Dua dekade melanglang buana dalam kehidupan, berbagai merek dan jenis mobil sudah pernah saya tumpangi. Pengalamannya beragam, mulai dari rasa nyaman di Suzuki Ignis meski bukan mobil mewah sampai rasa sebal di Datsun Go akibat safety alarm-nya-nya yang terlalu rewel. Meskipun demikian, masih ada mobil yang jauh lebih saya benci dan belum pernah saya ceritakan. Sejak kecil, saya adalah penggemar fanatik produsen mobil asal Jerman, Mercedes-Benz. Meski orang tua banyak membelikan koleksi mainan mobil Eropa lainnya seperti BMW dan Peugeot, kecintaan saya terhadap Mercy tak bisa pudar.
Di ajang balap Formula 1, mesinnya mampu membawa gelar juara tidak hanya untuk tim pabrikan, tetapi juga pada McLaren dan Brawn. Ini berarti, Mercy memang berkualitas dan boleh disejajarkan dengan Ferrari, meski yang belakangan memang lebih mahal dan bergengsi.
Di hadapan rekan-rekan saya yang Sultan, saya lebih banyak menyarankan Mercy ketika mereka mencari tunggangan mewah baru. Vito saya unggulkan dari Alphard, GLS saya unggulkan dari Land Cruiser, seri S saya unggulkan dari BMW 7 Series, seri E saya unggulkan dari BMW 5 Series, dan A200 Hatchback saya unggulkan dari Dodge Journey. Akan tetapi, ada satu yang takkan pernah saya unggulkan, yaitu Mercedes-Benz C250. Lho?
Keberadaan Mercedes-Benz C250 saat ini memang sudah tak ada di katalog resmi dealer Indonesia, tetapi ia pernah jadi salah satu andalan penjualan pada 2017 lalu. Datang dari basis W205 yang sudah dilego sejak 2015, mobil Mercedes-Benz C250 ini adalah seri termurah saat itu untuk bisa membawa pulang sedan mewah Mercy. Dan, seorang senior mengajak saya menjajalnya ketika mobil itu baru pertama kali dia tumpangi.
Hari itu kami hendak pulang. Sebagai orang biasa, tentu saya sehari-hari bermobilitas dengan jalan kaki dan transportasi publik alias ngirit. Akan tetapi, saat itu hujan deras dengan angin kencang dan petir tanpa henti sehingga beliau berbaik hati mengantar saya pulang. Mobil itu benar-benar baru diambil sang supir dari showroom untuk menjemput kami.
Lobby dan tempat parkir sama-sama tak beratap, sehingga kami harus buru-buru masuk ke dalam mobil dengan kondisi tas masih di punggung. Tak mungkin lagi membuka bagasi, bisa-bisa ruang bagasinya yang kebasahan. Saya harus berusaha sekuat tenaga untuk mendorong tas ke dalam mobil karena pintu yang sempit, ditambah lagi kepala menyentuh langsung atap mobil dan legroom yang sempit.
Ini mengingatkan saya pada mobil Toyota Soluna yang dulu dipakai oleh jasa antar-jemput sekolah. Tiga hari pertama, kepala saya selalu membentur atap mobil hingga benjol dan kaki ditekuk hingga keram. Saat itu, tinggi badan saya masih 145 cm dan kaki saya belum panjang, tak seperti sekarang dengan tinggi badan 172 cm dan kaki yang sudah lumayan panjang. Akan tetapi, bukan berarti saya bisa menerima begitu saja dimensi C250 ini. Sebagai mobil Eropa, harusnya kabin mobil Mercedes-Benz C250 ini dibuat lebih tinggi dengan legroom yang lebih luas untuk memenuhi kebutuhan orang Eropa yang berpostur tinggi-tinggi.
Senior saya menyarankan untuk memundurkan kursi demi legroom yang sedikit lebih luas, tetapi saya enggan. Dengan begitu pun, beliau selaku pemilik mobil juga sudah menderita, ikut menekuk kaki, dan kepalanya mentok atap. Kalau saya merasa ingin lebih enak, tentu tak tahu diri sebagai penumpang. Hanya seorang di kabin belakang pun sudah terlihat sempit, lagi-lagi mengherankan padahal mobil Mercedes-Benz C250 ini adalah sedan Eropa yang seharusnya malah bisa membawa tiga penumpang seperti postur umum orang Indonesia.
Melihat dimensi fisiknya yang sedikit lebih besar dibandingkan BMW 3 Series (E90) tentu membuat saya kaget. Sekitar tahun 2008 hingga 2009, saya sering menumpangi mobil ini dengan rekan saya yang lain. Mobil tetap terasa nyaman baik untuk tinggi kabin, lebar tempat duduk, maupun legroom sekalipun kursi depan dimundurkan, dan duduk tiga orang dewasa di kabin belakang. Alasannya, mungkin karena bodi mobil BMW yang lebih mengotak dibandingkan Mercedes C250 ini.
Untuk ukuran mobil mewah, peredam suaranya juga tidak berfungsi maksimal. Saya masih bisa mendengar dengan jelas raungan mesinnya, di mana ini sulit diterima untuk segmennya dan kalah telak dibandingkan Nissan Teana produksi tahun yang sama. Suspensinya juga tidak maksimal, di mana saya masih bisa beberapa kali merasakan sedikit guncangan akibat tidak ratanya tekstur jalan.
Yang lebih parahnya lagi ada pada pengendalian mobil. Dengan mesin berkapasitas dua liter, mobil ini bisa melaju dari nol hingga seratus kilometer per jam hanya dalam 6,6 detik dan menyemburkan tenaga hingga 208 bhp. Akan tetapi, sang supir hanya berani membawa mobil dengan kecepatan dua puluh hingga empat puluh kilometer per jam.
Tak ayal sang majikan kesal dan mengeluhkan gaya mengemudi yang terlalu lambat. Saya sempat membela sang supir dengan alasan sedang hujan dan jalan licin. “Tapi nggak gini juga, Cevan. Agung ini (nama supirnya) tak biasa mengemudi sedan selambat ini walaupun hujan dan ini jalanan kosong melompong,” beliau tambah sewot.
Usut punya usut, buasnya tenaga mesin ini membuat sang supir kagok. Baru menginjak gas sedikit, mobil langsung berlari kencang sehingga dia takut terjadi kecelakaan. Senior saya ini berkata, “Meskipun kita sama-sama pecinta Mercy, tetapi kecintaan kita salah untuk mobil yang satu ini.”
Hanya ada satu kecanggihan mobil ini yang patut saya apresiasi. Saat itu, rekan kami yang lain terjebak banjir cukup parah dan perlu segera berkumpul untuk suatu pertemuan, kurang lebih kedalaman satu ban. Senior saya ini segera mengirimkan mobil lengkap dengan supirnya untuk menjemput ketika pengguna mobil sekelas Avanza, Rush, atau HR-V ogah menerjunkan mobilnya karena menganggap genangan cukup tinggi. Mobilnya sukses menjalankan misi tanpa mengalami kendala apa pun di kemudian hari, ingat bahwa mobilnya sedan dan pendek.
Saya sempat bingung mengapa beliau tidak memilih seri E300 yang jauh lebih lega dan nyaman, saat itu “hanya” berselisih Rp100 juta dan itu kecil bagi orang seperti beliau. Memang, tampilannya jadi kurang seksi dan lebih mengotak seperti BMW 520i, tetapi itu jauh lebih baik mengingat kita duduk di dalam, bukan melihatnya dari luar. Beliau berusaha bertahan selama kurang lebih setahun dengan mobil itu, menempuh perjalanan kurang lebih empat jam setiap harinya, sampai akhirnya tersiksa dan menukarnya dengan tunggangan baru.
Mobil baru ini selalu disembunyikannya dan setiap kali saya tanya, beliau selalu menghindar. Akhirnya ada seorang rekan yang berhasil mengintip, dan dia adalah BMW X3. Tak kalah mewah memang, tetapi berasal dari brand saingan sesama asal Jerman yang selama ini tidak terlalu kami sukai. Beliau pun lebih bahagia dengan mobil barunya.
Ketika tiga tahun lalu harga off the road-nya adalah Rp759 juta, kini modal segitu hanya cukup untuk memboyong pulang si Cibo (baca: C180). Meskipun tenaganya tak lagi buas dengan tenaga “hanya” 156hp dan kapasitas mesin “hanya” 1.5 liter, sasisnya tetap W205 dan masalah ketidaknyamanan akibat dimensi tetap mungkin melanda. Kecuali tubuh Anda tergolong pendek dan langsing, saya tidak akan menyarankan pembelian mobil ini.
Jika Anda menaksir Mercedes-Benz C-Class, saya punya beberapa alternatif yang dapat dipertimbangkan. Jika Anda menaksir si Cibo, lebih baik boyong pulang Nissan Teana. Dengan harga Rp600 jutaan, mobil ini menawarkan dimensi kabin, peredam suara, dan suspensi yang jauh lebih nyaman. Memang ia mobil Jepang, tetapi setidaknya tidak pernah jadi taksi di Indonesia sepanjang sejarah, berbeda dengan C200 yang pernah digunakan oleh Silver Bird.
Jika Anda menaksir C200, saya menyodorkan BMW 320i. Bodinya tak kalah meliuk-liuk dan seksi dengan dimensi kabin yang lebih nyaman. Meskipun kode sasisnya kini sudah G90, tetapi secara dimensi tidak banyak berubah dari E90 dan perubahan lebih ditujukan pada sisi eksterior sehingga kenyamanan tetap terjaga. Keduanya sama-sama mobil Jerman, meski tentu soal pamor memang berbeda. Yang penting, harganya kurang lebih sama kan?
Jika Anda menaksir C300, saya kehabisan solusi. Rasanya ingin mengalihkan Anda ke E200, tetapi kan seri ini juga dipakai oleh Silver Bird. Bagaimana ya? Bingung. Kurang gengsi jika kita memiliki mobil dengan varian yang sama seperti mobil taksi, meski taksi mewah.
Itulah cerita saya mengenai Mercedes-Benz C250, mobil yang paling saya benci sampai saat ini dan secara umum tentu juga menyasar keseluruhan C-Class berbasis sasis W205. Bagi Anda yang saat ini bekerja keras demi cita-cita mobil ini, usahanya perlu diteruskan tapi tidak dengan niat membeli mobilnya.
Bagi Anda yang tak sanggup membeli dan tak pernah menumpanginya, tak perlu sedih sampai meneteskan air mata karena mobil yang Anda tumpangi selama ini rasanya lebih nyaman. Kalau saya ringkas, mobil ini adalah sedan mewah dengan rasa sepedih Toyota Soluna. Semoga, Mercy bisa memperbaikinya di W206 kelak sehingga mengembalikan kenyamanan ala W204 tanpa menghilangkan kecantikannya yang tak kalah terhadap seri S-Class.
BACA JUGA Datsun Go OTW Mobil Langka, Layak Dikoleksi Nggak? dan tulisan Christian Evan Chandra lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.