Seorang kenalan saya sudah lama tinggal dan bekerja di Malaysia. Kalau ditanya, nggak mau balik ke kampung? Jawabnya, “Anakku autistik. Di sini ia bisa belajar di sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, gratis. Dan meskipun gratis, kualitas pendidikannya sangat baik. Kalau pulang ke Indonesia, di kampungku entah ada sekolah yang bagus untuk anakku atau tidak. Kalaupun ada, entah berapa rupiah yang harus kubayar untuk pendidikan khusus dengan kualitas sebaik itu.”
Seorang sepupu jauh saya pindah ke Amerika Serikat, ikut suaminya yang mendapat beasiswa. Balitanya yang autistik diajak serta. Di akun media sosial, ia sering bercerita tentang berbagai terapi serta kegiatan belajar buah hatinya di sekolah. Dari berbagai postingannya bisa disimpulkan, ia bersyukur bisa pindah ke Negeri Paman Sam karena di sana anaknya mendapat pendidikan serta aneka terapi sesuai kebutuhannya, gratis.
Mendengar cerita mereka, rasanya saya juga kepingin pindah ke Selangor atau ke New York. Sebab anak saya juga berkebutuhan khusus dan memerlukan pendidikan khusus pula. Tapi tidak semudah itu, Sergio Marquina!
Yang pasti sementara ini kami tidak bisa pindah ke luar negeri sehingga semua pendidikan dan terapi khusus yang dibutuhkan oleh anak saya itu, harus kami bayar sendiri. Dan biayanya mahal sekali.
Kenapa tulisan ini dibuat? Mulanya seseorang mengetwit foto 3 orang anak SD yang masing-masing sedang menghadap ke laptop atau tablet, dengan kepsyen, “Lucunya sekolah dari rumah.”
Terus ada yang komen, “Lucu tapi miris. Bayangkan kalau keluarga pas-pasan anak 3 semua pelajaran online pakai gadget, wifi kudu kenceng, bisa jebol keuangan ortu.”
Terus ada yang membalas lagi, “Ya jangan ngent*t dan jangan punya anak 3 orang. Kalau miskin tahu diri dan kendalikan hidup sendiri, ga usah nyalahin kemampuan orang lain. Gitu aja kok repot.”
Komentar terakhir itu dibalas oleh tulisan Mojok berjudul “Orang Miskin Dilarang Punya Anak”. Diperkuat lagi dengan tulisan di Terminal Mojok berjudul “Alasan Mengapa Orang Bisa Tidak Memiliki Empati Sampai Meminta Orang Miskin Jangan Punya Anak”.
Pada dasarnya saya setuju punya anak adalah hak setiap orang yang sudah siap secara fisik, mental, dan finansial. Miskin atau kaya kadang bisa relatif. Tergantung pintar-pintarnya orang mengatur uang. Kalau pinter ngaturnya, penghasilan sebesar UMR masih cukup. Sekolah negeri pun sekarang sudah gratis. Jadi, siapa saja, silakan punya anak.
Tapi dengan dua “asal”. Yang kesatu, asal jangan banyak-banyak (dua anak cukup, atau paling banter tiga. Ingat, populasi penduduk negara kita sudah 269 juta jiwa). Yang kedua, asal si anak tidak berkebutuhan khusus. Sebab membesarkan anak berkebutuhan khusus itu mahal sekali. Masalahnya, kita nggak bisa pesen atau minta anak yang tidak berkebutuhan khusus pada Tuhan.
Teman saya bilang, “Gile, uang sekolah di SD Internasional Anu mahal sekali! Per bulan 5 juta lebih! Tapi memang fasilitasnya bagus banget.” Dengan meringis saya timpali, “Biaya terapi dan uang sekolah anakku tiap bulan lebih mahal dari itu.”
Teman saya melongo tidak percaya. Ha wong anak saya sekolah dan terapinya cuma di ruko kok. Bukan di area seluas sekian hektare berpagar gedung megah. Saya ambil sehelai kertas, dan saya jembrengkan rincian biayanya.
- Uang sekolah Rp2 juta/bulan. Anak saya belajarnya masih harus one-on-one, satu guru untuk satu murid. Jadi uang sekolahnya memang nggak mungkin murah.
- Uang kegiatan sekolah Rp3 juta/tahun. Antara lain untuk berenang dua kali sebulan dan studi wisata.
- Uang terapi sensori integrasi dan terapi okupansi dengan terapis, Rp3,5 juta/24 jam pertemuan, seminggu 2 jam. Jadi bayarnya anggap saja 3 bulan sekali.
- Uang terapi perilaku kognitif dengan psikolog, Rp3,5 jut/12 jam pertemuan, seminggu 2 jam. Jadi bayarnya anggap saja 1,5 bulan sekali.
- Uang les mata pelajaran oleh guru yang berpengalaman mengajar anak berkebutuhan khusus, Rp4 juta/36 jam pertemuan, seminggu 1,5 jam. Jadi bayarnya anggap saja 6 bulan sekali.
Biar nggak bingung, hitung per tahun saja ya. Uang sekolah 24 juta setahun. Uang kegiatan 3 juta. Uang terapi sensori integrasi dan okupansi 14 juta. Uang terapi perilaku kognitif 28 juta. Uang les 8 juta. Total 77 juta setahun. Dibagi 12 bulan berarti sekitar 6,4 juta per bulan.
Tentu biayanya bervariasi. Kalau melihat akun media sosialnya Grace Melia yang juga punya anak berkebutuhan khusus, di Jogja biaya sekolah dan terapinya lebih ringan. Tapi tetap saja jauh dari murah.
Bagaimana kalau anaknya berkebutuhan khusus sedangkan orang tuanya tidak sanggup membayar biaya pendidikan dan terapi? Terus terang saya tidak tahu. Yang beruntung mungkin bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah khusus milik pemerintah, gratis. Atau kalau berkebutuhan khususnya ringan saja, bisa masuk ke sekolah biasa.
Mbak yang bekerja di kasir kolam renang (yang sebelum era pandemi biasa dipakai berenang oleh murid-murid sekolah anak saya) pernah bertanya.
“Bu, anaknya berkebutuhan khusus ya? Tapi kok perilakunya baik dan bicaranya lancar. Tidak seperti keponakan saya. Usianya sudah 6 tahun tapi belum bisa bicara. Tidak bisa diatur. Hiperaktif. Orang tuanya kewalahan, jadi sehari-hari ia dikurung di kamar dan dikasih hape supaya anteng.”
Saya jelaskan, anak saya tidak setiap saat berperilaku sebaik itu, hehe. Bicaranya memang lancar, tapi banyak ngoceh. Kadang ya tantrum juga. Tapi karena rutin sekolah (sebelum pandemi) dan terapi, jadinya membaik (amin, ya Tuhan). Keponakannya coba diperiksakan ke klinik tumbuh kembang anak. Terus kalau memang perlu diterapi, ya terapi. Ngaruh kok terapi itu.
“Tapi biayanya pasti mahal ya Bu? Dan prosesnya lama, harus terus-menerus?”
Ya begitulah. Kehidupan keluarga kami cukup sederhana, jarang sekali liburan, dan saya tidak mengenal skinker (hiks). Tapi kami bersyukur diberi rejeki yang cukup sehingga minimal biaya pendidikan anak masih terbayar.
BACA JUGA 3 Alasan Tidak Ingin Punya Anak Bukanlah Sikap Egois dan tulisan Santi Kurniasari Hanjoyo lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.