Tulisan tentang batita ini berangkat dari kegelisahan saya saat salat tarawih berjamaah di majelis ta’lim yang ada di daerah saya. Iya, karena suasana masih covid, meskipun pemerintah daerah memperbolehkan daerah saya untuk tarawih berjamaah di masjid, namun di dusun saya ada yang berinisiatif tarawih berjamaah dipisah antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki tarawih seperti biasa di masjid, sedangkan perempuan di majlis ta’lim.
Beberapa malam belakangan, ada salah satu makmum tarawih di tempat saya yang membawa batita. Ibu satu ini selalu memilih tempat salat di ujung shaf paling depan sebelah utara, di mana di posisi tersebut adalah tempat penyimpanan alat-alat kegiatan di majlis ta’lim, seperti mic dan teman-temannya. Nah, si anak kecil batita ini setiap kali salat tarawih akan dimulai, oleh si ibu dibiarkan bermain alat-alat tersebut. Ia memegang kabel mic sambil diputar-putar kesana kemari di depan ibunya salat.
Hal ini selain bisa menyebabkan kerusakan pada alat-alat tersebut, tentu ini mengganggu jamaah yang lain yang sedang khusyuk salat. Bahkan, imam salat kami sampai salah gerakan salat. Harusnya duduk tahiyat akhir, beliau malah mau meneruskan ke rakaat berikutnya. Dia seperti kena distraksi karena ulah batita yang sedang mainan alat mic tersebut karena kebetulan ia bermain tak jauh jaraknya dari tempat imam salat.
Melihat peristiwa itu, saya teringat saat beberapa tahun lalu mengunjungi museum yang ada di komplek Keraton Ngayogyakarta. Saat itu saya menemani teman saya yang berkunjung ke Yogyakarta. Dia kebetulan membawa sepupunya, anak laki-laki yang masih berusia sekitar enam tahun. Saat saya dan teman saya sedang asik melihat koleksi-koleksi yang ada di museum, sepupu teman saya malah berlarian kesana kemari sendirian. Dia seperti asik sendiri bermain. Kami berdua tidak ambil pusing, toh namanya juga anak kecil. Sampai tiba-tiba kami terkejut saat mendengar suara keras dari arah belakang kami. Suara keras tersebut berupa teguran yang diucapkan oleh salah satu pengunjung bule.
Sambil terlihat marah dia bersuara keras bilang “STOP!”, sambil menunjuk tegas ke arah sepupu teman saya. Kami berdua tentu kaget dan terdiam melihat aksi itu. Dan sepupu teman saya langsung berlari ke arah kami sambil takut. Bule tersebut berlalu, dan kami berdua masih bingung dengan aksinya tersebut. Sebagai orang yang tidak banyak berinteraksi dengan bule dan memahami budayanya, melihat kejadian tersebut membuat kami sedikit geram melihat aksi bule. Nggak ada lembut-lembutnya sama anak kecil. Nggak sadar apa dia lagi di negara orang. Sopan sedikit, kek. Kurang lebih kami menggerutu seperti itu.
Kemudian pada peristiwa lain, saya pernah terlibat pada salah satu event tahunan di Yogyakarta. Event tersebut adalah sebuah pameran furniture yang diperuntukkan bagi tamu domestik dan tamu mancanegara. Dari tahun ke tahun, biasanya didominasi oleh tamu asing. Acaranya indoor, namun pihak penyelenggara menyediakan taman bermain buatan yang ada di luar gedung. Taman bermain tersebut diperuntukkan bagi tamu pameran yang membawa anak kecil. Saya dulu tidak memahami tujuan tersebut. Memang apa repotnya membawa anak kecil sambil keliling melihat-lihat pameran? Pemikiran saya kurang lebih begitu.
Akhirnya, saya menemukan jawaban pertanyaan yang muncul dari kedua peristiwa di atas saat saya menonton video YouTube milik Farah Quinn tentang etika di tempat publik. Pada video tersebut, salah satu poin yang tidak boleh dilakukan saat berada di tempat umum adalah jangan biarkan anak kecil untuk keluyuran sendiri. Ketika berada di public space, sebaiknya orang tua mengkondisikan anaknya untuk berada dalam jangkauannya. Jangan biarkan dia asik bermain sendiri dan mengganggu kenyaman orang lain. Kurang lebih seperti itu pelajaran yang Farah Quinn dapatkan dari pengalamannya pernah tinggal di Amerika. Jadi, orang bule tidak suka melihat anak kecil lalu lalang seorang diri jauh dari jangkauan orang tuanya saat berada di tempat umum. Apalagi sampai mengganggu orang lain.
Hal tersebut sangat make sense dengan peristiwa yang saya alami saat di museum keraton. Begitu pula ini relatable dengan kejadian yang baru-baru ini saya alami saat salat tarawih berjamaah di majelis ta’lim. Mungkin sebagian orang akan meng-counter pernyataan di atas dengan berkata “kan harus melatih anak untuk ke tempat ibadah sedini mungkin, agar besar nanti jadi senang ke masjid”. Mon maap, bagi saya kata-kata seperti itu perlu ditelaah lagi. Jangan ditelan bulat-bulat. Sebagai orang tua, harus berusaha mempertimbangkan risikonya. Apakah hal itu lebih banyak maslahat atau justru banyak mudhorotnya. Don’t be selfish! Masjid atau tempat ibadah lain adalah tempat umum, ada banyak orang di sana. Jangan mengutamakan kepentingan Anda dengan alasan tadi, lalu kemudian Anda mengabaikan kenyaman orang lain dong. Hey, muhasabah diri Anda!
Alasan yang mungkin sedikit bisa diterima bagi orang-orang yang sering membawa batita ikut salat tarawih berjamaah di masjid, adalah karena tidak ada orang lain yang bisa dititipi saat hendak berangkat tarawih. Kan tarawih berjamaah juga bisa dilakukan di rumah to. Tapi, jika Anda tetap keukeuh, hal demikian bisa disiasati dengan cara bergantian ikut salat tarawih berjamaah di masjid dengan pasangan Anda. Misal Senin-Selasa suami yang berjamaah di masjid, istri yang menjaga anak di rumah. Besoknya istri yang salat tarawih di masjid, dan suami yang menjaga anak di rumah. Dan begitu seterusnya sampe Lebaran tiba. Pokoknya ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk dapat beribadah dengan baik, sambil tidak lupa untuk tetap menjaga kenyamanan orang lain. Lha wong untuk urusan yang kita anggap pelik saja agama selalu punya solusinya, mosok ngene wae kok repot!
*Takjilan Terminal adalah segmen khusus yang mengulas serba-serbi Ramadan dan dibagikan dalam edisi khusus bulan Ramadan 2021.
BACA JUGA 5 Hal yang Bikin Saya Nggak Jadi Batalkan Puasa Ramadan Saat Kecil. #TakjilanTerminal45 dan tulisan Elia Nurindah Sari lainnya.