuan bahwa stok dari rilisan fisik incaran adik saya sudah habis di toko musik Korea. Parahnya lagi, dikabarkan bahwa tanggal restock-nya belum bisa ditentukan. Aduh biyung!
Mengingat galaknya adik saya yang seperti ibu kos, saya jadi takut untuk laporan kalau-kalau saya nggak kebagian. Apalagi saya masuk antrean ke 1.200-an di jasa beli ini. Saya pun langsung bergerilya mencari jasa beli lain yang sekiranya sudah fix mendapatkan si album fisik ini. Rupanya, antrean sudah menuju angka 1.000-an juga. Otak ini mulai bingung, takut sekali kalau nanti malam tidurnya beratapkan langit mendung.
Di tengah kebingungan, saya mulai menyadari mengenai masifnya penggemar idola Korea terkait pembelian album fisik. Pasalnya, menghabiskan stok dagangan sebenarnya bukanlah hal yang mudah, lho. Saya dulu selalu merasa kesulitan untuk menghabiskan risoles danus yang jumlahnya hanya 30 biji.
Namun, berkat semangat dan loyalitas para penggemar idola Korea ini, jualan album fisik rasanya seperti jualan kacang. Mudah laris, cepat habis. Saya pun tidak kuasa untuk tidak membandingkannya dengan penggemar musik di Indonesia.
Di Indonesia, album fisik terasa “punah”. Banyak musisi Indonesia yang memfokuskan distribusi karya mereka melalui platform digital. Toko-toko musik pun banyak yang gulung tikar sejak lama. Bahkan saya harus mengubur keinginan saya untuk membeli CD album Idola Cilik di Popeye.
Hilangnya album fisik dari para musisi Indonesia ini salah satunya berkaitan dengan penggemar. Apabila penggemar membeli album fisik dari seorang musisi Indonesia, album fisik tersebut bisa habis. Namun, bila penggemar tidak membeli album fisik, maka si musisi akan pikir-pikir lagi untuk merilis bentuk fisik dari albumnya.
Menurut saya, ada beberapa hal yang menyebabkan penggemar musisi Indonesia jarang membeli album fisik dibanding penggemar idola Korea. Alasan itu, antara lain:
#1 Tidak punya tempat
Membeli album fisik seharusnya secara otomatis disertai dengan penyerahan bagian kecil di rumah. Sebab pada bagian kecil itulah, si album bakal teronggok untuk waktu yang lama. Belum lagi apabila koleksi album fisik ini terus bertambah. Penggemar pun harus menyediakan pemutar CD apabila sewaktu-waktu ingin memainkannya.
Tak hanya mengenai bagian di rumah, membeli album fisik juga seharusnya didasari pada kesadaran akan potensi bencana alam. Mengingat alam Indonesia yang suka sekali memberikan kejutan, penggemar harus mengantisipasi bencana alam di sekitar rumahnya. Oleh karena itu, ia dapat bersiap dan mencari cara agar album fisiknya aman sentosa dari marabahaya.
#2 Tidak punya minat mengoleksi
Sejumlah penggemar terkadang memang tidak memiliki minat untuk mengoleksi album fisik. Hal ini salah satunya disebabkan karena penggemar lebih memilih pembelian barang lain yang lebih berguna. Sebagai contoh, penggemar jenis ini akan lebih memilih untuk membeli kaos (baik official maupun unofficial) dibandingkan membeli album fisik. Hal ini disebabkan karena album fisik berbentuk CD itu tidak bisa digunakan untuk hal lain.
#3 Musisi pindah haluan
Di Korea, musisi cenderung mengabdikan dirinya kepada musik, karya mereka, dan para penggemar. Hal ini tentunya berbanding terbalik dengan di Indonesia. Sejumlah musisi justru memilih untuk terjun ke berbagai bidang non-musik. Hal ini tentu memberikan tanda bahwa musisi Indonesia tersebut tidaklah konsisten terhadap musik.
Dengan kondisi musisi yang seperti itu, bukan tidak mungkin kalau si penggemar mulai berjalan pergi dan mencari idola lainnya. Penggemar, terutama yang loyal pada si musisi, akan merasa ditinggalkan. Pasalnya, si musisi tidaklah lagi berkarya untuknya melainkan terjun pada bidang lain.
#4 Agensi si musisi kurang memberikan inovasi pada album fisik
Salah satu perbedaan yang paling terpampang antara album fisik Korea dan Indonesia adalah printilan–nya. Dalam album fisik asal Korea, umumnya terdapat CD, lirik, dan photobook musisi sesuai tema album. Selain itu, terkadang terdapat poster, stiker, atau photocard si musisi juga.
Kita bisa menggunakan strategi JKT48 pada beberapa tahun silam. Dalam keadaan bangkrutnya para toko album musik, JKT48 tetap mendulang keuntungan dari penjualan album fisik mereka. Meski tidak sebanyak album keluaran Korea, album JKT48 lebih menggiurkan dibandingkan album dari musisi Indonesia.
Pasalnya, JKT48 menggunakan strategi photopack. Dalam tiap album fisiknya, JKT48 memberikan 1 – 2 photopack yang berisi foto dari random member. Antusiasme penggemar JKT48 pun tidak surut. Justru dengan penggunaan strategi tersebut, para penggemar akan semakin banyak membelinya untuk mendapatkan photopack dari anggota yang mereka suka.
Dibandingkan dengan itu, album fisik musisi Indonesia justru terlihat sederhana. Hanya berisi CD dan buku lirik, kemudian ditempatkan pada sebuah jewel case. Tentu kurang menarik dan tidak memberikan sesuatu yang “wah” karena telah membeli album fisik tersebut.
#5 Lebih suka gratisan
Tidak semua penggemar memiliki dana lebih untuk membeli album fisik. Banyak pula penggemar yang lebih memilih untuk menggunakan uangnya untuk keperluan yang lebih mendesak. Pemikiran ini terus muncul dan bertumbuh dan akhirnya menyisakan sebuah kebiasaan, yaitu lebih suka mendapatkan sesuatu tanpa keluar biaya alias gratis.
Kebiasaan penggemar ini makin memuncak dengan kehadiran sejumlah website penyedia lagu gratis pada masa lalu. Sebut saja Stafaband dan Waptrick. Melalui merekalah, penggemar mendapatkan akses untuk mendengarkan lagu dari para musisi secara gratis.
Apabila tidak mampu membeli album fisik, sejumlah penyedia album bajakan juga ada di sekitar penggemar. Oleh karena itu, mereka bisa mendapatkan album fisik dari musisi yang mereka inginkan, tapi dengan harga yang lebih murah.
Kebiasaan penggemar Indonesia untuk mencari jalan pintas lain inilah yang akhirnya mendorong para musisi untuk merugi. Para penggemar mendapatkan karya si musisi secara tidak resmi, sementara di musisi tidak mendapatkan hasil yang semestinya. Apabila musisi ‘memaksa’ penggemar untuk membelinya melalui cara yang resmi, maka penggemar akan berpikir seribu kali untuk melakukannya.
BACA JUGA Indonesian Idol Harusnya Ubah Nama Jadi Indonesian Pop