Saya pernah menulis soal bagaimana Kendal adalah daerah yang sangat medioker. Punya garis pantai (laut), punya gunung, dan letaknya di jalur Pantura, tapi tidak mampu mengolahnya. Itu mengapa daerah ini tidak mampu berkembang layaknya daerah-daerah tetangga seperti Batang dan Pekalongan di sebelah Barat atau Kudus dan Demak di sisi Timur. Tidak heran, masih banyak orang yang asing dengan Kendal. Itu mengapa saya menyebutnya sebagai daerah medioker.
Akan tetapi, saya rasa Kendal sebentar lagi akan punya predikat baru yang bisa membuatnya terkenal dari daerah-daerah lain di Pantura. Kendal sebentar lagi menyandang “Kota Sampah”. Ketika memasuki Kendal, para pendatang akan disambut dengan sekumpulan sampah yang dibiarkan menggunung begitu saja. Di Barat, penampakan ini bisa terlihat jelas di sepanjang area padat Pasar Weleri. Sementara di sebelah timur, sampah berserakan jadi pemandangan lumrah di daerah ramai Kaliwungu. Jadi dari barat dan timur, keberadaan sampah yang menumpuk selalu ada. Anehnya, tumpukan sampah-sampah ini dibiarkan terbengkalai.
Persoalan sampah di Kendal yang berlarut-larut
Hingga saat ini, infrastruktur penampung sampah di Kendal sangat buruk dan tidak ada upaya peremajaan dari pemerintah. Contohnya, kawasan sepadat Weleri hanya punya tidak lebih dari 7 titik penampung sampah. Akibatnya banyak sekali ruang-ruang kosong yang jadi pembuangan sampah.
Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir, volume sampah di Kendal terus meningkat seiring bertambahnya kepadatan penduduk dan aktivitas ekonomi. Data dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kendal mencatat, banyak Tempat Pembuangan akhir (TPA) yang hampir mencapai kapasitas maksimum. Pasalnya volume sampah mencapai sekitar 200 ton per hari, sementara kapasitas tiap TPA di beberapa kecamatan hanya mampu menampung sekitar 150 ton sampah per harinya. Sebagai contoh, TPA Darupono, yang menjadi tempat pembuangan utama, sering mengalami over kapasitas sehingga sampah meluber ke area sekitarnya.
Persoalan sampah di Kendal seperti penyakit panu yang solusinya tidak pernah dipikirkan serius, baik oleh pemerintah maupun masyarakatnya. Pada 2023, sempat ada angin segar karena pemerintah mewacanakan pengembangan bank sampah dan pembangunan fasilitas daur ulang.
Sayangnya, wacana tersebut menguap tak berbekas. Akar masalahnya adalah perkara anggaran yang alokasinya memang tidak ideal. Misalnya dalam dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) Pemkab Kendal 2022 menyebutkan, alokasi anggaran untuk belanja modal dari Dinas Lingkungan Hidup Kendal hanya sekitar Rp600 juta. Belanja modal di sini maksudnya adalah pengeluaran yang digunakan untuk pembelian, pembangunan, atau perbaikan aset tetap yang memiliki nilai jangka panjang dan digunakan untuk kepentingan publik.
Tentu kita bisa membayangkan, anggaran Rp600 juta tidak bisa hanya diperuntukan untuk sampah. Karena tupoksi dari DLH bukan hanya mengurusi persoalan sampah, tapi ada hal lain. Meski kadang masalah lain ini seperti siluman yang diada-adakan keberadaannya supaya anggarannya cair.
Ide-ide yang kurang tepat
Pemerintah pada tahun lalu juga mengeluarkan beberapa gebrakan seperti Gerakan Bersih Kendal. Awalnya memang punya dampak positif. Program ini setidaknya mampu mengumpulkan sampah hingga 10 ton pada bulan pertama pelaksanaannya. Namun, setelahnya, gerakan ini menghilang seperti siluman. Pada akhirnya, gerakan ini hanya jadi program yang dampaknya cenderung temporer. Malah bisa jadi menghabiskan anggaran karena seremonialnya saja yang megah.
Baca halaman selanjutnya: Belakangan, pemerintah …



















