7 Sisi Terang Jakarta yang Jarang Dibahas, tapi Nyata Adanya: Bikin Saya Betah dan Nggak Jadi Pulang Kampung

7 Sisi Terang Jakarta yang Jarang Dibahas, tapi Nyata Adanya: Bikin Saya Betah dan Nggak Jadi Pulang Kampung

7 Sisi Terang Jakarta yang Jarang Dibahas, tapi Nyata Adanya: Bikin Saya Betah dan Nggak Jadi Pulang Kampung (unsplash.com)

Setelah sekian tahun merantau di Jakarta, saya sudah hafal di luar kepala semua keluhan tentang ibu kota, di antaranya macet, polusi, mahal, individualis, dan segala drama lainnya. Tapi kalau Jakarta cuma soal penderitaan, kenapa saya masih betah di sini? Kenapa setiap kali pulang kampung, saya malah kangen Jakarta? Ini dia alasannya sisi terang Jakarta yang jarang dibahas tapi nyata adanya.

#1 Transportasi umum di Jakarta bikin hidup lebih mudah

Dulu saya skeptis sama MRT dan Transjakarta. “Ah, paling juga sama aja macetnya.” Ternyata saya salah besar. Semenjak kenal transportasi umum Jakarta, hidup saya berubah drastis. Tidak perlu lagi pusing mikirin bensin, parkir, atau deg-degan takut kena tilang. Tinggal tap kartu, duduk santai, sambil scroll media sosial atau baca buku. Produktif, hemat, dan yang paling penting adalah tepat waktu.

Transjakarta mungkin panas dan penuh di jam sibuk, tapi setidaknya jalurnya jelas dan konsisten. MRT? Jangan ditanya. Bersih, sejuk, tepat waktu seperti kereta di negara maju. Pertama kali naik MRT, saya sampai terharu. “Ini Indonesia? Beneran?”

KRL memang kadang sesak sampai seperti ikan sarden, tapi efisiensinya luar biasa. Bayar 3000 perak bisa dari Bogor sampai Jakarta. Coba bandingkan dengan ongkos ojek yang bisa 50 ribu sekali jalan.

#2 Pilihan makanan yang nggak ada habisnya

Jakarta adalah surga buat penikmat kuliner. Mau makan Padang jam 2 pagi? Ada. Pengin soto Betawi autentik? Tinggal pilih. Kangen masakan daerah? Semua ada di sini. Dari warung tenda pinggir jalan sampai restoran mewah di mal, semua tersedia dalam radius 5 kilometer.

Satu hal lagi paling saya syukuri adalah variasi harga. Kantong lagi tipis? Warteg 15 ribu sudah kenyang. Lagi gajian? Bisa cobain restoran baru yang viral di media sosial. Fleksibilitas ini yang membuat saya nggak pernah bosan makan di Jakarta.

Belum lagi kalau bicara soal jajanan malam. Indomie telur di warmindo jam 11 malam sambil ngobrol sama teman-teman perantau lain. Ini terapi gratis yang paling manjur.

#3 Peluang karier yang terbuka lebar di Jakartaa

Ini alasan utama kenapa saya dan jutaan perantau lain bertahan di Jakarta. Peluang karier di sini memang tidak ada tandingannya. Mau pindah kerja? Buka LinkedIn, ratusan lowongan menanti. Mau switch career? Banyak bootcamp dan pelatihan yang bisa diakses. Mau cari side hustle? Pasar dan network-nya ada semua di Jakarta.

Di kampung, kalau tidak suka sama kerjaan, pilihan terbatas. Di Jakarta? Kamu bisa loncat ke perusahaan lain dalam hitungan bulan. Gaji tidak naik-naik? Resign, cari yang lebih baik. Kantor toxic? Banyak perusahaan lain yang lebih manusiawi. Jakarta mengajarkan saya bahwa kita punya bargaining power sebagai pekerja, dan itu privilege yang jarang ditemukan di kota lain.

#4 Infrastruktur dan fasilitas umum yang memadai

Butuh ke rumah sakit tengah malam? Ada yang buka 24 jam. Perlu bikin paspor dadakan? Kantor imigrasi lengkap dan relatif cepat. Mau beli barang langka? Kemungkinan besar ada di Jakarta, tinggal googling aja. Ini yang membuat hidup di Jakarta jadi lebih praktis meskipun chaotic.

Perpustakaan umum, taman kota, coworking space gratis, fasilitas olahraga semua ada dan terus berkembang. Saya ingat pertama kali ke Perpustakaan Nasional yang baru. Gedungnya megah, koleksinya lengkap, ada WiFi kencang, dan gratis.

Di kampung saya, perpustakaan masih pakai sistem kartu manual dan bukunya edisi tahun 90-an. Jakarta memang kadang terasa individualis, tapi fasilitasnya dibuat untuk publik dan bisa diakses siapa saja.

#5 Komunitas dan circle pertemanan beragam di Jakarta

Awalnya saya kira Jakarta itu kota yang dingin dan individualis. Tapi setelah aktif di berbagai komunitas, pandangan saya berubah total.

Mau cari teman yang sehobby? Ada komunitasnya. Suka lari pagi? Ada running club. Gemar fotografi? Ikut komunitas foto. Senang main board game? Ada tempat dan komunitasnya juga.

Menariknya lagi, di Jakarta kamu bisa berteman dengan orang dari berbagai latar belakang. Teman saya ada yang dari Papua, Aceh, Bali, Sulawesi, semua berkumpul jadi satu. Kami saling cerita soal budaya, makanan khas, bahkan bahasa daerah. Ini memperkaya wawasan dengan cara yang tidak bisa didapat di kota homogen. Jakarta mengajarkan saya bahwa Indonesia itu benar-benar beragam, dan keberagaman itu indah kalau kita mau membuka diri.

#6 Akses informasi dan hiburan yang unlimited

Mau nonton konser artis internasional? Jakarta jadi kota pertama yang dikunjungi. Ada pameran seni? Galeri dan museum bertebaran. Pengin belajar hal baru? Workshop dan seminar diadakan hampir setiap minggu. Ini yang membuat saya merasa terus berkembang selama di Jakarta.

Belum lagi soal akses internet dan teknologi. Semua aplikasi terbaru, layanan digital, inovasi tech semuanya masuk Jakarta duluan. Mau pesan makanan? Ada puluhan aplikasi. Butuh transportasi? Tinggal klik. Mau bayar tagihan? Semua bisa dari HP. Kemudahan ini yang bikin saya kadang males balik kampung karena harus adaptasi lagi dengan sistem yang lebih manual.

#7 Kebebasan untuk jadi diri sendiri di Jakarta

Ini yang paling saya hargai dari Jakarta, yaitu kebebasan. Di kampung, semua orang kenal kamu, tahu keluarga kamu, dan punya ekspektasi tertentu tentang hidup kamu. Di Jakarta? Kamu bebas jadi siapa saja tanpa dihakimi.

Mau ganti karir di usia 30? Silakan. Mau hidup sederhana meski gaji besar? Terserah. Mau ngejar passion yang dianggap nggak realistis? Go for it.

Jakarta adalah kota yang tidak peduli dengan latar belakang kamu. Yang penting kamu bisa bertahan dan berkontribusi. Anonimitas yang dulu saya anggap sebagai kesepian, sekarang saya lihat sebagai kebebasan. Saya bisa eksperimen dengan hidup tanpa tekanan sosial. Saya bisa gagal tanpa jadi bahan gosip satu kampung. Dan kalau berhasil, itu murni hasil kerja keras saya, bukan karena koneksi keluarga atau nama besar orang tua.

Jakarta memang bukan kota yang sempurna. Dia keras, kacau, dan kadang menyebalkan. Tapi di balik semua keluhan itu, ada alasan kenapa jutaan orang memilih bertahan di sini. Ada peluang, ada kebebasan, ada kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas. Jakarta mengajarkan saya untuk tangguh, mandiri, dan terus berkembang.

Jadi kalau kamu bertanya kenapa saya belum pulang kampung setelah sekian tahun, jawabannya sederhana, karena Jakarta masih punya banyak hal untuk dieksplorasi, banyak peluang untuk dikejar, dan banyak cerita untuk dibuat. Ya, saya kadang capek dan pengin pulang. Tapi besoknya saya bangun lagi, tap kartu Transjakarta, dan melanjutkan petualangan di kota gila yang satu ini.

Penulis: Alifia Putri Nur Rochmah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Ini Dia Alasan Orang Jakarta Timur Malas Diajak Main ke Jakarta Selatan

Exit mobile version