Katherine Schulten dan Michael Gonchar, 2 penulis The New York Times bersepakat bahwa di dunia ini tidak ada makanan yang tidak kita suka. “Semuanya soal makanan yang belum kita coba, bukan makanan yang kita benci.” Keduanya merujuk kepada rasa atau taste manusia. Sesuatu yang relate dengan kebencian saya kepada Ariel Noah dan lagu “Bintang di Surga“.
Tapi begini. Di satu sisi, pendapat keduanya sangat masuk akal. Terkadang kita sangat skeptis ke sebuah menu. Padahal, kita belum pernah mencicipi dan mencari tahu rasa yang terkandung. Kita menghakimi dengan sesuatu yang kita sendiri tak memahaminya… setidaknya belum.
Soal rasa, manusia juga menggunakannya untuk membuat semacam indikator untuk selera musik. Setidaknya ini berlaku untuk saya sendiri ketika mendengarkan Ariel Noah. Mendengarkan “Bintang di Surga”, lagu baru yang sempat dirilis ulang, rasanya malas sekali. Rasanya enggan, bahkan sekadar untuk membiarkan lagu itu usai dimainkan sebuah pemutar musik lawasan.
Peterpan, kini Noah, pernah masuk ke dalam daftar lagu yang tak akan saya dengarkan seumur hidup. Ketimbang Ariel Noah dan nomor “Bintang di Surga” yang video barunya lumayan keren itu, saya lebih memilih mendengarkan Didi Kempot atau Erie Suzan. Saya suka lagu “Muara Kasih Bunda” yang didendangkan Erie dengan suaranya yang menggelegar itu.
Daftar Isi
Selera saya menolak Ariel Noah dengan keras
Referensi musik saya sendiri bisa dibilang “sangat tidak Indonesia”. Sudah begitu, terbatas di genre yang itu-itu saja. Dulu, yang saya dengarkan bahkan cuma Slipknot, Eminem, Dr. Dre, Nas, dan Tupac. Sudah, 5 seniman itu saja.
Lagu-lagu Indonesia? Paling cuma Dewa 19 dan Padi. Peterpan dan Noah? Keduanya tak pernah bisa mendekat ke hati saya. Apalagi masuk. Lagu-lagunya saya anggap cengeng, Ariel Noah kalau nyanyi nggak buka mulut, terdengar lemah, dan histeria dari lagu-lagu mereka terlalu berlebihan… buat saya tentunya, bikin nggak nyaman.
Namun, terjadi sebuah perubahan yang saya sendiri tidak menyangka bakal terjadi. Seiring usia, ada pergeseran selera yang tidak saya duga. Lagu-lagu dari band atau penyanyi solo yang dulu “enggak banget” jadi lebih enak untuk didengarkan. Bahkan, pada titik tertentu, saya jadi suka banget.
Awalnya adalah Gigi dengan lagu-lagu religinya. Lagu-lagu dengan nafas Islam, padahal saya Katolik. Lalu lagu-lagu cinta mereka, dengan lirik yang sebetulnya “tidak canggih” untuk ukuran prosa, tapi pas dan enak sekali. Cocok untuk menemani perjalanan pulang dari kantor yang bisa memakan waktu sampai 55 menit.
Gigi, dengan lagu-lagunya yang ajaib menjadi band yang paling banyak saya dengarkan sepanjang 2021. Spotify mencatatnya dengan baik. Bahkan membuatkan folder tersendiri.
Tiba-tiba bisa menikmati “Bintang di Surga”
Lalu soal Ariel dan Noah. Yah, saya bahkan kaget ketika ikut berbendang di kantor di sebuah malam. Teman-teman sedang mengaso. Mereka bermain gitar dan sing a long dari sebuah pemutar lagu. Malam itu, kebetulan, adalah “Bintang di Surga”, lagu Noah yang pernah dipermak ulang.
Iya, saya ikut berdendang. Saya tidak tahu lirik lagu “Bintang di Surga”. Namun, saya bisa ikut menyanyikannya. Tentu dengan suara yang sangat tidak menyenangkan untuk didengar khalayak ramai. Batin saya, “Sialan!” Untung, teman-teman di kantor tidak tahu soal pergolakan yang terjadi di dalam batin saya.
Konyolnya, saya menulis artikel ini sambil mendengarkan suara Ariel Noah di Spotify. Pas sampai di paragraf ini, lagu yang diputar adalah “Dan Hilang”. Beat yang asik membuat saya lebih cepat menulis. Sialan, kenapa jadi enak seperti ini.
Frank Bruni, kolumnis The New York Times, menegaskan begini: “There’s beet aversion, and there’s beet adoration.” Di kehidupan ini, ada periode keengganan dan periode pemujaan. Frank Bruni itu picky eaters. Kalau makan, dia suka pilih-pilih. Tapi ini masih mending ketimbang kalau ditanya mau makan apa, jawabnya: “Terserah.” Menyebalkan.
Perubahan dalam diri Frank terjadi di usia 30an, ketika dia menyadari bahwa semuanya adalah soal pengalaman dan yang terekam oleh otak. Dr. Gary Beauchamp, ahli rasa dari Monell Chemical Senses Center di Philadelphia, menegaskan hal ini.
“Sebetulnya ini semua tidak selalu terkait dengan mulut atau selera, tapi tentang sesuatu yang terjadi di dalam otak manusia,” kata Dr. Gary. Pengalaman yang menumpuk membuat otak akan merespons hal yang sama dengan “cara baru”.
Selera yang berubah
Soal rasa, saya mengalaminya di selera musik. Saya sudah mulai jarang mendengarkan Slipknot. Mungkin, kecuali, ketika stres menumpuk.
Pergeseran pemikiran di dalam otak, mungkin, yang membuat saya bisa menerima, bahkan di derajat tertentu, mencintai lagu-lagu dan suara Ariel Noah. Saya menemukan bahwa lirik-lirik yang terkandung, kok ya ndilalah, bisa menggambarkan suasana hati dan pemikiran.
Dulu, saya menemukan lagu-lagu Peterpan atau Noah sebagai lagu cinta saja. Namun ternyata, semuanya lebih besar ketimbang sebatas cinta 2 insan saja. Ada pemikiran kompleks yang disederhanakan lewat suara aneh dari Ariel Noah.
Begitulah, pergeseran selera tidak melulu soal rasa dan indera pengecap. Ada juga soal taste buds atau selera di musik. Berkat pengalaman yang mulai menumpuk dan otak manusia yang merekam dengan baik. Noah, kamu keren juga, ya.
Penulis: Yamadipati Seno
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Video Musik Menghapus Jejakmu dan Memori Indah Masa Lalu yang Dibawa Noah
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.