Beberapa tahun yang lalu, saya sempat bekerja di salah satu perusahaan konsultan lingkungan hidup. Pekerjaan tersebut menuntut saya untuk bolak-balik ke Sangatta, Kalimantan Timur, satu dua bulan sekali. Tentu saja saya menggunakan pesawat untuk pergi ke sana. Perjalanan tersebut saya lakukan via Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang.
Sering kali penerbangan yang saya lakukan adalah penerbangan pertama pada pukul 6 atau 7 pagi yang mengharuskan saya sudah berada di bandara sejak subuh. Sebagai orang yang selalu sarapan sejak kecil, saya selalu merasa kelaparan jika tidak sarapan. Makanan di Bandara Internasional Soekarno-Hatta tentu saja jauh lebih mahal jika dibandingkan makanan lainnya yang ada di mal besar sekalipun lantaran biaya sewa tenant di bandara yang lebih mahal.
Satu-satunya makanan pengganjal perut yang mampu saya beli adalah roti produksi Roti’O. Roti’O ini ukurannya kecil, tapi teksturnya cukup padat. Dan menurut saya, rasanya enak. Harganya pun bersahabat. Hanya Rp10.000, maksimal Rp15.000 sudah termasuk pajak. Rotinya yang lezat mampu mengganjal perut saya yang keroncongan. Bau yang dimiliki roti ini juga sungguh menggugah selera lantaran aromanya yang khas. Tak lupa, saya pun membeli satu gelas teh hangat panas untuk menemani sarapan saya yang buru-buru karena takut ketinggalan pesawat.
Tidak hanya di bandara, ketika saya melakukan perjalanan kereta, dan keberangkatan kereta tersebut pagi buta dan saya belum sempat sarapan, saya selalu membeli Roti’O. Lagi-lagi karena harganya yang terjangkau. Baik di Stasiun Kota Bandung, Stasiun Gambir Jakarta, maupun stasiun KRL yang tersebar di Jabodetabek, hampir selalu ada gerai roti satu ini yang menemani pelancong low budget seperti saya. Mau di Bandung, Jakarta, dan Balikpapan, harga roti yang diproduksi Roti’O ini sama.
Gerai Roti’O selalu hadir ketika saya baru turun dari pesawat atau kereta api seolah-olah berkata, “Selamat datang di Kota XX, ayo makan Roti’O dulu biar gak kena maag”, dengan aromanya yang khas. Dan di antara pilihan lain seperti restoran fast food atau restoran premium yang ada di bandara atau stasiun kereta, tentu saja saya lebih memilih Roti’O karena lebih relate dengan budget yang saya miliki.
Roti’O pernah menjadi makanan saya satu-satunya ketika melakukan perjalanan darat menggunakan kereta api dari Yogyakarta menuju Bandung. Saat itu, uang yang saya miliki tinggal Rp50.000, dan akhirnya saya memutuskan untuk membeli beberapa potong Roti’O untuk mengganjal perut saya selama kurang lebih 8 jam ke depan. Saya juga membeli dua air mineral ukuran 1,5 liter supaya tidak dehidrasi selama 8 jam perjalanan kereta. Roti’O dan air mineral menjadi sahabat saya satu-satunya ketika melakukan perjalanan. Maklum, saat itu saya masih kuliah dan tidak punya uang lebih untuk sekadar makan.
Roti’O tidak hanya menemani saya ketika traveling. Waktu SMA, saya sering nonton bioskop bareng teman-teman di mal Kota Bandung. Saat itu, roti ini pula yang jadi makanan satu-satunya yang bisa saya beli di mal lantaran budget yang saya miliki pas-pasan. Lumayanlah untuk ganjal perut meskipun sebetulnya saya masih lapar. Aroma khasnya yang tercium begitu saya keluar studio bioskop seolah-olah mengatakan, “Ayo makan dulu”.
Sekarang pun saya jadi lebih familier dengan roti satu ini karena Dude Harlino menjadi brand ambassador-nya. Setiap kali lihat Roti’O entah kenapa saya malah terngiang-ngiang wajah Dude Harlino yang dulu sering saya lihat main sinetron. Ah, sudahlah, yang pasti, Roti’O ini juara banget sih buat pelancong low budget seperti saya.
Bismillah, komisaris Roti’O.
Sumber Gambar: YouTube Aidin Purdiansyah
BACA JUGA Mengenal Jenis Kertas Berdasarkan Kegunaannya dan tulisan Raden Muhammad Wisnu lainnya.