Baru-baru ini, Mbak Dian Sastrowardoyo berkicau di Twitter. Di kicauannya itu, Mbak Dian mengajukan sebuah teori yang ia ciptakan sendiri: Teori Identitas Bangsa Indonesia. Ia juga menyertakan sebuah grafik yang menjelaskan inti dari teorinya tersebut bahwa pengetahuan dan wawasan tentang sejarah dan kebudayaan asli Nusantara yang luas berbanding lurus dengan rasa bangga sebagai orang Indonesia. Teori ini tampak meyakinkan, tapi sejauh mana ia mampu menjelaskan kondisi bangsa kita sekarang?
Semua orang tentu saja boleh mengajukan teori. Kamu yang sedang selonjoran membaca tulisan ini boleh melakukannya. Tetangga saya yang sehari-hari berjualan cilor di depan SD itu berhak membuat teori baru. Saya yang sudah semester 9 dan belum lulus-lulus ini juga punya hak yang sama. Namun, tidak semua teori layak diterima dan diaminkan. Dalam tulisan ini, dengan berat hati saya menyatakan bahwa saya menolak teori yang diajukan Mbak Dian Sastrowardoyo karena beberapa alasan.
Pertama, saya merasa bahwa ada banyak variabel yang tidak diikutsertakan dalam teori beliau, misalnya saja pengalaman didiskriminasi. Sekarang, mari kita bayangkan seorang Warga Negara Indonesia yang memiliki wawasan luas tentang sejarah dan kebudayaan Indonesia, tapi kebetulan ia adalah peranakan Tionghoa. Seumur hidupnya, orang ini mengalami perlakuan diskriminatif di tanah airnya sendiri dan perlakuan itu datang dari saudara sebangsa setanah airnya. Akankah dia masih punya sense of belonging yang kuat akan negaranya? Apakah wawasannya tentang negaranya itu cukup untuk menghapus rasa sakit hati dan trauma dari perlakuan buruk yang ia terima?
Kedua, saya merasa bahwa wawasan tentang sejarah dan kebudayaan bangsa bukanlah alat yang mutlak bisa mendongkrak kebanggaan kita sebagai orang Indonesia. Mengapa? Karena sejarah dan kebudayaan kita tidak melulu berisi cerita heroik dan ramah tamah.
Sejarah, terutama, sering kali malah menguak sisi gelap bangsa dan membeberkan dosa-dosa tergelap para pendahulu kita. Dengan belajar sejarah, kita tahu bahwa di tahun 1965, pemerintah membunuh jutaan orang dengan cara-cara yang sadis hanya karena mereka disinyalir memeluk ideologi yang berseberangan dengan pemerintah. Pada tahun 1977-1978, negeri ini memaksa Papua Barat untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia dengan cara membunuh ribuan orang warganya. Apa yang bisa kita banggakan dari sejarah semacam ini? Saya rasa tidak ada.
Karena itu, kurang tepat jika sejarah digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kebanggaan akan tanah air. Saya lebih setuju dengan pendapat dosen kesayangan saya, Prof. Achmad Munjid, yang mengampu mata kuliah History of English Literature waktu saya masih semester dua dulu. Beliau berkata bahwa kita harus belajar sejarah agar bisa mencegah terulangnya tragedi-tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di masa lampau.
Yang ketiga, teori ini diajukan tanpa disertai pembuktian. Saya penasaran, apakah Mbak Dian Sastrowardoyo sudah melakukan survey terhadap orang-orang dengan wawasan luas soal sejarah dan kebudayaan bangsa? Jika iya, maka apakah hasil survey tersebut memang menunjukkan bahwa sebagian besar atau seluruh partisipan tersebut memiliki rasa bangga yang tinggi sebagai orang Indonesia? Tanpa bukti, teori tidak ada bedanya dengan omongan ngalor ngidul di warung kopi.
Saya juga penasaran: cara seperti apa yang akan digunakan Mbak Dian untuk mengukur rasa bangga terhadap tanah air? Apa indikatornya? Menangis saat mendengarkan lagu Indonesia Raya? Membayar pajak dengan tertib? Ikut bela negara? Mengoleksi pakaian adat dari seluruh provinsi? Bisa mementaskan kuda lumping dan reog? Saya rasa bagian menentukan indikatornya ini akan jadi cukup menantang.
Tiga alasan di atas tidak dibuat atas dasar kebencian saya pada Mbak Dian Sastrowardoyo. Sungguh, di mata saya, Mbak Dian masih sosok mengagumkan dengan segudang prestasi. Namun, betapa pun mempesonanya beliau, saya menolak untuk taqlid buta. Saya harus bilang bahwa teori yang ia ciptakan ini berpotensi menyepelekan berbagai persoalan. Orang-orang yang mempercayai teori ini bisa saja menuding saudara-saudara kita di Papua Barat yang sedang menuntut kemerdekaan itu sebagai golongan malas membaca dan minim wawasan. Padahal, gerakan separatis di Papua muncul bukan karena mereka tidak tahu soal sejarah dan kebudayaan bangsa, melainkan karena berbagai opresi dan penjajahan yang mereka terima sejak puluhan tahun silam.
Rasa kepemilikan dan kebanggaan yang rendah akan bangsa bukan cuma soal kurang belajar. Bisa jadi perasaan itu muncul karena ada rumah ibadah yang dirusak, ada ruang privat yang diusik, ada prestasi yang tidak diakui, ada hak-hak dasar yang tidak dipenuhi. Ada banyak penelitian dan buku yang bisa membuka mata kita mengenai hal ini. Mari kita sama-sama belajar agar kita sama-sama sadar bahwa Indonesia berkeadilan masih jauh dari jangkauan.
Saya yakin bahwa kemunculan orang-orang yang menolak bangga akan identitasnya sebagai orang Indonesia bukan untuk kita jadikan bahan cemoohan. Akan tetapi, justru sebuah pertanda bahwa kita harus bertanya kepada diri sendiri dan berefleksi: sudah sejauh mana usaha kita dalam menjadikan Indonesia sebagai ruang aman bagi setiap warga negaranya?
BACA JUGA Nasib Bangsa Ini di Tangan Dian Sastro atau Abidah Naqiya tulisan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.