“Nyonyah (panggilan saya dari istri), masih ada typo nih?”
“Hah, yang mana ?”
“Nih apa coba? KRL jadi KLR.”
“Eh, iya. Heheheheee.”
Istri saya masih menemukan type error: typo di tulisan saya. Tapi mau bagaimana lagi, tulisan sudah ditayangkan. Lalu saya berpikir untuk kesempatan berikutnya akan lebih ekstra teliti lagi dalam melakukan penyuntingan dasar sebelum mengunggahnya di Terminal Mojok. Terutama teliti di masalah yang masih sulit untuk saya hadapi ini: typo.
Bagi saya ini sebuah kebiasaan buruk. Typo a.k.a salah ketik = saltik, sering kali saya lakukan secara tidak sadar. Pernah satu waktu ketika sedang wasapan dengan salah satu customer di tempat saya bekerja–awalnya si Customer bertanya, “Mas, apa anak saya yang mau me-refill tinta printer udah datang?”
“Sudah, Bu.”
“Oh iya, Mas. Kalau instal driver printer tanpa CD drive bisa?”
“Bisa, Bu. Tadi anak ibu udah ngobrol soal instal driver. Terus tadi udah saya kasih tai, kok.”
“Wah, tai, Mas?”
“Mohon maaf, Bu (tak lupa emoji dua telapak tangan yang menyatu). Maksud saya, sudah saya kasih tau caranya.”
Ah, sial. Nyaris saja salah paham. Kalau yang di WA cuma sekadar teman tapi mesra biasa saja, sih, nggak perlu resah. Lah ini, customer yang sudah jelas sikap saya ke dia akan kaku kaya kanebo kering. Kalau nggak dijelaskan bahwa itu typo, ya, berarti saya cari perkara. Bisa-bisa saya dilemparin tahik beneran.Mamam tuh eek!
Saya coba menggunakan ‘ensiklopedia serba tahu’ milik Doraemon yang kini sudah menjadi nyata bernama Google. Hasil pencarian itu cukup memberi pencerahan.
Seperti yang dilansir oleh Kumparan, Dr Tom Stafford, peneliti di bidang psikologi dan ilmu kognitif manusia yang juga menjadi pengajar di Universitas Sheffield, Inggris telah melakukan penelitian secara khusus tentang kekeliruan dalam sebuah tulisan.
Menurutnya mengetik membutuhkan kemampuan motorik yang lebih tinggi. Mengetik menggunakan keyboard dengan kemudahan yang ditawarkan akan membawa ancaman kesalahan ketik. Secara teknis huruf per huruf pada keyboard dipisah, kita harus berpikir huruf mana yang lebih dahulu untuk ditekan daripada huruf lainnya. Karena itulah hal yang paling berpotensi terjadinya kesalahan ketik.
Kemudian semakin kita paham pada isi atau makna dari kalimat dalam tulisan kita, semakin pula kita terfokus pada makna dan pesan itu. Secara tidak sadar kita akan menjadi abai terhadap detail-detailnya. Kata demi kata. Huruf demi huruf.
“Masalahnya adalah persepsi. Kesalahan ketik kita akan sangat sulit untuk disadari, murni karena kita tahu apa yang kita maksud di tulisan kita. Dan ini menghalangi pembacaan sensorik atas apa yang benar-benar telah kita tulis,” Ujar Dr Tom Stafford.
Tentu, kesalahan ketik ini bisa kita hindari atau diminimalisir. Salah satunya adalah dengan cara meninggalkan kekasih yang selalu menyakiti hati dan PHP-in kita tulisan itu sejenak. Ya, terserah. Mau cari makan dulu kek, mau mpup dulu kek, atau mau meratapi nasib juga boleh.
Dari tulisan yang kita tinggal sejenak dan menghabiskan beberapa waktu, menurut Dr Tom Stafford, otak kita akan lebih segar dan lebih mudah untuk menyadari adanya kesalahan. Di saat inilah waktu yang paling tepat untuk membaca ulang dan mengoreksi kembali tulisan kita.
Cara yang kedua adalah membaca tulisan dengan keras-keras. Suara akan didengar oleh telinga yang tentunya akan menyadari kesalahan dalam suatu tulisan. Cara yang ketiga adalah meminta orang lain untuk membaca tulisan kita. Siapa tahu, dia menemukan typo yang tidak kita sadari.
Sejujurnya saya sudah sering melakukan cara yang pertama itu sekaligus cara kedua. Setelah mengetok, eh, mengetik tulisan akan saya diamkan. Biasanya saya akan tinggal tidur. Keesokan harinya, sehabis salat subuh, ketika mata sudah segar saya akan membaca dan mengoreksi kembali. Pamungkasnya cara yang ketiga, tulisan akan dibaca oleh istri sekaligus mengoreksi segala kesalahan yang tidak saya sadari.
Sungguh ketika mengunggah tulisan, saya selalu merasa sudah bebas dari typo. Sudah membaca ulang paragraf demi paragraf. Kalimat demi kalimat. Kata demi kata. Huruf demi huruf. Ketika istri saya bilang: oke nggak ada typo, saya merasa lega. Kemudian saya unggah di Terminal Mojok.
Tapi.. Tapi.. Tapi…
Aseem! Tetap saja masih ada typo yang menghantui naskah saya. Sebuah kenyataan yang sulit saya terima. Saya sungguh kesal dengan diri saya ini yang tak luput dari typo. Typo yang sudah seperti dosa. Tak pernah luput.
Bagi saya typo menjadi semacam virus atau penyakit yang sulit saya hilangkan. Typo seperti mimpi buruk yang tak saya harapkan kehadirannya. Typo dalam tulisan saya bagaikan pasir di toko bangunan. Banyak banget.
Padahal dulu—nggak tahu kapan, lupa—saya pernah membaca statusnya Cik Prim di media sosial yang berlogo F warna biru itu. Kurang lebih, Cik Prim menyampaikan minimal naskah yang dikirimkan ke Mojok mempunyai 3 kali typo. Kalau lebih dari itu? Ya, wassalam.
Sejak itu saya selalu berusaha lebih untuk meniadakan typo. Meskipun kenyataannya tetap ada. Saya menjadi begitu inferior atas segala yang saya kerjakan. Seolah semua hal yang saya kerjakan untuk tidak ada typo sia-sia. Sia-sia: garis bawahi kalimat ini.
Kalaupun typo-nya hanya kepleset barang satu tut tombol keyboard, mungkin bisa dipahami bahwa itu typo dan akan terbaca aneh. Nah, kalau malah mengubah makna dari suatu kata. Bisa berabe akibatnya. Hal itu yang paling saya takutkan.
Berdasarkan kata Mbak Nia Lavinia “tulisan yang baik adalah tulisan yang dievaluasi kembali lalu diperbaiki.” dalam buku MOJOK: Tentang Bagimana Media Kecil Lahir, Tumbuh, Dan Mencoba Bertahan. Maka saya akan mengevaluasi kembali segala apa yang telah sudah saya tulis. Dan kalaupun sampai akhir tulisan ini—dari atas sampai bawah—masih terdapat typo, setidaknya saya sudah melawan. Dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.
BACA JUGA Sudah Lama Tidak Menulis, Ketika Menulis Tidak Lama atau tulisan Allan Maulana lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.