Kalian pernah penasaran nggak kenapa Korea Selatan punya banyak sekali makanan fermentasi?
Saya yakin betul, kalian pasti ikut ngiler dan laper saat melihat adegan makan-makan di drama Korea. Ena betul liat mereka makan.
Adegan makan-makan, baik itu di rumah maupun restoran, selalu membuat penonton tergiur. Melihat nasi putih hangat yang mengepul dilengkapi dengan banyak banchan atau lauk pasti nggak akan gagal membuat kita jadi penasaran dengan cita rasa makanan Korea.
Kalau kita perhatikan, selalu ada satu menu yang nggak pernah terlewatkan dalam setiap sesi makan-makan di drama Korea. Yaps, betul, kimchi. Kimchi sudah menjadi menu wajib yang haram ditinggalkan. Masyarakat Korea dari kelas sosial mana pun hampir nggak bisa makan tanpa kimchi.
Daftar Isi
No kimchi, no party
Kimchi ini bukan hanya terbuat dari sawi putih. Sebab, pada dasarnya kimchi adalah nama yang digunakan secara luas untuk makanan yang diasinkan dan difermentasikan. Selain baechu kimchi atau kimchi yang diolah dari sawi putih, ada pula kkakdugi atau kimchi lobak yang dipotong dadu, nabak kimchi atau kimchi air, yeolmu kimchi yang merupakan kimchi lobak musim panas, hingga oi sobagi atau kimchi dari mentimun. Masih ada banyak variasi kimchi yang nggak akan cukup jika disebutkan satu per satu di sini.
Kimchi yang merupakan makanan fermentasi ini saja jenisnya ada banyak sekali. Seakan-akan semua hasil panen bisa diolah menjadi kimchi. Meski begitu, sebenarnya nggak cuma kimchi yang diolah dengan cara difermentasikan. Korea Selatan memiliki beragam hidangan yang juga dibuat dengan metode fermentasi. Berikut ini beberapa di antaranya.
#1 Gochujang
Gochujang adalah bumbu fermentasi tradisional Korea yang terbuat dari nasi kukus atau jelai, kue beras bubuk, atau bubur beras yang dicampur dengan bubuk kedelai yang sudah difermentasi, garam, dan bubuk cabai merah. Gochujang diperkirakan pertama kali hadir pada akhir abad ke-16 dan banyak dimanfaatkan di akhir Dinasti Joseon.
#2 Ganjang dan doenjang
Keduanya adalah makanan fermentasi Korea yang terbuat dari kacang kedelai. Ganjang adalah saus yang terbuat dari kedelai yang difermentasi. Ganjang biasanya digunakan sebagai bumbu masakan yang nggak boleh dilewatkan agar rasa makanan bisa menjadi lebih sedap. Sementara itu, doenjang sisa pasta dari proses produksi ganjang yang juga dimanfaatkan untuk menyedapkan rasa makanan.
#3 Jeotgal
Ada 160 jenis jeotgal di Korea Selatan. Jeotgal atau jeot ini adalah makanan fermentasi yang dibuat dengan menambahkan garam ke berbagai jenis makanan laut, seperti udang, tiram, kerang, ikan, telur ikan, dan usus ikan.
#4 Makgeolli
Makgeolli adalah anggur beras tradisional Korea populer yang mengandung 6–8 persen alkohol. Fermentasi makgeolli dilakukan dengan menggunakan nuruk, yang merupakan campuran dari nasi dan rempah-rempah.
Tuh, banyak banget kan variasi makanan khas Korea yang diolah dengan cara difermentasi. Uniknya lagi, diperkirakan teknik persiapan dan konsumsi makanan fermentasi sudah ada di Korea sejak abad ke-3 atau ke-4 Masehi.
Sekarang pertanyaannya, bagaimana bisa Korea bisa punya begitu banyak makanan fermentasi?
Memutar otak melawan musim
Di sini ada beberapa pendapat yang memperkirakan alasan kekayaan ragam makanan fermentasi dari Korea. Pertama, memfermentasikan makanan adalah cara nenek moyang orang Korea bertahan di hidup di berbagai musim. Pendapat ini dikutip dari penelitian yang dilakukan oleh Subramanian Dharaneedharan dan Moon-Soo Heo dalam Journal of Life Science.
Tanah Korea nggak kayak Indonesia. Di Indonesia, kayu dan batu saja bisa jadi tanaman, istilahnya. Sementara orang yang tinggal di Korea yang beriklim subtropis dengan empat musim harus memutar otak cara agar tetap bisa bertahan hidup saat musim tak mengizinkan mereka menanam atau panen apa pun.
Cara menyimpan makanan dengan fermentasi memungkinkan nenek moyang mereka yang tinggal di daerah beriklim sedang dan dingin untuk bertahan hidup selama musim dingin. Sementara orang-orang yang tinggal di daerah tropis atau lebih hangat bisa bertahan hidup selama periode kekeringan. Fermentasi berkembang sebagai teknik pengawetan atau pencegahan pembusukan produk makanan saat paceklik tiba.
Pada masa itu belum ada kulkas yang bisa digunakan untuk menyimpan makanan dan mencegahnya membusuk. Inovasi berupa fermentasi ini merupakan salah satu metode paling ekonomis untuk mengawetkan makanan karena dapat dilakukan di rumah dengan menggunakan teknik dan peralatan yang relatif sederhana.
Kondisi geografis Korea Selatan yang menantang
Pendapat kedua menyatakan bahwa metode fermentasi ini muncul karena kondisi geografis Korea yang terjal dan terisolasi. Menurut Kumar et al. dalam Frontiers in Microbiology, Korea terisolasi dari negara-negara tetangga oleh pegunungan terjal dari utara dan lautan berbatu dari timur, selatan, dan barat. Mereka jadi kesulitan untuk melakukan pertukaran bahan makanan dengan wilayah lain.
Terisolasinya Korea membuat penduduknya harus menghemat hasil panen untuk beberapa waktu ke depan. Berkat faktor kepepet inilah nenek moyang orang Korea belajar cara melakukan pengawetan ikan, daging, kacang-kacangan, dan sayuran yang mereka dapatkan dari masa berlimpah agar bisa cukup hingga masa langkanya makanan.
Menyimpan makanan dengan cara difermentasi ini dilangsungkan secara turun temurun hingga akhirnya menjadi tradisi masyarakat Korea. Walaupun sekarang sudah banyak kulkas canggih dan Korea Selatan juga bisa mendapatkan bahan makanan dengan impor dari negara lain, praktik memfermentasikan makanan ini masih berlangsung. Bahkan di Korea Selatan masih banyak warga yang menggunakan jangdokdae atau guci tembikar besar yang cocok banget untuk mengawetkan makanan fermentasi.
Penulis: Noor Annisa Falachul Firdausi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jangan Keburu Ngiler, 5 Makanan Korea Ini Nggak Seenak Penampilannya