Selain masalah bubur diaduk dan tidak diaduk, bagian ayam juga menjadi bahan perdebatan populer di masyarakat akar rumput. Ada dua alasan kenapa bahas ginian itu penting banget. Pertama, orang Indonesia sangat memprioritaskan urusan perut. Kedua, orang Indonesia senang membacoti sesuatu yang sebenarnya gak usah dibacoti.
Walaupun nggak se-hype debat mi instan yang logonya dipojok vs logonya di tengah atas (tau lah apa itu), paling nggak, di antara kita pasti ada yang pernah tukar menukar potongan ayam ketika dikasih nasi kotak waktu masih sekolah. Sama, saya juga pernah.
Kalau umumnya sebelum makan itu cuci tangan lalu baca doa, kalau pengalaman saya yang satu ini lebih seru, karena ada adegan debat panas dulu sebelum makan. Sangat menjunjung kearifan lokal.
“Eh, lu dada ya? Tukeran dong, gua paha.”
“Kagak, mending paha lebih enak.”
“Dagingnya banyakan dada cuy.”
“Rasanya enakan paha.”
“Yaudah kali-kali makan dada gapapa kali.”
“Kagak ah, apaan.”
Akhirnya teman saya itu mencari orang lain yang bisa diajak barter ayam. Makan enggak, capek iya.
Awalnya saya bodo amat soal ayam-ayaman ini. Ada benarnya juga argumentasi pada dialog debat kusir di atas. Dada ayam umumnya punya daging yang lebih banyak daripada paha ayam. Sementara itu, paha ayam lebih creamy daripada dada ayam.
Masalahnya, kita nggak bisa membiarkan orang di luar sana yang kalau antre beli ayam terpaksa mikir keras begitu ditanya, “dada apa paha, Mas?” hanya gara-gara konflik paha vs dada ini. Kasihan juga melihat orang cape-cape antre beli ayam krispi, tau-tau disalah-salahin gara-gara beli paha bawah, seperti saya misalnya.
Lagian, rasanya gak adil banget kalau saling menonjolkan satu keunggulan yang ada pada masing-masing potongan ayam. Gak ada variabel yang pasti buat menentukan manakah potongan ayam yang terbaik.
Buat bikin perbandingannya adil, mari kita “adu ayam” secara halal dengan empat indikator penilaian: kalori, gizi, rasa, tekstur. Saya sengaja mengesampingkan kuantitas daging karena potongan-potongan ayam ini punya ukuran yang belum tentu serupa semua.
A. Kalori
Saya sengaja pakai satuan kkal untuk menyatakan energi yang diterima tubuh atau bahasa ngarangnya “intensitas kekenyangan”.
Ukuran makanan belum tentu berbanding lurus dengan jumlah kalori. Sebagai perumpamaan, sebungkus mi instan punya kalori lebih banyak daripada sepiring nasi polos.
Dada ayam mungkin punya ukuran yang lebih besar. Tapi, berdasarkan informasi gizi pada fatsecret.co.id, 100 gram dada ayam mentah saja hanya mengandung 194 kkal.
Secara mengejutkan, 100 gram paha ayam mengandung 245 kkal, lebih besar daripada dada ayam. Kalori yang banyak ini berasal dari lemak yang terkandung pada dada ayam.
Perolehan sementara Paha 1 : 0 Dada
B. Gizi
Saya gak mau berbelit-belit karena saya bukan mahasiswa ilmu gizi. Membandingkan makronutrein berupa karbohidrat, protein, dan lemak yang ada sebenarnya udah cukup.
Dengan asumsi potongan ayam masih mentah, daging ayam tidak memiliki gula, yang artinya tidak ada karbohidrat di dalamnya. Dada ayam memiliki protein yang lebih unggul daripada paha ayam, sebesar 29,55 gram per 100 gramnya. Paha ayam hanya 24,85 gram.
Sementara itu, kandungan lemak pada protein lebih sedikit, hanya 7,72 gram. Kontras banget dengan paha ayam yang mencapai sekitar 15,36 gram per 100 gram.
Dengan melihat angka di atas, gizi pada dada ayam secara garis besar lebih seimbang daripada paha ayam. Makanya orang-orang yang suka nge-gym ataupun diet disarankan untuk mengkonsumsi dada ayam.
Perolehan sementara: Paha 1 : 1 Dada
C. Rasa
Sekali lagi, saya mengasumsikan potongan ayam yang dibandingkan dalam kondisi polos tanpa bumbu atau pun tambahan lainnya.
Jadi, saya anggap dagingnya dalam kondisi matang sepolos-polosnya, kayak daging yang suka ada di sop ayam.
Kalau kita makan paha ayam yang polos banget (gak mentah juga sih, dipanasin lah paling enggak), ada rasa creamy, juicy, atau apalah namanya. Beda kalau makan bagian dada yang rasanya “flat” cuma rasa ayam doang.
Ternyata anggapan populer di masyarakat ini benar. Paha ayam memiliki zat besi yang lebih banyak. Ditambah lemak yang ada, paha ayam pun lebih gurih dan enak. Dengan demikian, saya nobatkan paha ayam “lebih enak dari dada ayam”.
Perolehan sementara: Paha 2 : 1 Dada
D. Tekstur
Untuk yang satu ini, saya sebenarnya kebingungan menentukan cara menilainya. Jadi, saya coba dada dan paha ayam dari keempat jenis rumah makan berbeda : penjaja ayam krispi pinggir jalan, etalase warteg, rumah makan Minang, dan ayam bakar lesehan.
Hasilnya, semua daging dada ayam yang saya coba lebih keras ketimbang paha ayam yang lebih empuk dan enak ditarik pakai gigi.
Perolehan akhir: Paha 3 : 1 Dada
Dengan melihat perolehan nilai di atas, saya sebagai orang yang setiap beli ayam selalu pilih dada, dengan berat hati menyatakan paha ayam sebagai bagian paha terbaik.
Pada dasarnya, baik paha maupun dada ayam memiliki keunggulan sendiri-sendiri dan ujung-ujungnya bakal jadi output (baca : wujud) yang sama juga.
Paha ayam unggul soal rasa, kekenyangan, dan harga. Oleh karena itu, kalau gak peduli soal badan yang makin melar, paha ayam sangat disarankan dan cocok untuk digadoin.
Tapi, kalau ingin berusaha hidup lebih sehat atau mengecilkan berat badan, dada ayam lebih disarankan. Gizi yang seimbang dan lemak yang jauh lebih sedikit (dengan catatan tidak digoreng) membuat dada ayam aman untuk menjaga berat badan.
BACA JUGA Menghitung Ongkos dan Untung Usaha Beternak Ayam untuk Pemula dan tulisan Vinito Rahmat Febriano lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.