Pagi itu mestinya saya berangkat kuliah. Jadwalnya santai, dosennya baik, materinya ringan. Namun entah bagaimana, langkah saya justru berhenti di depan pintu kos dengan pikiran yang begitu nakal. Sepertinya, bolos kuliah “sekali saja” bukan masalah yang berarti. Sungguh salah. Seperti candu yang lain, awalnya bermula dari coba-coba dan berakhir pada penyesalan tiada tara.
Sekali urung, tiga sampai empat pertemuan akan terlewati. Awalnya cuma satu pertemuan yang terasa terlalu malas untuk diikuti. Keesokan harinya muncul alasan lain. Lalu alasan berikutnya melahirkan alasan lainnya dan terus beranak pinak menjadi setumpuk alasan. Konsekuensinya? Persetan dengan kuliah. Materi perkuliahan menumpuk, tugas mengantre tanpa henti, dan semuanya hanya menambah rasa malas yang semakin menggumpal.
Tamsil seperti tadi agaknya menjadi kelaziman banyak mahasiswa. Godaan bolos kuliah itu muncul tanpa permisi dan sering diterima tanpa perlawanan berarti. Awalnya sekadar strategi merapikan energi, konon untuk menjaga kewarasan di tengah tumpukan tugas. Lama-lama berubah menjadi kebiasaan yang sulit dijelaskan, apalagi dibenarkan.
Dan ini akan menyuburkan lingkaran setan. Satu bolos memicu bolos berikutnya, alasan bertambah, rasa bersalah menumpuk, tapi godaan untuk menyerah pada malas tetap lebih kuat. Setan!
Betapa menggodanya bolos kuliah
Memang perlu diakui, kesempatan bolos kuliah begitu menggoda. Biasanya di awal perkuliahan, saat membacakan kontrak perkuliahan, banyak dosen memberi lampu hijau kepada mahasiswa untuk tidak hadir tanpa keterangan sampai tiga kali. Inilah pangkalnya.
Kesempatan tidak hadir tanpa keterangan yang seharusnya menjadi cadangan darurat sering disambut tanpa strategi. Banyak mahasiswa menggunakan jatah itu di masa-masa awal perkuliahan, sekadar mengikuti rasa malas yang sedang manis-manisnya.
Hari esok adalah sebuah entah. Sehat, sakit, sibuk, sempat masih menjadi variabel yang tidak bisa dijamin. Masa perkuliahan panjang, ritmenya naik-turun, dan selalu ada hal tak terduga yang menuntut kompromi. Ketika jatah bolos kuliah sudah habis di awal, setiap kemungkinan buruk yang muncul di tengah jalan langsung berubah menjadi ancaman. Akibatnya, pertemuan pertengahan dan akhir menjadi taruhan.
Dan kenyataan seperti ini jelasnya sudah dipahami banyak mahasiswa. Mereka tahu hitung-hitungannya. Anehnya, pengetahuan itu tidak otomatis melahirkan kewarasan dalam mengambil keputusan.
Sebab masih jamak ditemukan mahasiswa yang serampangan menggunakan jatah bolosnya. Ini bukan lagi urusan malas atau tidak malas. Yang terjadi jauh lebih ruwet. Ada pola pikir aneh yang membuat banyak orang merasa dirinya kebal risiko, seakan peraturan kehadiran itu hanya berlaku untuk mahasiswa lain.
Mereka tahu syarat minimal hadir, tahu batas alfa, tahu konsekuensi akademik, tetapi tetap saja memainkan jatah bolos kuliah seolah sedang berjudi dengan keberuntungan. Boleh jadi, bagi mereka, dosen akan berlaku lunak atau sistem akan memberi toleransi tambahan. Padahal kelonggaran seperti itu munculnya sangat jarang, hampir mustahil.
Di lingkungan kampus, siklus seperti ini terus berulang. Setiap semester ada saja yang tumbang karena hitung-hitungannya meleset. Tidak ada yang betul-betul belajar dari tragedi akademik orang lain. Semua merasa tenang dulu, panik kemudian. Entah mengapa, peringatan paling keras selalu datang paling akhir, ketika ruang untuk memperbaiki keadaan sudah hampir habis. Dan ujungnya, bolos kuliah yang dianggap remeh itu justru menjadi pintu masuk menuju semester yang harus diulang.
Bolos adalah candu
Guna menguliti bagaimana kecenderungan bolos kuliah ini sudah menjadi kebobrokan yang menahun sekaligus penyakit psikologis, maka perlu dilihat bagaimana pola pikir mahasiswa bekerja saat berhadapan dengan rasa malas. Banyak dari mereka tidak benar-benar bolos karena benci kuliah. Mereka bolos karena ada konflik batin kecil yang dibiarkan tumbuh liar, yaitu tarik-menarik antara kewajiban dan keinginan untuk menunda.
Pola ini dikenal dalam psikologi sebagai delay discounting. Kecenderungan manusia memilih kesenangan kecil yang cepat ketimbang manfaat besar yang datang belakangan. Dalam konteks mahasiswa, kesenangan kecil itu adalah rebahan 20 menit yang berubah menjadi satu hari penuh. Sementara manfaat besar berupa nilai, pemahaman materi, dan kelancaran studi dianggap bisa diurus nanti. Meskipun nanti yang dimaksud sering kali tidak pernah datang.
Fenomena bolos juga berkaitan erat dengan apa yang disebut ego depletion, kondisi ketika kapasitas pengendalian diri menurun akibat tekanan. Ketika energi mental melemah, keputusan instan seperti bolos menjadi jauh lebih menggoda. Rebah sebentar terasa seperti solusi, padahal justru awal kemerosotan.
Lebih parah lagi, kebiasaan bolos kuliah kerap diperkuat oleh self-justification. Mahasiswa akan menciptakan narasi pembenaran agar rasa bersalah tidak terlalu mengusik. Seolah-olah, tidak masuk perkuliahan hari ini adalah keputusan yang logis.
Dengan mekanisme psikologis seperti ini, tidak heran bila bolos bisa dianalogikan seperti penyakit kronis. Awalnya biasa, lama-lama akan binasa.
Sudahi bolosmu, mari kuliah bersamaku
Sudah sepatutnya apa yang kita mulai, kita selesaikan. Begitu halnya dengan kuliah. Jangan sampai pikiran nakal untuk bolos kuliah yang awalnya sekali saja berubah menjadi kebiasaan buruk yang menjerat.
Setiap orang perlu membangun kiatnya masing-masing. Tidak ada formula instan untuk melawan godaan bolos. Yang berhasil untuk satu orang belum tentu cocok untuk yang lain. Namun, semuanya akan bermuara pada satu kesamaan, yaitu kesungguhan.
Bebaskan alasanmu untuk berangkat kuliah. Mungkin orang tua, pacar, teman, atau bahkan gengsi sendiri—apa pun yang membuatmu punya dorongan untuk hadir. Setidaknya, itu menjadi energi kecil yang menuntunmu menyelesaikan kuliah.
Penulis: Sayyid Muhamad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Buat Anak Organisasi Mahasiswa, Berhenti Bolos Masuk Kelas, Kegiatanmu Tidak Sepenting Itu!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.














