Mari kita mengenal sosok kadal predator itu, yang saya yakin kalian belum jauh mengenalnya. Berbeda dengan predator pada umumnya, ia tidak suka menghisap uang rakyat. Eh maaf itu koruptor (maaf juga kalau garing). Namanya komodo, hewan langka yang hanya berhabitat di Pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan Gili Dasami provinsi Nusa Tenggara Timur.
Komodo adalah spesies terbesar dalam famili Varanidae. Selain itu, hewan tersebut juga telah membuktikan diri sebagai kadal terbesar di dunia dan itu bukan omdo alias omong doang karena memang tidak ada lawan yang sebanding dengan ukuran tubuhnya..
Selain bertubuh besar, komodo juga memiliki ciri kulit yang berbeda-beda, terlebih di antara jantan dan betina. Pejantan memiliki kulit yang lebih gelap, sedangkan betina berwarna kecoklatan dan terdapat bercak kuning pada lehernya.
Untuk yang berumur lebih muda, mereka memiliki lebih banyak variasi warna kulit: kuning, hijau dan putih dengan latar belakang hitam. Meskipun corak kulit mereka berbeda, tidak membuat mereka menjadi berperilaku rasis.
Reputasi sebagai kadal terbesar di dunia semakin menunjukan bahwa ia bukan hewan yang lemah. Komodo bukan tipikal hewan yang suka berkerumun apalagi sambil bergibah, ia tipikal hewan yang menyendiri. Meski sering menyendiri, mereka juga memiliki kemampuan sosial yang tidak terlalu buruk.
Oleh karena itu, ketika sedang ada pesta makan dan musim berkembang biak. Kesadaran sosial mereka dengan cepat bangkit. Komodo merupakan hewan yang heroik karena mampu mengatasi kesendirian. Anjay, meskipun hanya untuk makan dan kumpul kebo. Eh, ngomong anjay masih jadi masalah nggak sih? Bodo amatlah anjay.
Kepekaan Komodo terhadap rasa lapar begitu kuat dan ia tergolong hewan pemakan daging atau karnivora. Meskipun pemakan daging, mereka bukanlah pemakan teman. Ia sadar teman tidak untuk dimakan tetapi lebih baik dimanfaatkan.
Ya ampun, kering amat ya guyonnya.
Dan ia bukan hewan yang mampu berlari cepat, kemampuanya berlari hanya dengan kecepatan 20 km/jam dalam jarak yang pendek. Dengan begitu, mereka menjadi tidak terlalu ambisi mengejar jabatan. Ia tersadar dan kemudian memilih mengundurkan diri jauh-jauh hari karena pilkada tidak layak diselenggarakan di masa pandemi.
Untuk berlindung dari segala macam ancaman, Komodo ahli dalam menggali lubang sedalam satu sampai tiga meter sebagai tempat berlindung. Ya, keahliannya menggali lubang hanya dilakukan untuk berlindung saja. Bukan untuk menciptakan lubang-lubang, lagi pula mereka juga bukan pemilik perusahaan tambang batu bara.
Komodo juga memiliki kemampuan fisiologis yang jauh berbeda dengan kemampuan makluk hidup lainya, yaitu penggunaan organ lidah. Pada umumnya makhluk hidup menggunakan lidah sebagai alat menjilat dan pengecap rasa, tetapi bagi Komodo justru digunakan untuk mendeteksi bau mangsa.
Namun, jika mengenali hewan tersebut hanya dari aspek anatomi dan fisiologinya saja itu tidaklah cukup. Ada hal yang jauh lebih menarik untuk dikenali dari kehidupan ataupun sejarah, yaitu hubungan komodo dengan penduduk lokal sebagai makhluk hidup yang berada dalam satu habitat.
Kehidupan penduduk lokal dengan komodo merupakan sebuah hubungan yang tak terpisahkan. Penduduk lokal menganggap hewan tersebut adalah saudara. Terdapat sebuah kepercayan pada cerita legenda yang melekat pada setiap penduduk lokal terhadap komodo. Bukan hanya di Pulau Rinca, tetapi juga di setiap kawasan habitat di mana hewan tersebut melangsungkan hidupnya.
Penghuni Pulau Rinca pada mulanya adalah Suku Komodo. Menurut cerita legenda, Komodo merupakan anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan bernama Putri Naga. Putri Naga melahirkan seorang anak laki-laki dan sebutir telur yang kemudian menetas menjadi komodo betina.
Hubungan erat antara suku Komodo dengan Komodo terkuak saat anak laki-laki dari Putri Naga sedang berburu. Pada saat itu, anak laki-laki Putri Naga menjumpai Komodo yang hendak menyantap Rusa hasil buruannya dan saat melihat itu ia berniat untuk membunuh Komodo yang berada di hadapannya.
Akan tetapi saat hendak membunuh, Putri Naga kemudian muncul dan mencegah sekaligus melarang anak laki-lakinya serta memberi tahu bahwa Komodo itu adalah saudara kembar anak laki-lakinya.
Namun, kepercayaan itu memudar seiring dengan peradaban manusia. Tetapi, tidak dengan rasa persaudaraan di antara mereka. Bahkan saat ini, pulau-pulau yang menjadi habitat tidak hanya dihuni oleh suku Komodo saja. Tetapi juga dihuni oleh etnis dari Bajo, Manggarai, Sumba, dan Bima.
Sehingga realitas penduduk multi etnis tersebut telah menciptakan kehidupan sosio-kultural dan politik yang rukun di dalam kehidupan yang berdampingan dengan komodo. Relasi-relasi kehidupan mereka secara kolektif melakukan penekanan terhadap konservasi Komodo.
Komodo bukanlah hewan yang membahayakan. Kenyataannya, selama ini penduduk lokal yang hidup berdampingan dengan hewan tersebut menjalin kehidupan dengan penuh keharmonisan. Bahkan berkemungkinan besar kehidupan harmonis itu sudah tercipta sejak sebelum terbentuknya negara Indonesia.
Akan tetapi, keberlangsungan hidup penduduk lokal kini terancam dengan adanya konservasi ala negara. Mereka terancam terusir dari tanah leluhurnya karena sistem konservasi yang negara buat. Begitu pun kehidupan hewan tersebut juga terancam karena habitatnya terkena dampak industri pariwisata.
“Konservasi ya konservasi, pariwisata ya pariwisata. Sukanya kok campur-campur nggak jelas. Kalian harus ingat, aku ini hewan yang rentan dengan kepunahan. Kalian menganggapku bahaya karena memiliki racun, tetapi kalian lebih berbahaya karena menciptakan racun.” Kurang lebih begitulah ungkapan kelemahan psikologis paling dalam yang mengendap dalam hati Komodo.
Tidak bisa dimungkiri, kehidupan dan peradaban manusia terus menuju ke arah kemajuan. Sektor pendidikan, teknologi, ekonomi dan industri kian menunjukan perubahan yang signifikan. Proses pembangunan sektor tersebut pun menciptakan perubahan pada lingkungan.
Oleh karena itu, sebagai salah satu makhluk hidup yang memiliki keistimewaan akal, manusia paling tidak mampu memberikan keseimbangan terhadap kehidupan makhluk hidup lain di sekitarnya.
Mengingat setiap kehidupan di dunia—makhluk hidup satu dengan makhluk hidup lainya bergerak saling melengkapi. Dengan begitu, keberadaan manusia yang secara masif menunjukan kemampuanya menguasai dunia, jangan sampai bersikap angkuh dan arogan demi kenikmatan masa kini, yang berpeluang sebagai pengaruh kehancuran masa depan.
BACA JUGA Seni Menghadapi Harta Dunia Melalui Peribahasa Madura Asel Ta’ Adina Asal dan tulisan Nikma Al Kafi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.