Bulan puasa jelas merupakan bulan yang penuh berkah bagi siapa pun. Termasuk yang namanya imam masjid. Wabil khusus imam salat Tarawih. Kalau kalian mengikuti beberapa qari’ ternama, kalian bisa temukan satu dua jadwal mereka ketika jadi imam Tarawih. Terlihat seperti tour konser untuk menjajakan suara emasnya dari masjid ke masjid.
Bagi saya imam Tarawih masa kini telah mengalami peningkatan luar biasa, salah satunya suara mereka. Terutama setelah terkena arus gelombang hijrah, satu persatu qari’-qari’ itu muncul, makin dikenal dan dicintai oleh kalangan muda. Sebut saja Muzammil, Taqy Malik, Salim Bahanan, sampai Hanan Attaki. Siapa anak muda yang telah hijrah tidak mengetahui nama-nama besar di dunia per-qari’an duniawi tersebut.
Gelombang itu sampai pula ke lingkungan kampung saya. Satu persatu anak-anak muda, utamanya dari pesantren, mulai menggantikan yang sepuh untuk jadi imam Tarawih. Di tahun ini saja hanya tinggal satu imam senior yang mau dan masih bisa mengimami Tarawih. Selebihnya dibagikan ke generasi muda-muda ini.
Regenerasi imam macam ini sangatlah positif. Selain karena imam di masjid saya sudah mulai sepuh-sepuh, suara beliau-beliau ini seperti sudah tidak semerdu sepuluh lima belas tahun lalu. Alih-alih merdu, bacaannya kadang juga sudah tidak bisa digolongkan tartil, terdengar malah seperti kaset kusut, sulit didengarkan dan ditranslasikan di telinga.
Pun kadang bacaan mereka yang lambat, semakin menjadikan suasana salat Tarawih tak lagi dipenuhi kehikmatan. Waktu berjalan sangat lama sekali, membikin makmum hilang khusyu’ bahkan malah ngomel dalam hati. Eh, itu saya sendiri sih. Daripada malam Tarawih jadi berantakan, akhirnya praktis semua dirombak dan digantikan oleh imam-imam muda.
Saya akui kalau berdiri menjadi makmum salat Tarawih masa kini sangatlah menyenangkan. Bagaimana tidak, selain disuguhkan suara indah nan merdu dari para imam, waktu seakan berjalan lebih cepat tapi tidak buru-buru.
Cepat dalam konteks ini bukan dalam sepuluh menit bisa dua puluh rakaat. Melainkan bisa menikmati waktu dengan lebih syahdu. Surat yang kalau kita baca sendiri itu bisa berjam-jam, oleh imam masa kini bisa hanya lima sepuluh menit saja. Pemenggalannya juga kadang pas, tidak terlalu lama dan tidak terlalu cepat. Membuat suasana khusyu’ terbangun lagi dalam diri.
Namun, sepenglihatan saya yang sudah rabun ini ya, kok sepertinya ada yang kurang dari imam masa kini, ya. Entah ini saya yang main kurang jauh atau kurang pengetahuan dan wawasan. Kekurangan tersebut saya rangkum jadi satu kata, yakni perhatian. Oke untuk mempermudah bayangan kalian, saya coba ilustrasikan sedikit. Kebetulan ini juga kejadian di masjid kampung saya baru-baru ini.
Kasus #1
Beberapa malam lalu, salat Tarawih kami dipimpin oleh imam muda masa kini. Kebetulan waktu itu sedang hujan. Ada beberapa jamaah yang terlambat salat isya bahkan sampai empat rakaat. Nah, si imam muda ini seakan tidak mau tahu kalau makmum yang di belakangnya ini terlambat lama.
Langsung saja begitu beberapa orang selesai melakukan salat sunah ba’diah, imam langsung berdiri dan mengatakan Tarawih akan dimulai. Ia meninggalkan makmum yang masbuk isya lama tadi. Otomatis, karena tidak ingin ketinggalan Tarawih, saya lihat salat mereka dipercepat, khusyu’ dan tuma’ninahnya hilang seketika.
Sekilas di mata awam ini oke-oke saja. Tapi bagi saya sudah seharusnya imam memperhatikan makmum-makmumnya, bukan? Sependek pengetahuan saya, kalau syarat jadi imam itu bukan hanya menguasai bacaan salat, suaranya bagus, dan tartil, tetapi juga memperhatikan kondisi makmumnya. Itulah mengapa sebelum salat dimulai, imam dianjurkan melihat belakang dulu.
Jelas itu bukan prosedur formal, tapi ya memang harus diperhatikan. Kalau ada makmum orang tua maka nanti surat yang akan dibaca tidak usahlah panjang. Kalau ada makmum yang ketinggalan ya ditunggu dulu. Apalagi salat Tarawih hukumnya sunah, tidak sewajib isya’. Jadi usahakan untuk menunggu dulu makmum masbuk itu dulu, bukan?
Kasus #2
Selanjutnya, ini baru saja juga saya alami ketika menulis tulisan ini. Lagi-lagi oknumnya adalah imam muda. Kan kita tahu kalau intisari dari salat Tarawih adalah rehat atau istirahat. Itu berarti salatnya tidak usah diburu-buru. Jeda yang dipakai untuk rakaat satu dengan yang lain itu juga agak lama. Untuk menarik nafas dan mengelap keringat, seperti saya yang gampang keringetan ini.
Nah, afdalnya kan begitu. Tapi di masjid kampung saya tadi, imam sama sekali tidak memberi jeda. Selepas salam, langsung berdiri melanjutkan rakaat berikutnya. Begitu terus sampai witir selesai. Iya, sih, dalam salatnya masih bisa tuma’ninah. Jelas perhatian kepada makmum di sini tidak dijalankan sepenuhnya. Alih-alih istirahat, ini bagi saya malah pemanasan olahraga. Selesai Tarawih, baju saya kebes keringet. Bak sehabis main futsal.
Kasus #3
Kasus selanjutnya, ini berlaku di masa pandemi begini ini. Memang masjid sudah mulai dibuka untuk digunakan salat jamaah. Tapi kan ada aturannya bukan dari pemerintah atau MUI. Bahwa kalau salat jamaah itu hendaknya melakukan protokol kesehatan dan menjaga jarak.
Nah, kasus ini barangkali yang sering terjadi di masyarakat. Alih-alih menjalankan protokol tersebut, si imam masa kini tetap saja bilang lurus dan rapatkan saf. Bilangnya pun tidak menghadap ke makmum, tidak mengecek benar-benar safnya lurus atau tidak. Atau ada saf yang bolong atau tidak.
Ini contoh nyata lain dari ketiadaan perhatian lagi, bukan? Seyogyanya imam tidak berkata seperti itu. Kan, ini lagi pandemi. Apalagi sekarang makmum-makmum sudah jarang pakai masker.
Jadi, apa yang bisa saya simpulkan dari berbagai kasus di atas? Saya akui kalau suara-suara kalian ini merdu dan bikin hati nyaman. Namun, kalau kalian masih belum memperhatikan makmum, ya, buat apa? Ibaratnya, imam itu pemimpin, harusnya rakyat-rakyat yang dipimpinnya juga merasa diperhatikan. Khawatirnya, kalau ini jadi kebiasaan malah nanti bikin kualitas salat berjamaah kita menurun.
*Takjilan Terminal adalah segmen khusus yang mengulas serba-serbi Ramadan dan dibagikan dalam edisi khusus bulan Ramadan 2021.
BACA JUGA Merasakan Ramadan yang Sama dari Tahun ke Tahun karena Lagu-lagu Ini dan tulisan Kevin Winanda Eka Putra lainnya.