Warteg itu seharusnya tempat paling aman buat tiap entitas manusia. Tempat di mana perut lapar bisa pulang dengan bahagia hanya dengan uang belasan ribu.
Tapi sayangnya, kalau diperhatikan, warteg mulai punya dosa-dosa yang bikin pelanggan kabur, ogah balik lagi. Bukan karena harganya naik, bukan juga karena menunya nggak enak, tapi karena hal-hal yang sebenarnya bisa dihindari kalau sedikit lebih telaten dan jujur.
#1 Sayur ada ulat karena abai
Masih banyak warteg yang menganggap mencuci sayur itu sekadar formalitas. Cuci sebentar, rendam asal, lalu masuk panci.
Padahal, di balik daun bayam dan kol itu kadang terselip ulat kecil yang nggak ikut disapa air bersih. Hasilnya? Ulat itu nongol manis di piring pelanggan. Kadang masih utuh, kadang sudah berbaur dengan kuah bening.
Sebagian orang bisa maklum, “Ah, mungkin nggak sengaja.” Tapi kalau kejadian dua kali, tiga kali, rasa maklum itu berubah jadi jijik. Warteg bukan lagi tempat yang dirindukan, tapi ditandai di kepala lalu mikir , “jangan ke sana lagi deh.”
Salah satu teman saya pernah cerita, dia beli sayur asem di warteg langganannya. Pas sendok pertama mendarat, ternyata ada ulat yang ikut berenang di kuah. Si ibu warteg cuma bilang, “Waduh, alamiah itu, Mbak.” Alamiah dari mana, kalau mencucinya aja malas.
#2 Lalat mati, telur lalat, dan etalase warteg yang dibiarkan terbuka
Dosa berikutnya ada di etalase warteg yang dibiarkan terbuka lebar, seperti mengundang lalat untuk berpesta. Padahal di dalamnya ada ayam goreng, tempe orek, sambal, telur balado.
Semuanya menggoda. Tapi, kalau sudah ada lalat mati atau bintik putih telur lalat di pinggirannya, siapa yang masih bisa lahap makan coba?
Ada warteg yang bangga dengan banyaknya menu, tapi lupa kalau etalasenya seperti museum terbuka bagi serangga. Pelanggan sudah mulai ogah, apalagi kalau lihat pemiliknya cuek saja sambil kipas-kipas, seolah lalat itu bagian dari dekorasi alami.
Kita semua tahu warteg bukan restoran hotel, tapi bukan berarti harus abai soal kebersihan. Orang datang ke warteg bukan cuma cari kenyang, tapi juga cari aman. Aman dari penyakit perut, aman dari pemandangan yang bikin selera makan hilang di menit pertama.
#3 Warteg yang memanasi ayam goreng berulang kali
Dosa yang satu ini juga sering terjadi tanpa disadari. Ayam goreng yang nggak laku hari ini, besok dipanasin lagi. Kalau masih belum habis, besoknya dipanasin lagi. Lama-lama rasanya bukan lagi ayam goreng, tapi ayam fosil.
Kulitnya jadi keras, dagingnya kering, dan aromanya sudah berubah. Tapi warteg kadang pura-pura nggak tahu, selama warna masih cokelat dan bisa ditata rapi di etalase, dianggap masih layak jual.
Padahal pelanggan yang sering datang pasti bisa bedain mana ayam baru, mana ayam “reinkarnasi”. Mereka cuma diam, tapi dalam hati mbatin, “Cukup sekali beli aja lah, kapok.”
Ada juga dosa yang lebih halus tapi menyakitkan. Misalnya sambal yang dicampur ulang dengan sisa sambal kemarin. Dikit-dikit diaduk biar kelihatan baru. Padahal rasa aslinya sudah basi, cuma kalah sama aroma bawang yang kuat.
#4 Piring dan sendok yang hanya “dicelup”
Beberapa warteg mencuci alat makannya bukan dengan mencuci sungguhan, tapi sekadar mencelup ke air sabun lalu bilas kilat. Hasilnya, piring memang tampak bersih, tapi masih licin kalau diraba. Kadang sisa minyak masih nempel, apalagi di sendok.
Ada warteg yang menyediakan air cuci di ember kecil di bawah meja cuci, tapi air itu sudah keruh dari pagi sampai sore. Nggak diganti, nggak ditambah.
Padahal dari sanalah semua alat makan disterilkan. Bayangkan makan nasi pakai sendok yang sudah “dipakai” sepuluh orang sebelumnya tapi cuma dicelup di air yang sama. Bukan cuma dosa, tapi juga kejahatan kecil terhadap kepercayaan pelanggan.
#5 Nasinya dingin, tapi lauk panas setengah mati
Kadang warteg juga salah strategi soal suhu makanan. Nasi dibiarkan dingin sampai menggumpal, lauknya dipanaskan berlebihan biar kelihatan baru. Akhirnya makanannya seperti pasangan yang nggak cocok: satu dingin, satu kepanasan.
Padahal pelanggan nggak minta banyak, cuma ingin nasi hangat dan lauk yang layak. Tapi karena warteg lebih sibuk mengejar kecepatan daripada perhatian, kombinasi sederhana itu sering gagal disajikan.
#6 Harga warteg nggak konsisten, beda orang beda tagihan
Ini dosa yang mungkin paling membuat pelanggan sakit hati. Kadang beli nasi tempe dan sayur, bayar 10 ribu. Besoknya, menu yang sama jadi 13 ribu. Alasannya “harga bahan naik.” Tapi kalau pembeli lain datang, bisa tetap 10 ribu.
Beda harga antar pelanggan itu bikin orang males balik. Warteg yang baik harusnya punya standar, bukan tergantung muka pembeli atau mood penjual. Kalau terus begini, lama-lama pelanggan lebih memilih nasi rames pinggir jalan yang lebih jujur.
#7 Warteg dengan musik keras dan suasana yang tak nyaman
Ada juga warteg yang lupa kalau tempatnya kecil tapi speakernya besar. Musik dangdut diputar kencang dari pagi sampai sore, membuat pelanggan nggak bisa makan dengan tenang.
Belum lagi kalau penjualnya sibuk ngobrol keras di meja depan sambil ngerokok. Asapnya ke mana-mana, kadang ke arah piring pelanggan. Nggak ada yang berani protes, tapi diam-diam semua mencatat dosa tambahan itu.
#8 Tangan kotor, nggak cuci setelah pegang uang
Pemandangan klasik yang masih sering ditemui: penjaga warteg ambil uang dari pelanggan, hitung pakai tangan yang sama, lalu langsung ngambil lauk. Kadang pakai tangan kosong, kadang cuma dilap pakai kain. Padahal kain itu sudah ikut berdebu dan berminyak dari pagi.
Kita semua tahu, bukan soal jijik, tapi soal kesehatan. Uang itu benda paling kotor, tapi di warteg sering diperlakukan seperti sendok tambahan.
Dosa-dosa kecil yang perlahan membunuh kepercayaan
Semua dosa itu mungkin terlihat kecil, tapi dampaknya besar. Pelanggan yang kecewa jarang protes. Mereka cuma diam, lalu pelan-pelan menghilang. Warteg yang dulunya ramai jadi sepi, dan si pemilik bingung kenapa.
Padahal jawabannya bukan di langit, tapi di dapur dan di etalase sendiri. Bukan karena saingan baru di sebelah, tapi karena dosa-dosa kecil yang dibiarkan menumpuk jadi kutukan.
Warteg itu seharusnya tempat paling manusiawi di dunia perut rakyat. Tempat di mana kehangatan nasi dan kejujuran rasa jadi alasan orang balik lagi. Tapi kalau kebersihan diabaikan, kejujuran ditukar dengan malas, maka doa “semoga laris” setiap pagi tinggal jadi ritual tanpa hasil.
Karena pelanggan warteg itu sederhana. Mereka nggak menuntut pelayanan mewah, cuma ingin makan tanpa khawatir menemukan ulet, lalat, atau ayam yang hidup lagi untuk ketiga kalinya.
Penulis: Budi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ayam di Warteg Itu Cuma Pajangan, Bukan Menu yang Seharusnya Dipesan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
