Sebagai salah satu kota besar sekaligus pusat pemerintahan dan ekonomi di Jawa Tengah, nama Semarang sudah diketahui banyak orang. Di samping keberagaman kuliner dan popularitas Lawang Sewu, Semarang juga dikenal karena keberadaan Simpang Lima. Bukan sekadar alun-alun biasa, boleh dikata Simpang Lima tak ubahnya jantung kota.
Oleh sebab itu, eksistensi Simpang Lima memberikan denyut kehidupan bagi daerah dengan sebutan Kota Lumpia itu. Keberadaannya tidak hanya memberikan ruang untuk warga berkumpul, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan dan identitas kota. Jika pusat kota yang disebut Lapangan Pancasila tersebut tak pernah ada, nasib Semarang mungkin tidak semujur sekarang.Â
Warga rentan depresi, hiburan merakyat tak ada lagi
Sebagai sebuah kota besar, ruang publik di Semarang tidaklah banyak dan tidak tersebar. Simpang Lima menjadi salah satu ruang yang paling gampang dituju, sudah tentu Simpang Lima. Nyaris setiap menjelang sore hingga malam, sekerumun masyarakat beraktivitas di sana. Selain gratis, banyak kegiatan yang memang dapat dilakukan.
Biasanya, masyarakat menikmati rekreasi malam dengan bersepeda hias mengitari alun-alun. Ada pula yang sebatas duduk di bangku taman sembari mengamati kendaraan berlalu-lalang. Tidak sedikit pula yang memanfaatkan Simpang Lima untuk berolahraga. Apalagi, di sana disediakan lapangan basket dan sejumlah peralatan fitnes ala kadarnya.
Intinya, Simpang Lima adalah wadah di mana masyarakat Semarang dapat memperoleh hiburan murah meriah. Jika beruntung, di sana terkadang diadakan konser rakyat yang boleh dihadiri secara cuma-cuma. Jika Simpang Lima tak pernah ada, bisa jadi banyak warga mengalami depresi. Peran Simpang Lima tak lagi sebagai lapangan biasa, melainkan sebuah pelarian dari tekanan hidup yang kian menghimpit.
Penggiat bisnis kecil tersingkirkan, masyarakat kecil susah cari makan
Bukan hanya perkara hiburan, urusan isi perut pun dapat terancam dengan ketiadaan Simpang Lima. Pasalnya, beberapa pedagang kecil berupaya mengais rezeki dari tempat tersebut. Mulai dari jasa menawarkan sewa sepeda hias, minuman ringan, hingga mainan anak.
Para penjaja tersebut memanfaatkan kedatangan masyarakat yang mengisi waktu luang di Simpang Lima. Apabila alun-alun tersebut tidak pernah ada, maka entah di mana lagi penggiat usaha kecil mencari sesuap nasi. Di sisi lain, tidak banyak ruang publik di sekitar kota yang mengizinkan para penjual untuk menjajakan dagangannya secara leluasa.
Tidak ada Simpang Lima Semarang, warga kebingungan saat ditanya arah suatu lokasi
Sebagai landmark utama, Simpang Lima kerap dimanfaatkan orang untuk patokan menunjukkan suatu tempat. Ibaratnya, Simpang Lima adalah titik nol di Kota Semarang yang juga memudahkan orang untuk berkumpul. Berbeda dengan Yogyakarta yang menggunakan arah mata angin dan keberadaan Gunung Merapi sebagai kompas alam, masyarakat Semarang terbiasa memakai Simpang Lima guna memudahkan pencarian lokasi beserta perkiraan jarak tempuh.
Hilangnya Simpang Lima pastinya akan memunculkan lubang besar dalam sistem orientasi warga. Tanpanya, orang akan kesulitan ketika harus menjelaskan dan menemukan suatu lokasi. Akan butuh waktu lebih lama untuk menemukan patokan baru di Semarang yang lebih representatif.
Walaupun tak sempurna serta pernah menyimpan cerita kelam, eksistensi Simpang Lima begitu berharga bagi warga Semarang. Adalah sebuah kerugian besar kalau Simpang Lima tidak pernah muncul dalam sejarah Kota Atlas. Namun, tetap saja wacana mengembangkan ruang hijau lain di kota ini harus dieksekusi. Bagaimanapun, rakyat jelata yang memerlukan penghiburan ekonomis tidak terbatas di wilayah kota saja.
Penulis: Paula Gianita
Editor: Kenia IntanÂ
BACA JUGA Hal yang Biasa di Semarang, tapi Tidak Lumrah di Magelang
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















