Banyak anggapan bahwa makanan bergizi itu harus mahal seperti salad dan daging, yang tentunya sangat menguras kantong. Namun, sebenarnya kita dapat kembali memutar pandangan ke lingkungan sekitar. Terkadang makanan sehat yang kita idamkan bisa kita temukan di sekitar lingkungan kita.
Kembali membahas mengenai makanan bergizi saya, teringat cerita masa SMA saya di sebuah desa tepatnya di Gunungkidul. Saya dikenalkan dengan makanan khas Gunungkidul oleh teman saya yang bertempat tinggal di wilayah itu. Mungkin di masa modern makanan ini dianggap kampungan, mengingat tempatnya yang terletak di belahan bumi yang terkenal pelosok. Tetapi, banyak makanan khas daerah ini yang olahan makanannya berbahan dasar singkong. Sederhana bukan? Contoh dari makanan khasnya yakni tiwul dan kembarannya gatot.
Pernah mendengar yang namanya gatot? Bukan gatot nama orang ya, gatot di sini merupakan makanan khas Gunungkidul. Mungkin sebagian sudah familiar atau tidak asing lagi dengan kuliner yang sangat khas di Gunungkidul ini, tetapi ada pula yang mengernyitkan dahi karena cukup asing dengan makanan legendaris ala rakyat ini. Saat ini cukup sulit untuk menikmati makanan ini mengingat banyaknya penggemar yang bukan hanya dari masyarakat kampung saja melainkan juga para wisatawan yang singgah untuk sekedar menikmati kuliner khas Gunungkidul. Tidak jarang banyak wisatawan pemburu kuliner ini terlambat karena kehabisan, mengingat banyaknya penggemar dan minimnya para pengolah gatot karena malas dengan pengolahanya yang cukup memakan waktu.
Makanan ini dinamakan Gatot diambil dari singkatan gagal total akibat dari sulitnya panen atau gagal panen. Gatot dibuat dari sisa bahan thiwul yang tidak terproses juga singkong yang dibiarkan berjamur. Meskipun demikian jangan khawatir karena makanan ini cukup baik untuk kesehatan badan juga kesehatan jantung. Harganya juga cukup ekonomis bagi kalangan menengah, hanya dengan kisaran Rp7000 sampai dengan Rp50.000 sudah bisa menikmati makanan ini. Gatot pada umumnya memiliki tekstur berwarna hitam yang berproses dari beragam fungi dan bakteri saat penjemuran yang terhampar siang dan malam.
Meskipun demikian, jangan salah tangkap ya mengenai fungsi dari bakteri dan fungi ini tidak berbahaya dan hanya dimanfaatkan untuk membantu proses fermentasi pati dan singkong agar terurai oleh enzim sehingga lebih mudah untuk dicerna. Biasanya gatot disajikan dengan sederhana seperti dibungkus atau dipincuk dengan daun pisang yang diberi taburan gula pasir yang dihaluskan ditambah dengan kelapa parut di atasnya, sehingga terasa nikmat dan sangat alami. Keistimewaan cita rasa yang dimiliki gatot yakni perpaduan antara rasa gurih dengan rasa manis halis dari akulturasi gula pasir dan parutan kelapanya.
Gatot juga disebut makanan perjuangan loh, mengapa demikian? Pada 1945 sampai 1949 merupakan masa paling berat bagi rakyat Indonesia setelah perjuangan kemerdekaan melawan para penjajah di Indonesia, yang tentunya harus mengorbankan seluruh harta benda dan bahkan nyawanya. Oleh karena itu untuk menghadapi permasalahan krisis kebutuhan pangan, masyarakat memutuskan untuk mengolah singkong menjadi gatot.
Penasaran dengan makanan gatot ini? Tidak sulit untuk menjumpainya hanya perlu berkunjung ke wilayah Yogyakarta sembari menikmati tempat-tempat wisata yang pastinya akan memanjakan mata dengan berjuta pesona keindahan alamnya. Khususnya di kawasan Gunungkidul, atau sering disebut Yogyakarta Lantai dua. Sedangkan untuk menjumpai gatot dapat mendatangi pasar-pasar tradisional seperti pasar kuliner di Wonosari, Gunungkidul karena makanan ini masuk salah satu menu kuliner wisatawan. Jika belum bisa berkunjung secara langsung, seiring perkembangan zaman makanan ini mulai dikemas secara instan, dan jangan khawatir meskipun demikian hal ini tidak akan mengurangi gizi dan tentunya aman untuk dikonsumsi.
BACA JUGAÂ Tidak Merokok dan Tidak Minum Kopi Bukanlah Aib