“… kalo aku masak sopnya pake SOP sih”. Hadeehh. Jaman sekarang wanita memang tidak wajib mengurusi masalah dapur, jika dibandingkan tuntutan jaman dulu. Kiprah wanita semakin banyak, mulai dari kebas-kebas kasur untuk nduselan sampai pekerjaan ngebor kayu. Bukan tidak mungkin mereka tidak menyempatkan untuk belajar masak atau memprioritaskan skill tersebut. ditambah jika skill masak harus diasah agar semakin mendekati rasa sempurna untuk lidah manusia (ya iyalah masak lidah Komodo), maka perlu meluangkan waktu secara konsisten, beli bahan-bahan dapur, alat masak, kotak penyimpanan, kompor, panci, kain lap, matahari cerah (sunlight) yang jelas membutuhkan biaya dan tenaga. Terlebih jika ini terjadi pada wanita karir (ciee) yang kerjanya bagai kuda lumping. Berangkat pagi pulang malam, pagi lagi, malam lagi.
Oleh karena wanita tidak wajib mengurusi atau menguasai wilayah dapur inilah kadang menyebabkan adanya perbedaan skill memasak antar wanita. Jeng jeng jeng. Alhasil apabila mereka dipaksa satu dapur untuk bersama akan nampak tersirat “perang batin”. Hadehh dimana-mana perang aja. Dasar Homo sapiens.
Narasi di atas nyata terjadi ketika saya sedang menjalani KKN di luar Pulau Jawa, di sebuah daerah pedalaman yang minim akses ke pasar tradisional apalagi ke-ef-ci, mekdi. Karena saya dan tim tinggal satu rumah maka alangkah indah dan iritnya (maklum uangnya disimpan untuk beli oleh-oleh selesai KKN) jika diadakan masak bersama untuk satu tim. Singkat cerita, dalam tim KKN saya dibagi menjadi beberapa kelompok masak yang bertanggung jawab untuk menyediakan konsumsi dalam satu hari. Satu kelompok masak diketuai satu manusia (kalau banyak ya kabinet namanya) yang dianggap lihai di urusan dapur umami.
Di suatu siang ketika penghuni pondokan sedang dalam damai memotong, mengupas, mengiris, membelah, merobek, mencincang bahan-bahan dapur, terdengar percakapan bising antar teman wanita saya
“Sayur ini dipotong gini aja ya?” tanya seorang anggota.
“Jangan, nanti bla.. bla.. bla…” tukas ketua masak hari itu.
“Tapi nanti nggak bla.. blaa.. blaa..” tangkisnya lagi.
Suasana hening, manusia lain lagi-lagi dalam damai melakukan apa yang diminta sang ketua mah bebas. Beberapa menit kemudian kawan saya laki-laki bertanya
“Hmm selalu ada persaingan ya di antara kalian.”
“Yah begitulah. Aku males ribut,” saya jawab males sambil nyemil sambel.
See, laki-laki yang biasanya disebut homo sapiens cuek saja bisa tahu aroma bersaing diantara wanita. Berarti dominasi tidak hanya terjadi kepada kaum laki-laki tapi juga perempuan, apalagi jika berurusan dengan ‘kawasan’ perempuan.
Di lain kesempatan saya juga mengalami komentar-komentar bernada halus nan menohok. Saya yang memiliki kemampuan mediocre dalam hal dapur, jelas mudah dijadikan lahan kritik bagi wanita yang ‘levelnya’ di atas saya. Kena juga deh. Namun begitu bukan berarti kita tidak diperbolehkan memberi saran, nasihat kepada sesama perempuan. Tapi kok ya, yang saya tangkap sering ada kesan membandingkan entah itu tersirat atau jelas-jelas diucapkan. Misalnya ketika itu saya pernah mendengar,
“Kalo aku masak resep itu pake bawang putih aja sih soalnya bawang merah jahat kurang gurih.”
“Kalo aku motong sayurnya sih gini, nggak kayak mbak. Hehe”
Haha hehe haha hehe batinku ngedumel. Parahnya lagi percakapan ini tidak terjadi ketika saat sedang memasak saja tapi juga masuk di obrolan basi di luar dapur.
Saya pernah mendengar ujaran dari teman saya, oh bayemnya mau dimasak sop ya. Kok nggak ada sopnya. Nah loh, begimane maksudnye. Plis saya, gue, aye bingung mencerna kata ‘’sop’’. Apakah yang dimaksud sop itu jenis masakannya ataukah bahan-bahan sayuran sepaket di tukang sayur itu. Jika yang dimaksud adalah jenis masakan, ya bebas saya mau mencampur bahan apa saja.
Orang saya yang makan, masak dan saya juga yang harus ngeluarinnya. apa memang kegiatan masak-memasak ada SOPnya sehingga ngana ah sudahlah. Bahkan salah seorang Chef restaurant terkenal di Bali pun mengatakan bahwa kita bisa menciptakan masakan melalui apa saja, biarkan kreativitas bekerja. Walaupun dalam konteks profesional harus ada ilmunya. Kalau ini kan baru proses eksplorasi geologi masakan jadi ya nggak apa-apa toh.. hehe. Kata seorang Buddhist (dikutip dari acara sharing Chef Made Runatha) memasak juga termasuk di dalamnya ada ‘proses’ yang merupakan zen activity dimana kita bisa merasakan ketenangan seperti saat bermeditasi.
Sebelumnya lagi saya dikomentari komen terus kayak facebook tentang kenapa saya mencampur sunlight dengan air sampai penuh di botol bekas? Yang jawabannya sudah jelas pemirsa, bahwasanya agar supaya (kalimat tidak efektif) irit. Lalu, dengan tarik napas pelan saya menerangkan bahwa cairan pencuci piring itu masih bisa berbusa jika digunakan walaupun dicampur air banyak. Kok bisa? Ya cairan pencuci piringnya ditambahkan ke botol bukan diminum. Ah gitu aja diajarin…
Memang tidak ada hal yang kaku dan pasti benar dalam kegiatan sehari-hari, semua orang bebas melakukan kegiatannya, begitu pula dalam memasak. Sangat boleh berbagi kritik dan saran namun yang perlu diperhatikan adalah pilihan diksi yang digunakan saat berbicara. Beda manusia, beda jiwa (ceilah) beda pula cara dia berpikir serta memilih tindakan ketika beraktifitas. Oleh karenanya saya pilih masak sop bayam karena inilah jalan ninjaku, yeah.