Jawa itu begitu spesial. Jalan tak kelar direnovasi beberapa tahun saja pemerintah sudah bete. Sedangkan di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, banyak daerah yang nggak pernah punya jalan yang layak
Pekan lalu presiden ngomel-ngomel (lagi) karena progres perbaikan jalan Solo-Purwodadi tidak selesai bertahun-tahun. Mimik wajahnya sangat serius, sepertinya beliau memang kesal dengan hal ini. Kalau diingat, ini sudah kedua kali Presiden ngecek langsung di ruas jalan ini.
Tidak sekali ini aja Presiden tinjau langsung jalan rusak. Beberapa kali, termasuk jalan yang (viral duluan) terletak di Lampung beliau cek langsung. Luar biasa ya Presiden kita ini?
Menurut catatan Kementerian PUPR, sejak 2014, lebih dari 1.150 km jalan nasional yang sudah dibangun. Sedangkan untuk jalan tol yang beroperasi di era Jokowi ada lebih dari 1.713 km. Capaian fantastis!
Tapi, saya tidak sedang memuji berapa jalan yang dibangun Jokowi. Saya hanya membayangkan betapa beruntungnya tinggal di Jawa. Sebab, jalan tak selesai beberapa tahun saja sudah bisa bikin petinggi cemberut. Sedangkan di tempat saya, Bengkayang, jalan malah tak pernah selesai.
Daftar Isi
Kabupaten Bengkayang, luput dari media, luput dari pembangunan
Kebetulan, selama lebih dari setahun ini, saya tinggal di salah satu wilayah terpencil di Provinsi Kalimantan Barat, tepatnya di Kabupaten Bengkayang. Mungkin buat banyak dari pembaca, nama kabupaten ini asing ya? Ya, karena jarang terliput media.
Sebagai orang yang selama 27 tahun hidup di tanah Jawa, hidup di wilayah terpencil di Kalimantan ini termasuk tantangan tersendiri. Mengapa? Ya betul, karena akses yang minim. Untuk gambaran, saya akan menjelaskan secara ringkas wilayah tempat saya tinggal.
Kabupaten Bengkayang berjarak kurang lebih 170 km dari ibu kota provinsi, yaitu Pontianak. Perjalanan biasa ditempuh dengan mobil selama 4-5 jam dengan kecepatan sedang. Jarak dan waktu tempuh segitu, termasuk biasa saja di sini, tidak jauh, tapi tidak juga dekat. Jalan yang menghubungkan kedua wilayah ini cukup ramai untuk setengah perjalanannya, karena banyak pasar. Lalu setengahnya lagi seperti menembus hutan belantara.
Jalannya juga nggak lebar seperti di Jawa, hanya dua ruas yang cukup dilalui 2 truk yang berpapasan. Bandingkan saja dengan Jawa yang jalan tol saja bisa sampai 4 ruas untuk satu sisinya.
Jalan di pusat kabupaten Bengkayang pun juga kurang lebih sama lebarnya. Anda tahu? Melintasi pusat kabupaten ini tak lebih dari 10 menit. Sekali lewat, sudah selesai. Disebut pusat pun karena ada pasar, kalau tidak? Ya seperti jalanan lain yang dikelilingi hutan.
Wilayah Bengkayang cukup luas, dengan desa yang menyebar sampai bersebelahan dengan Malaysia. Kondisi topografinya mirip-mirip; tanah gambut, dominasi vegetasi oleh jagung dan sawit. Banyak tanah yang masih belum dikelola dan dibiarkan begitu saja.
Nggak banyak aspal di sini
Sebagian besar desa di Bengkayang harus ditempuh dengan perjuangan. Jalan yang berliku, banyak yang masih tanah dan batu, serta cukup jauh dari pusat kota. Jadi, jalan aspal (atau sering disebut jalan hitam) memang tak banyak.
Tanah di sini, jangan dibayangkan seperti tanah di Jawa ya. Lagi-lagi ini tanah yang susah dilewati kalau musim hujan. Rasanya seperti terjebak lumpur kalau Anda lewat. Tanahnya yang kemerahan bisa membuat Anda frustrasi untuk sekadar melewatinya. Kalau musim kemarau, ya siap berhadapan dengan batu dan debu yang luar biasa jumlahnya. Jalan pakai mobil saja serasa naik kapal di atas samudera, goyang-goyang dan bisa memabukkan.
Saya pernah punya pengalaman, masuk ke suatu kampung. Kampung ini terletak di ujung gunung terpencil di Bengkayang. Kami berangkat pagi-pagi benar dengan mempersiapkan motor dan perlengkapan tempur. Kami perlu masuk ke desa dulu, kurang lebih 30 menit perjalanan dari jalan hitam.
Setelah berjalan di trek batu selama 30 menit, kami mulai menanjak melewati jalanan yang super becek. Benar-benar menembus hutan belantara. Tidak menyangka kalau ada kampung yang seterpencil itu. Oh ya, jangan harap motor Supra yang biasa kamu parkir di ruang tamu bisa dengan elegan lewat sini ya. Motor trail saja pontang panting lewatinya.
Motor yang saya kendarai harus jatuh berkali-kali karena tak mampu lewat jalan yang super licin dan lumpur yang melumuri kedua ban. Kami bergantian saling menolong untuk membantu teman yang jatuh, motor mati, sampai adegan kecemplung rawa gambut.
Perjalanan seperti ini kami tempuh kurang lebih dua setengah jam. Padahal, jaraknya tidak lebih dari 15 km. Di ujung perjalanan mulai terlihat rumah-rumah penduduk yang jaraknya jarang-jarang. Kurang lebih ada 40 rumah. Betul, cukup banyak untuk ukuran kampung terpencil di Bengkayang.
Jasa ongkir material lebih mahal dari materialnya
Sesampainya saya di sana, saya mulai berkeliling dari rumah ke rumah yang umumnya terbuat dari kayu, anyaman bambu, dan ada juga yang sudah tembok. Ini yang membuat penasaran. Bagaimana caranya material bangunan dibawa dari kota ke sini?
Rupanya itu dilakukan hanya di musim kemarau, menggunakan mobil yang memang khusus untuk jalanan seperti itu. Ongkirnya pun amat mahal, bisa ratusan ribu sampai jutaan rupiah sekali angkut. Rata-rata penduduknya juga tak punya kendaraan karena mereka bekerja pun cari hewan atau tanam sayur di hutan.
Bagaimana kalau cari hiburan? Mereka tak mengenal hiburan macam orang kota. Bagaimana dengan listrik dan sinyal HP? Tidak ada listrik PLN, dan jaringan SOS. What do you expect, jalanan Bengkayang aja kayak gitu.
Bagaimana kalau sakit? Ya, ini bagian yang pahit. Kalau sakit, mereka lebih banyak memilih menahan diri dan berusaha sembuh dengan obat-obatan tradisional. Kalau parah bagaimana? Jika parah, masyarakat bisa saling bantu untuk gotong sampai ke puskesmas terdekat dengan medan yang sudah saya ceritakan tadi. Ada selentingan yang masih saya ingat, “Di sini kalau bisa jangan sakit keras, karena pilihannya bisa mati”
Jauh dan sulitnya akses membuat masyarakat mending memilih di rumah saja, dirawat seadanya. Kuat-kuatlah doa mereka agar selalu diberi kesehatan. Kalaupun sakit, banyak yang lebih memilih ditahan saja, karena perlu effort tenaga dan biaya yang besar sekadar untuk berobat.
Sekolah kalau ada gurunya aja
Lalu, bagaimana dengan pendidikan? Ada satu bangunan kecil di pinggir kampung yang berfungsi sebagai Sekolah Dasar. Mungkin ukurannya 8×4 meter saja dan di dalamnya disekat menjadi 4. Tiga untuk ruang kelas, satu untuk ruang guru. Kelas 1, 2, dan 3 masuk pagi selebihnya masuk siang dengan ruangan yang bergantian.
Karena sekat tak sampai atas, berisik tak bisa dihindari. Tapi Anda tahu? Tak setiap hari sekolah ini ada KBM karena tergantung dari guru datang atau tidak. Bayangkan saja, guru harus melewati jalan yang seekstrem itu untuk bisa mengajar. Nyampe sekolah pasti sudah tak berbentuk atau bahkan sudah habis waktunya.
Kebanyakan anak-anak menunggu di depan rumah kalau pagi, menunggu apakah gurunya lewat atau tidak. Jika lewat, berarti ada KBM, kalau tidak ya mereka libur. Keren, bukan?
Iri dengan Jawa, miris melihat Bengkayang
Ya itulah realitas. Itu saya baru cerita singkat satu kampung ya.
Saya miris, ketika Jawa, dengan segala kelas infrastrukturnya dibangun sedemikian masif, kuat, berkualitas, dan diperhatikan betul oleh Presiden. Seperti cerita saya di awal, ruas jalan yang sama saja dicek dua kali dan diukur betul-betul kualitasnya oleh beliau langsung. Sementara, di depan mata saya, ada kampung yang terputus dari dunia karena akses jalan yang tak memadai.
Ah, andaikan saja jalanan di sini dimanjakan sama seperti Presiden memanjakan jalan Solo-Purwodadi. Apakah karena di sini tidak ada potensi ekonomi atau tidak ada laju bisnis sehingga tak terlalu penting diperhatikan?
By the way, mumpung masa pilpres, saya akan memilih capres yang mau masuk ke wilayah-wilayah seperti ini. Syukur-syukur mau jatuh bergelimang lumpur dan menikmati sunyinya dunia tanpa listrik dan sinyal. Ya, mumpung belum pemilu, siapa tau tulisan ini dibaca oleh capres-cawapres kita yang terhormat ya.
Penulis: Daniel Pradina Oktavian
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kalimantan itu Isinya Nggak Cuma Hutan, Kuyang, dan Perdukunan, Bos