Kalau dipikir-pikir, manusia itu makhluk yang hobi cari keribetan. Bagaimana tidak, perkara kelak hendak dipanggil dengan sebutan apa oleh anak tercinta saja dibuat topik kegalauan tak berkesudahan. Buktinya, dalam sebuah unggahan di platform media sosial Instagram, akun dengan username @syifamaharanii_ mengategorikan sederet nama panggilan kepada orang tua berdasarkan kesan yang ditampilkan oleh masing-masing julukan.
View this post on Instagram
Hal tersebut terang-terangan diamini pula oleh warganet yang lain. Salah seorang netizen yang mencurahkan isi hatinya pada kolom komentar unggahan tersebut mengakui bahwa sejatinya ia ingin dipanggil dengan sapaan “mami”. Apa daya, hati kecilnya merasa ia jauh dari kata pantas guna menyandang predikat tersebut.
Alasannya sudah dapat kita tebak. Apalagi kalau bukan berhubungan dengan kemampuan finansial. Warganet tersebut merasa bahwa sepanjang ia hanya sanggup mengendarai Honda Beat, panggilan “mami” tersebut tak layak untuknya. Lain cerita bila sehari-hari ia sudah menunggangi Honda CRV.
Fenomena di atas memang bukan lagi sesuatu yang baru di Indonesia. Perihal stigma status sosial dan ekonomi yang dicerminkan melalui nama panggilan orang tua telah mengakar kuat cukup lama. Beberapa dasawarsa yang lalu, tak banyak orang berani melabeli dirinya dengan sebutan “mama-papa” atau “mami-papi”. Pasalnya, panggilan tersebut dianggap hanya cocok ditujukan kepada golongan berpunya.
Faktor Modernisasi
Jujur saja, persoalan yang kedengarannya sepele ini mampu membuat calon orang tua menjadi overthinking sebagaimana yang diilustrasikan oleh @syifamaharanii_ dalam akun Instagram miliknya. Tidak dapat dimungkiri, kemajuan zaman turut serta mendorong pergeseran perilaku sosial masyarakat.
Generasi milenial perempuan, contohnya. Mayoritas dari mereka akan menolak mentah-mentah menyandang julukan “simbok”, “enyak”, “emak”, atau bahkan “ibu” yang dianggap kuno untuk sekarang ini. Nggak merefleksikan figur orang tua modern, katanya.
Sebagai generasi yang masih ingin dibilang sebagai orang tua muda nan gaul serta melek teknologi, kebanyakan milenial cenderung bermain aman dengan mengambil pilihan sapaan yang digunakan sejuta umat, “mama-papa”. Tidak ketinggalan zaman, tapi juga jauh dari kesan sok elite. Ya, modernisasi telah mereduksi derajat “mama-papa” sebagai panggilan ningrat menjadi predikat yang boleh dilekatkan pada jelata tanpa pangkat.
Di samping faktor modernisasi, ada penyebab lain yang menjadikan sejumlah panggilan terhadap orang tua dihindari pemakaiannya oleh sebagian individu. Meminjam terminologi dari disiplin ilmu marketing, setiap panggilan kepada orang tua, nyatanya memiliki positioning tersendiri di benak masyarakat Indonesia. Ada pandangan khusus yang ingin ditampilkan secara sengaja oleh mereka yang menggunakan nama panggilan tertentu.
“Umi-abi”, misalnya, dianggap hanya sesuai digunakan oleh mereka yang paham terhadap agama oleh kebanyakan orang. Sedangkan panggilan “ayah-bunda” seakan menonjolkan sosok orang tua ideal yang khatam ilmu parenting serta tidak bakal ikutan tantrum manakala si kecil rewel tengah menguji kesabaran orang dewasa. Tidak heran, ada netizen yang menyatakan bahwa sebutan “bunda” tak sesuai dengan dirinya yang memiliki batas toleransi setipis tisu alias mudah naik darah.
Sudah pasti, tidak ada hukum tertulis yang mengatur segala persepsi tersebut. Oleh sebab itu, sejujurnya, sah-sah saja apabila seseorang mengajarkan buah hatinya untuk memanggilnya dengan sebutan apa pun selama masih dalam koridor sopan santun, terlepas dari status sosial maupun ekonomi yang dipangkunya.
Personal Branding
Sayangnya, stereotipe yang menempel pada masing-masing sapaan sudah telanjur mengendap dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, ada makna personal branding dengan tujuan membangun pencitraan dalam setiap nama panggilan yang digunakan, di samping fungsinya sebagai penunjuk kasta sosial.
Tidak percaya? Contoh nyatanya adalah manuver yang dilakukan oleh penyanyi Raisa.
Saat masih berstatus single, personal branding yang bercokol di benak masyarakat terkait imej Raisa adalah penyanyi eksklusif dalam artian negatif. Pendapat ini muncul karena tersebar luasnya desas-desus mengenai riders yang diduga milik Raisa di mana ia minta disiapkan air mineral merek ternama untuk keperluan membasuh dirinya. Jelas, kalau itu benar, jumlah botol atau galon air yang diperlukan tidak bisa dibilang sedikit.
Permintaan yang kurang lumrah itu sukses membuat Raisa dicap sebagai artis yang tidak membumi, di luar simpang siur kebenaran kabar burung tersebut. Akan tetapi, opini netizen langsung berubah drastis manakala Raisa mengajarkan anaknya untuk memanggil suaminya, Hamish Daud, dan dirinya sendiri dengan sebutan “bapak-ibu”. Alih-alih menuai cibiran karena memilih panggilan tidak kekinian, mereka malah memanen pujian.
Apa yang dilakukan Raisa dan Hamish dipandang sebagai bentuk kesederhanaan. Padahal, tidak ada yang istimewa dari itu semua hanya karena orang yang memilih panggilan bapak-ibu merupakan sosok yang populer, bergelimangan harta, dan berdarah blasteran. Perubahan citra seseorang yang signifikan ini menjadi contoh kecil bahwa sapaan untuk memanggil orang tua adalah alat mumpuni dalam membentuk penilaian individu di mata publik.
Meskipun benar bahwa nama panggilan apa pun boleh digunakan oleh siapa pun, ada aturan tersirat yang berlaku dalam kehidupan bersama. Seseorang bebas memperkenalkan diri dengan sapaan apapun kepada anak apabila aset yang dipunyai mampu menghidupi tujuh turunan. Sebutan lawas atau kurang estetik, justru menempatkan mereka pada posisi yang menguntungkan karena akan membangun persona positif seperti imej bersahaja.
Sebaliknya, kalau duit pas-pasan, dilarang keras meminta disebut “memsye-pepsye” yang dipakai pasangan Raffi dan Nagita Slavina. Itu kalau tidak mau jadi bahan perbincangan abadi mulut pedas tetangga.
Penulis: Paula Gianita Primasari
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Di Desa Saya, Panggilan Orang Tua ‘Bapak-Emak’ atau ‘Papi-Mami’ Adalah Bahan Ghibah yang Gurih.