Menyenangkan memang ketika membahas manusia dengan segala perangkat canggih di kepala, hati, dan diolah melalui tindak tanduknya. Apalagi yang berkenaan dengan apa yang dikatakan oleh Nadin Amizah dalam podcast-nya bersama Deddy Corbuzier. Itu seru sekali, tumpang tindih pendapat berkerumun menjadi satu di hari itu. Apalagi Nadin Amizah dalam permohonan maafnya bak menari-nari di atas bara alias tambah puanaaaas.
Saya sebenarnya nggak tertarik dengan statemen mentah Nadin Amizah. Toh itu merupakan nasihat orang tuanya. Saya juga nggak punya kapasitas mengomentari, apalagi menyalahkan nasihat orangtuanya. Bagi saya, nasihat orangtua—ketika anaknya beranjak dewasa—itu baik selagi otak anak-anaknya masih bisa digunakan untuk memilih dan memilah. Alias nggak ditelan mentah-mentah.
Saya nggak akan banyak berkomentar tentang Nadin Amizah. Biarin aja. Namun, saya tergelitik untuk berkomentar ketika Mas Kevin Winanda Eka Putra menulis tentang hal yang amat utopis. Dalam tulisan berjudul “Nadin Amizah Bener loh, Jadilah Orang Kaya karena Lebih Mudah Jadi Orang Baik”.
Katanya dalam artikel tersebut seperti ini, “Mari berlogika sebentar, kalau dipikir-pikir ya orang kaya itu memang kodratnya harus berbuat baik. Kenapa saya bilang harus, orang kaya menurut saya itu sudah selesai dengan dirinya sendiri. [..…]Berkebalikan dengan orang miskin. Orang miskin itu biasanya dibantu, diberi perhatian, dan diberi perlakuan baik.”
Ketika manusia ditengok dari matter being saja, maka selesai sudah perkara dunia yang selama ini dihimpun dalam buku-buku filsafat manusia. Pada kenyataannya manusia tidak sekecil itu. Bahkan para filsuf purba, definisi yang saya pinjam dari Prabu Yudianto, pernah berkata homo homini lupus. Bahkan Mussolini—yang sugihnya nggak perlu ditanya lagi—menganggap rakyat-rakyatnya adalah “domba”.
Kalau kudu menyetujui orang kaya kudu baik, ya saya jelas mau. Namun, ini adalah dunia nyata yang berputar pada porosnya, bukan Neverland di mana Peter Pan—bukan Ariel dan kolega—nggak akan pernah menjadi tua. Tapi, seutopis-utopisnya Neverland, tetap saja ada Captain Hook. Makanya, bilang bahwa orang kaya itu “kodratnya” kudu baik, itu agak bermasalah.
Para kaum cerdas sudah ribuan purnama membicarakan mengenai tabiat dasar manusia. Iya, ribuan purnama. Kalau patokannya kembalinya Rangga kepada Cinta, entah sudah berapa kali Cinta mengatakan bahwa Rangga itu jahat di sebuah gerai sate klatak di bilangan Pleret. Artinya, sudah selama itu. Pun nggak ada yang mengatakan bahwa orang kaya lebih mudah jadi orang baik.
Justru yang muncul di permukaan adalah orang kaya yang punya power dan kesempatan, rentan menjadi serigala bagi sesamanya. Kemanusiaan yang adil dan beradab memang canggih terhimpun dalam Pancasila, namun pengaplikasiannya adalah hal yang masih niscaya. Melihat kemungkinan manusia bertabiat baik hanya dari faktor kekayaan, sama seperti tembang milik Nadin Amizah, itu hal yang rumpang.
Tapi perlu diakui, saya setuju dengan Mas Kevin Winanda Eka Putra yang berkata bahwa, “Orang-orang kaya yang toxic dan arogan bukan main itu menurut saya sedang dalam fase bug saja.” Namun saya masih kurang setuju dengan itu.
Kalau definisi orang kaya itu adalah (1) mereka yang punya mobil dan terbiasa minum kopi di pagi hari, Haji Muhidin saja masuk kategori ini. namun pada kenyataannya gap antara si miskin dan kaya di negara ketiga itu jangkanya relatif juauuuuuuh. Sengaja “U”-nya saya banyakin. Orang kaya itu nggak hanya sebatas itu.
Ada orang kaya (2) yang punya alat, bahkan kemampuan menggerakan roda perekonomian. Ndilalah orang kaya yang nge-bug itu kebetulan pemegang semua kendali ini, wah seremnya minta ampun. Mereka bisa menggerakan modal, mengatur harga pasaran, hingga membius masyarakat bahwa kondisi kita baik-baik saja, pada kenyataannya penuh dengan luka.
Kita persempit saja, semisal di Indonesia, orang kaya yang baik itu banyak. Namun, kebanyakan ya pol mentok jutawan. Lebih kaya dari itu, mereka akan berambisi menjadi politikus, pengusaha, atau masuk sendi-sendi lainnya yang suaranya akan didengarkan. Nah dari sinilah orang kaya ini punya tujuan. Orang kaya model begini yang kebanyakan keblinger.
Iya, memang, orang kaya yang “ngebug” itu sedikit, namun sekalinya ada ya menjadi ancaman yang sungguh nyata. Mereka menanam modal di Pulau Komodo, punya lahan sawit berhektar-hektar di Kalimantan, membakar hutan di Papua, membangun reklamasi yang nggak ramah lingkungan, atau ya punya properti di Jogja yang katanya murah, terus harganya dilambungkan oleh mereka. Bangun hotel, gerus air tanah. Apalagi, ya? Ah, banyak.
Tapi, saya sadar kok maksud tulisan Mas Kevin Winanda Eka Putra dalam rangka menanggulangi bully kepada Nadin Amizah. Pun saya setuju. Namun ,menyederhanakan orang kaya “ngebug” tadi itu sebagai hal sepele, itu sama saja membiarkan pandemi Covid-19 yang awalnya hanya dua, jadi beratus-ratus ribu banyaknya.
Yah, pada akhirnya keterpaksaan atas ketergantungan orang miskin kepada orang kaya ini seperti lagunya Nadin Amizah yang judulnya Bertaut, kan? Nyawaku nyala karena denganmu, huuuu~
Nggak, hidup nggak berjalan seperti bajingan semisal akar rumput bergerak secara komunal. Ketika orang miskin dibilang nggak selesai sama diri sendiri, dan nggak punya kesempatan berbuat baik, itu salah banget. Lebih jauhnya (disertai contoh) coba baca tulisan “Susahnya Orang Miskin Jadi Orang Baik Versi Nadin Amizah” Bahwa orang kaya itu nggak selesai setelah mendapatkan privilese, pun orang miskin nggak melulu kebentur dengan “bantuan”.
Ah, Bun, hidup berjalan seperti kemiskinan struktural.
BACA JUGA Nadin Amizah Bener loh, Jadilah Orang Kaya karena Lebih Mudah Jadi Orang Baik dan tulisan Gusti Aditya lainnya.