Maukah pemerintah mengalokasikan Dana Istimewa untuk mengurus sampah, ketimbang habis untuk hal-hal yang tak berefek kepada masyarakat?
Jika kau sudi meninggalkan Instagram sebentar saja, dan masuk ke dalam diskusi anak-anak muda di burjonan atau warung kopi, tidak akan kau temukan romantisme Jogja di sana. Kau mau mencari sampai subuh pun, di benak mereka yang sudah gumoh akan romantisasi berlebihan, kota ini hanyalah sebuah kota yang perlu banyak dilakukan perbaikan.
Belum usai masalah klitih (kita harus tetap ingatkan hal ini kepada Pemda Jogja supaya tidak lupa bahwa klitih adalah pekerjaan abadi), kemacetan (ya, ini juga tugas rumah yang nyaris mustahil untuk diurai dalam waktu singkat), kini masalah sampah. Walau masalah sampah di TPST Piyungan itu bukan hal baru.
Warga pernah demo besar pada tahun lalu (5/7/2021). Piyungan mengungkapkan ada 180 Kepala Keluarga menolak rencana perluasan TPST ke sisi barat. Alasannya, area tersebut merupakan ruang hijau. Terdapat sumber air di sana. Kalau dibangun, justru akan membahayakan penduduk di sekitar.
Dan tahun ini, masalah makin parah. Warga memblokade TPST Piyungan dan Jogja dinyatakan darurat sampah. Jika kau anggap tiap sudut Jogja adalah kenangan, mohon maaf, saat ini tiap sudut Jogja adalah tumpukan sampah. Demo, penutupan secara paksa oleh warga, dan pemerintah yang selalu memandang remeh perihal sampah menjadi masalah menahun.
Dalam kondisi penuh sampah, akun-akun buzzer romantisasi tidak mungkin membuat tumpukan sampah menjadi sesuatu yang romantis. Tidak mungkin mereka bikin caption macam ini, “Jogja terbuat dari secarik rindu, seberkas kenangan, dan setumpuk sampah.”
Namun, kalau tugas akun-akun itu memang meromantisasi apa pun—bahkan kesenjangan sosial di Jogja saja mereka romantisasi—saya tidak akan nggumun ketika ujug-ujug mereka meromantisasi sampah di Jogja, ya karena meromantisasi apa-apa yang ada di Jogja adalah tugas mereka.
Kembali ke hal sampah, Sekda DIY menyatakan sulit mencari tempat lain selain TPST Piyungan. “Hal itu agak sulit dilakukan mengingat belum ada tempat lain yang dapat menggantikan TPA Piyungan,” dikutip dari CNN Indonesia.
Ia menambahkan bahwa itu bukan hanya masalah hulu, namun juga hilir. Masalah pemilahan sampah juga faktor menentukan. Tentu saja saya setuju. Namun saya juga ingin bertanya, seberapa besar usaha Pemda untuk mensosialisasikan hal ini? Berapa besar presentasi sosialisasi itu menyasar ke masyarakat secara luas? Pun seberapa persen kira-kira masyarakat yang sudah menerapkan apa yang sudah disosialisasikan tersebut?
Sepanjang peradaban manusia berlangsung, soal sampah memang tidak pernah istimewa. Sampah yang dihasilkan manusia modern itu menyebabkan kerusakan alam. Tidak seperti Kjokkenmoddinger, sampah dapur berupa tumpukan kerang pada Zaman Mesolitikum yang dijadikan sebuah “pembelajaran”. Sampah pada zaman kiwari adalah permasalahan.
Ketidakistimewaan perihal sampah, apakah itu menjadikan urusan sampah tidak pernah melibatkan sebuah dana yang katanya istimewa tersebut? Sampah memang tidak seindah Tugu Pal Putih. Sampah juga tidak segagah pagar yang mengelilingi Alun-alun Utara.
Namun, saya rasa, urgensi perihal sampah lebih mendesak ketimbang revitalisasi dan pembangunan hal-hal remeh yang tidak bertautan dengan keberlangsungan masyarakat. Dana Istimewa yang cal-cul dilepaskan miliaran untuk pembangunan pusat kota, ada baiknya dialokasikan untuk pengurusan sampah.
Baiklah, akan ada dalih Dana Istimewa yang diperuntukan pembangunan-pembangunan pusat itu ada gunanya untuk masyarakat dan wisatawan. Tapi, argumen tersebut gugur sebab di TPST Piyungan sana, ada masyarakat yang jauh dari peluk istana. Jika hujan, mereka akan kebanjiran air lindhi atau sampah. Belum lagi limbah berbahaya yang diakui oleh Sekda DIY bahwa masalah sampah itu juga ada di hulu, yakni pemilahan sampah. Lalu, di bagian mana Dana Istimewa itu berguna untuk masyarakat?
Menurut data statistik Eurostat, setiap tahun, masyarakat Uni Eropa membuang tiga miliar ton sampah, 90 juta ton di antaranya adalah sampah beracun. Mereka memperbaiki cara pengawasan di hulu dan hilir pembuangan sampah.
Kalau di Amerika, menurut data Lembaga Perlindungan Lingkungan AS (Environmental Protection Agency) pada 2010 penduduk Amerika menghasilkan 250 juta ton sampah padat. Yang patut dicontoh adalah program mereka mengatasi sampah. Mereka punya bayangan sepuluh hingga dua puluh tahun lagi, kala kapasitas sampah sudah kian membeludak, mereka harus melakukan apa.
Jangan bilang bahwa Eropa dan Amerika itu negara kaya, tidak cocok untuk diterapkan di kota kere seperti Jogja. Sebab, mana ada kota kere yang bangun pagar saja habis dua miliar lebih? Jika uang ada, berarti yang patut dipertanyakan ya jelas kapasitas mereka dalam membuat kebijakan.
Kita paham, permasalahan sampah ini adalah fenomena global yang harusnya dipandang secara lebih luas. Jika pemerintah kita melulu membuang muka dan hanya melihat keindahan pusat kota, Jogja akan ditelan bulat-bulat oleh sampah dalam beberapa tahun ke depan.
Anak cucu kita kelak, mungkin ia akan melihat gagahnya pagar Alun-alun Utara. Namun ketika menengok ke arah lain, mereka akan melihat gunungan sampah di pusat kota. Kaki mereka akan bermain dengan cara menginjak sampah. Hidung mereka akan terus dihantui oleh bau panguk sampah. Sehat adalah hal mahal, rasanya mengeluarkan miliaran untuk mengurus sampah, itu hal kecil bagi pemerintah yang gemar mencari cuan saat liburan.
Apalagi, ketika mereka punya Dana Istimewa yang bisa saja dikucurkan untuk hal yang lebih jelas urgensinya. Itu kalau mereka mau sih. Catat, kalau mau lho yaaa.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Warga Jogja Jangan Mimpi Kaya kalau Separuh Gajinya untuk Ongkos Transpor