Semenjak 2016, saya merasa perfilman Indonesia sedang berada di arah yang benar nan penuh gairah. Soalnya, saya merasa sejak saat itu, perfilman Indonesia tengah bergairah mencoba berbagai hal baru. Baik dari genre baru, gaya produksi baru, teknologi baru, talenta-talenta baru, dan tentunya munculnya antusiasme masyarakat terhadap film-film Indonesia di bioskop. Semenjak saat itu, jumlah penonton film Indonesia terus menciptakan rekor yang memunculkan berbagai film terlaris yang selalu diperbarui tiap tahunnya.
Sayangnya, dari semua film-film yang menghasilkan antusiasme penonton tersebut, tidak semua film berhasil sesuai dengan rasa kepuasan saya sebagai penonton. Herannya, film yang saya anggap tidak memuaskan justru berhasil meraup jumlah penonton yang besar dan pujian-pujian kritikus. Biasanya, untuk menjelaskan situasi ini, film-film tersebut seharusnya dilabeli sebagai film overrated.
Kata overrated merujuk pada maksud sebuah karya yang terlalu dilebih-lebihkan. Maksudnya, suatu karya tersebut mendapatkan apresiasi yang luar biasa (baik itu dalam bentuk jumlah penonton maupun pujian kritikus), padahal secara kualitas tidak selayak itu mendapatkan apresiasi tersebut.
Film overrated tidak berarti suatu film itu jelek. Film bagus juga bisa mendapat predikat overrated ketika dipuji berlebihan (atau laku berlebihan) melebihi kualitas yang sesungguhnya. Lantas, apa saja film Indonesia yang overrated?
#1 Perempuan Tanah Jahanam
Saat film Perempuan Tanah Jahanam ini rilis, Joko Anwar sedang menjadi seorang sutradara yang begitu menarik untuk dibicarakan. Hal itu tidak lepas dari reputasi keberhasilannya menggarap berbagai film-film thriller. Hingga puncak gongnya, ketika ia berhasil menggarap film Pengabdi Setan yang populer dengan jutaan penontonnya.
Meski pada akhirnya tidak melampaui Pengabdi Setan dalam berbagai aspek, masih banyak penonton yang memuji film ini dengan argumen keberaniannya memperlihatkan adegan-adegan sadis. Belum lagi berbagai pujiannya terhadap adegan pembuka saat Tara Basro diteror di jalan tol. Adegannya memang bagus dan keren, sih.
Sayangnya, adegan pembuka yang memukau tersebut tidak berhasil mengecoh saya akan kekacauan babak ketiga dari film ini. Bagaimana berbagai misteri diungkap begitu saja dengan cara yang begitu malas membuat saya bertanya-tanya: kenapa film ini masih dianggap bagus? Memang bagus, tapi nggak sebagus itu, jauh dari kata sempurna. Apa karena banyak yang bias dengan nama Joko Anwar? Mentang-mentang filmographynya bagus?
#2 Gundala
Tidak cuma Perempuan Tanah Jahanam, film Joko Anwar lainnya yang berjudul Gundala pun memiliki kesan yang sama, overrated. Saya paham betapa banyak penonton Indonesia yang begitu berharap pada film ini. Banyak orang yang pengin banget kita punya film superhero sendiri dengan based karakter komik populer. Sayangnya, potensi bias soal nama Joko Anwar dan iming-iming genre superhero berkonsep semesta tidak membuat saya begitu saja mengabaikan banyak kekurangan film ini.
Mulai dari koreografi pertarungan yang kurang luwes, naskah dan penataan plot yang tidak kuat, hingga perkembangan karakter yang tidak rapi.
Memang, effort film ini patut diapresiasi dengan segala pembenaran “baru belajar” atau “masih awal-awal”. Sayangnya, apresiasi yang diterima terasa berlebihan tidak menyesuaikan kualitasnya, bahkan terasa dispesialkan jika dibandingkan film-film superhero yang sudah ada sebelumnya.
#3 Susi Susanti
Sebagai penonton badminton yang selalu mengikuti berita para atlet Indonesia di tiap turnamen, saya merasa kecewa dengan film biopik Susi Susanti, khususnya dalam aspek sport.
Memang, film ini menghadirkan artistik yang menyenangkan mata, serta isu kewarganegaraan yang menarik. Sayangnya, sebagai pengikut badminton, saya kecewa dengan detail informasi Susi Susanti. Yang paling mengganjal ada pada ketidak akuratan informasi seputar turnamen-turnamen yang diikuti Susi Susanti.
Misalnya, Olimpiade Barcelona 1992 yang seharusnya menjadi gelaran perdana Badminton dipertandingkan di Olimpiade, justru sudah disebut duluan ketika Susi Susanti kecil. Saat kecil, ia sudah menjadikan “meraih medali olimpiade” sebagai cita-cita. Lha gimana jadi cita-cita dan motivasi, wong bentuk turnamennya saja belum ada.
Memang sulit berharap keakuratan dari film sport di Indonesia yang biasanya bersinggungan dengan kepentingan politik di dunia nyata. Sayangnya pada adegan ini, tampaknya motivasinya murni sebagai bumbu dramatisasi. Kesan sakral suatu turnamen pun jadi hilang. Tidak cuma itu, naskah film ini pun tidak solid-solid amat.
#4 Ali & Ratu-Ratu Queens
Sebagai feel-good movies, film Indonesia ini memang berhasil menawarkan perasaan hangat, adegan-adegan heartwarming, serta daya tarik kemasan visual yang colorful di teman soundtrack-soundtrack ceria. Isunya pun terbilang unik dan menarik, menyoroti kehidupan orang Indonesia di Amerika sebagai kelas pekerja.
Sayangnya, secara pengemasan alur dan detail naskah, film ini termasuk biasa.
#5 Nussa
Dengan iming-iming film animasi terbaik Indonesia, Nussa mungkin bisa dianggap seperti itu ketika pesaingnya memang tidak memadai. Sayangnya, predikat terbaik itu belum bisa dianggap masterpiece.
Terlepas dari teknis visualnya yang sudah sangat memuaskan, Nussa masih memiliki masalah dalam hal pembuatan dialog-dialog yang lebih realistis. Film ini masih belum bisa lepas dari momok film animasi yang masih bermasalah pada bagian interaksi antar karakter yang terkesan kaku. Selain itu, secara cerita pun sebenarnya masih jauh dari kata solid.
#6 Wiro Sableng: 212 Warrior
Agak mengherankan kenapa Wiro Sableng tidak pernah berpredikat sebagai film yang buruk. Masalahnya, Wiro Sableng memiliki banyak sekali kelemahan, mulai dari eksekusi laga yang buruk, jokes-jokes yang tidak didelivery dengan baik dan cenderung cringe, hingga cerita yang kacau.
#7 Dilan Trilogy
Dilan sebenarnya bukan film Indonesia yang jelek, tapi juga bukan film yang bagus. Sayangnya, untuk ukuran film dengan plot yang tipis, jumlah penonton yang didapatkannya bikin ngeselin. Jujur saja, saya adalah orang yang masih sulit menerima kalau apresiasi yang didapat Dilan secara jumlah penonton jauh lebih baik dari film-film macam AADC yang punya cerita lebih solid.
#8 Heart
Dulu, Heart rasanya jadi salah satu film yang begitu populer dibicarakan banyak orang. Tapi kok, saat saya menontonnya, film ini tidak bisa saya nikmati? Akting, dialog, naskah, dan cerita yang serba cringe nan dungu ini sulit untuk bisa saya nikmati. Kok, dulu bisa booming, ya?
Satu-satunya aspek yang bisa dinikmati hanyalah soundtrack-soundtracknya. Selain itu? Ah, rasakan sensasi unik melihat salah satu artis drama terbaik Indonesia, Acha Septriasa, berakting dengan begitu jelek di film ini. Kapan lagi coba?
Penulis: Muhammad Sabilurrosyad
Editor: Audian Laili
BACA JUGA 4 Keanehan para Ulama di Film Horor Indonesia