Membahas Kota Jogja memang tidak akan pernah ada habisnya, selalu saja ada sesuatu yang membuatnya istimewa. Selain romantisasi yang tiada henti dari pariwisatanya, sudut kotanya, bahkan hingga rendahnya upah pekerja pada kota satu ini. Ada satu hal yang selalu diromantisasi dan cukup sensitif untuk dibahas, yakni masalah status kepemilikan tanah di Kota Pelajar satu ini.
Mungkin masih ada yang belum familiar dengan isu tersebut. Dan saya yakin kamu bukan warga Jogja kalau tidak tau. Soalnya ada yang berani menentang isu ini atau bahkan sampai bawa ke proses hukum.
Yak, betul, larangan hak milik tanah untuk non-pribumi di Jogja.
Status hak kepemilikan tanah di Jogja hingga saat ini tidak bisa dinikmati oleh semua orang. Bukan karena soal perkara ekonomi, tapi dari landasan hukumnya saja sudah dicekal sejak dini. Uniknya pencekalan ini cuma berlaku buat masyarakat Indonesia yang keturunan non-pribumi ya. Jadi meskipun sekarang sudah tidak ada penggolongan warga negara pribumi, timur Asia, atau Eropa. Tapi, kalau kamu non-pribumi tetap tidak bisa punya hak milik tanah di Jogja.
Lalu, orang-orang pasti akan bertanya-tanya: bagaimana caranya menentukan dia pribumi atau bukan? Itu juga pertanyaan saya yang hingga kini tidak terjawab dengan logika yang masuk akal.
Asumsi saya penilaian pribumi atau bukan hanya cukup dengan melihat secara fisik, atau dari namanya atau kalau sedang niat bisa juga dicari dari silsilah keturunan keluarganya. Terbilang rasis? Ya memang betul. Belum lagi penilaian tersebut tidak ada dasar yang jelas dan hanya mengambil dari sudut pandang subyektifitas semata. Bagaimana kalau ada yang asli lahir di Jogja, nama Jawa, tapi punya fisik bermata sipit atau besar? Saran saya siap-siap saja tidak bisa punya hak milik tanah.
Dasar pemberlakuan ini sejatinya bermula dari Instruksi Wakil Gubernur 898/1975 yang diterbitkan oleh Paku Alam VIII saat menjadi Kepala Daerah. Pada saat itu Sultan Hamengkubuwono IX sedang menjabat sebagai Wakil Presiden. Alasan utamanya saat itu dan sampai saat ini masih digaungkan adalah untuk melindungi warga pribumi dari orang yang memiliki modal atau finansial keuangan yang lebih kuat.
Sudah tidak terhitung berapa kali instruksi tersebut coba untuk dihapuskan menggunakan prosedur hukum yang diajukan warganya. Mulai dari gugatan ke PTUN, pengujian ke Mahkamah Konstitusi hingga Mahkamah Agung. Bahkan, sekaliber Ombudsman pun yang sudah dengan gamblang menyatakan bahwa instruksi tersebut merupakan maladministrasi dan tindakan diskriminatif, masih saja belum bisa menghapuskan aturan tersebut. Bukan main saktinya.
Dalih UU Keistimewaan dan melindungi warga dari pemodal selalu dipakai untuk mempertahankan instruksi tersebut. Tapi, agaknya Pak Gubernur dan Pak Wakil seakan-akan lupa bahwa ada larangan khusus juga untuk mendiskriminasi warga negara atau golongan masyarakat tertentu yang juga tercantum dalam Undang-Undang tersebut. Sepertinya kembali ke default so-called “cherry-picking” policy.
Mari kita gunakan logika sederhana. Pemerintah DIY berasumsi hanya non-pribumi saja yang punya kekuatan modal. Hal ini jadi nggak masuk akal. Pribumi kalau punya kekuatan modal ya nggak ada bedanya dengan non-pribumi. Harusnya sih, UU-nya diubah dengan melarang orang berpenghasilan besar memiliki tanah di Jogja. Pribumi atau tidak, sama saja.
Mari kita lihat realitasnya. Bandingkan harga tanah di Jogja dengan UMR. Jomplang kan? Boro-boro mikir beli tanah, hidup layak aja nggak bisa dengan UMR segitu. Ya mau beli gimana, harga tanah per meter aja udah melewati UMR. Pie tukune? Hak milik tanah kok rasanya kek mimpi yang nggak tahu diri.
Mengutip dari tempo.com, berdasarkan penelitian Kelompok Milenial dan Tantangan Pembangunaan Kota: Gentrifikasi dan Komersialisasi Ruang di Kota Yogyakarta menunjukan bahwa penyebab harga tanah semakin mahal berasal dari permasalahan beberapa komersialisasi di mana orang non-lokal membeli lahan hanya untuk berinvestasi. Pembangunan hotel, mal, atau bangunan lainnya untuk komersial memang terbilang cukup masif di Yogyakarta.
Tapi, bukankah semua pembangunan tersebut harus mendapatkan izin yang cukup rumit dari Pemerintah Daerah setempat? Kok bisa dapat izin semuanya ya, katanya melindungi warga dari pemodal?
Mungkin kalau saya jadi warga Jogja akan merasa sangat ketar-ketir. Bagaimana caranya saya bisa punya rumah atau tanah di sini? Saya yakin betul celotehan saya barusan juga merupakan ketakutan yang dirasakan oleh banyak warga Jogja.
Pribumi atau bukan, kalau nggak punya modal guede, punya rumah atau tanah di Jogja itu mimpi. Ngomongin hak milik tanah jadi pembahasan yang nggak membumi. Jadi keliatan kan kalau aturan tersebut nggak punya dasar kuat di masa kini?
Nah, kalau sudah begini, apakah instruksi tersebut memang betul-betul melindungi warganya dari kepentingan pemodal, atau sebaliknya?
Daripada masih menerapkan kebijakan yang cenderung rasis dan usang. Lebih baik otonomi khusus pertanahan tadi digunakan untuk mendukung warganya supaya bisa beli dan punya tanah hak milik dengan mudah,
Tapi, meski kritik saya ini saya anggap masuk akal, KTP saya bukan Jogja, pasti dianggap nggak valid.