Setelah persoalan kerusakan Jalan Daendels Pansela yang tak kunjung tuntas, persoalan lain yang tak kalah serius juga terus mengintai pengguna jalur ini: kecelakaan lalu lintas. Di wilayah selatan Kebumen, Jalur Pantai Selatan (Pansela) kini bukan hanya dikenal sebagai jalan alternatif cepat, tetapi juga sebagai jalur yang menyimpan risiko tinggi bagi pengendara.
Secara visual, jalur pansela tampak “ramah”. Aspalnya relatif lebar, lalu lintasnya tidak seramai Pantura, dan di beberapa titik pemandangan sawah serta pantai menyegarkan mata. Jalur ini menghubungkan kawasan selatan Kebumen dengan Cilacap hingga Yogyakarta dan kini menjadi rute favorit banyak pengendara, terutama roda dua. Tapi, di balik lintasannya yang lurus dan tampak bersahabat itu, jalur pansela menyimpan cerita lain: deretan kecelakaan, dari yang ringan hingga yang berujung maut.
Sejak mulai difungsikan, bukan sekali-dua kali jalur ini menjadi lokasi tabrakan serius. Salah satu yang paling dikenang terjadi pada 2019 di wilayah Mirit, ketika adu banteng antara minibus dan pick up merenggut empat nyawa sekaligus. Sejak itu, Pansela tak lagi sekadar dikenal sebagai “jalur cepat”, tetapi juga sebagai lintasan yang menuntut kewaspadaan ekstra.
Jalan lurus yang menggoda untuk ngebut
Karakter utama Pansela adalah ruasnya yang panjang dan lurus. Dari kawasan Sungai Wawar, Mirit, hingga Buayan, pengendara seolah disuguhi karpet aspal tanpa banyak hambatan. Kondisi semacam ini kerap membuat orang terlena. Gas ditarik lebih dalam, kecepatan naik tanpa sadar, dan rasa waspada perlahan mengendur.
Masalahnya, jalan yang tampak mulus tidak selalu steril dari bahaya. Di beberapa titik masih terdapat lubang, aspal tidak rata, hingga pasir halus yang terbawa angin pantai. Dalam kecepatan tinggi, detail kecil semacam ini bisa berubah menjadi pemicu kecelakaan. Banyak pengendara lupa bahwa jalur pansela bukan jalan tol. Ia tetap jalan umum yang dilalui warga dengan segala aktivitas hariannya.
Minim rambu dan penerangan di sejumlah titik jalur pansela
Meski terus dibenahi, masih ada bagian jalur pansela yang terasa “telanjang”. Rambu lalu lintas memang tersedia, tetapi belum merata. Di sejumlah titik yang jauh dari permukiman padat, penerangan jalan masih minim. Pada malam hari, jalur ini bisa terasa panjang, sunyi, dan gelap. Di saat bersamaan, keberadaan SPBU, rest area, maupun fasilitas darurat di sepanjang jalur juga masih terbatas.
Bagi pengendara jarak jauh, kondisi ini cukup menyulitkan. Ketika kelelahan atau kendaraan bermasalah, pilihan untuk berhenti dengan aman tidak selalu tersedia dengan mudah.
Persimpangan desa yang tak pernah sepi
Salah satu sumber kerawanan terbesar Pansela justru berasal dari “jejak masa lalunya”. Sebelum dibangun sebagai jalur utama, sebagian ruasnya adalah jalan desa. Maka wajar bila hingga kini banyak persimpangan kecil yang menghubungkan Pansela dengan permukiman, sawah, kandang ternak, hingga akses menuju pantai. Petani yang pulang dari sawah, warga yang menyeberang, hingga pengendara motor dari jalan kampung, semuanya masih bersinggungan langsung dengan arus Pansela yang melaju kencang.
Tidak sedikit warga yang belum sepenuhnya terbiasa dengan perubahan karakter jalan di depan rumah mereka. Di situlah titik rawan itu lahir, antara kendaraan yang ngebut dan aktivitas kampung yang berjalan seperti biasa.
Kecelakaan di jalur pansela bukan sekadar human error, tapi juga soal lingkungan jalan
Setiap kecelakaan di Pansela hampir selalu disimpulkan sebagai akibat kelalaian pengendara. Faktor manusia memang memegang peran besar: ngebut, kurang fokus, atau menyalip sembarangan.
Namun, menyederhanakan masalah hanya pada “human error” terasa terlalu mudah. Lingkungan jalan ikut membentuk perilaku pengendara. Jalan yang terlalu lurus, relatif sepi, minim rambu, gelap di malam hari, serta kurang fasilitas penunjang keselamatan, semuanya ikut menyusun situasi rawan. Upaya pemasangan baliho peringatan di beberapa titik adalah langkah baik, tetapi belum tentu cukup jika tidak dibarengi perbaikan sistemik di titik-titik berbahaya.
Jika pada artikel sebelumnya Jalan Daendels Pansela dibahas dari sisi kerusakan fisik dan potensi ekonomi, di titik ini persoalan keselamatan menunjukkan bahwa kerusakan jalan bukan sekadar soal kenyamanan, melainkan juga soal taruhan nyawa. Jalan yang ditambal seadanya, penerangan yang setengah-setengah, serta rambu yang belum merata, semuanya ikut memperbesar risiko kecelakaan.
Setiap kecelakaan selalu menyisakan duka, tetapi seharusnya juga meninggalkan pelajaran. Jalur Pansela Kebumen menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur tidak cukup hanya mengejar panjang jalan dan kecepatan tempuh. Ia juga membutuhkan keseriusan dalam penyediaan fasilitas keselamatan, serta kesiapan perilaku para penggunanya. Pengendara dituntut lebih sabar, lebih sadar batas, dan tidak mudah tergoda oleh jalan lurus.
Di sisi lain, pembenahan rambu, penerangan, fasilitas darurat, serta penataan persimpangan desa perlu terus diperkuat. Sebab sejauh apa pun perjalanan, jika dilalui tanpa kewaspadaan, selalu ada risiko yang bisa mematahkan niat pulang dengan selamat.
Penulis: Akhmad Alhamdika Nafisarozaq
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jalan Daendels, Jalan Penghubung Yogyakarta-Purworejo yang Mirip Simulasi Neraka
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















