Gunung Agung merupakan salah satu destinasi wisata di Bali. Wisatawan pun banyak yang sengaja berkunjung untuk mendaki Gunung tertinggi di Bali ini karena keindahan panorama yang ditawarkan.
Gunung Agung adalah gunung api aktif yang di terletak di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Namun belakangan, gunung tersebut kerap mengalami erupsi. Alhasil, kegiatan pendakian atau wisata terpaksa ditutup. Untuk kamu yang tertarik mendaki gunung ini, berikut beberapa cerita tentangnya yang perlu kamu ketahui. Siapa tahu dengan mengetahui cerita-cerita ini, proses pendakianmu agar berjalan dengan lebih lancar nanti.
#1 Misteri kera putih
Kera putih dianggap sakral oleh masyarakat Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali. Mereka percaya kera putih adalah utusan dari Ida Batara yang menjaga keutuhan Gunung Agung.
Kera putih di Bali biasa disebut “Sang Wenara Petak” atau bojong putih. Konon hewan tersebut akan menampakkan diri kepada warga saat gunung akan meletus sebagai tanda peringatan bahaya. Kera putih dikenal sebagai pembawa berita baik. Biasanya bojong putih muncul di hari-hari besar, misalnya dalam ritual pujawali di Pura Pasar Agung yang diadakan setahun sekali.
Menurut Pamangku Pura Pasar Agung, terdapat 2 kera putih betina dan 1 kera putih jantan. Namun, populasinya konstan dan tidak bekembang biak.
#2 Membawa makanan ke gunung harus berjumlah genap
Entah ada misteri apa di balik gunung tersebut dengan makanan ganjil. Namun, masyarakat sekitar Gunung Agung mempercayai jika mendaki harus membawa makanan dengan jumlah genap. Katanya, sih, kalau makanan yang kita bawa jumlahnya ganjil, nanti bakal ada yang menggenapi.
#3 Dilarang membawa daging sapi
Para pendaki yang akan mendaki ke Gunung Agung dilarang keras untuk membawa bekal daging sapi. Pasalnya, ini akan membuat penunggu gaib gunung tersebut marah. Pun dewa-dewa yang bernaung di sana akan murka. Apalagi, di lereng gunung terdapat Pura Besakih yang suci. Warga Hindu di Bali menganggap sapi adalah hewan yang mulia.
Menurut kepercayaan masyarakat Hindu Bali, sapi adalah simbol kesejahteraan semua makhluk hidup sehingga pantang untuk menyembelih dan memakan daging sapi. Jadi, bagi para pendaki yang ingin selamat mendaki gunung tersebut harus memastikan bekal yang dibawa apakah mengandung daging sapi atau tidak.
#4 Ketika mendaki harus ditemani orang suci
Jika ingin mendaki Gunung Agung, pendaki harus ditemani oleh orang suci. Orang yang dianggap suci yaitu pendeta atau orang tertentu yang disucikan. Hal tersebut karena Gunung Agung dianggap suci oleh masyarakat Bali. Jadi, tidak sembarang orang bisa mendaki tanpa izin.
#5 Anjing penunjuk jalan
Anjing ini dikenal suka mengikuti pendaki, bahkan sampai ke puncak. Ia sangat ramah dan seakan-akan memandu para pendaki. Segerombolan anjing akan terlihat saat melewati gerbang masuk menuju jalur pendakian setelah Pura Besakih.
Menurut cerita, seorang pendaki pernah diselamatkan oleh anjing berwarna hitam dan putih saat tersesat. Hewan tersebut menunjukkan jalan yang benar menuju puncak. Suasana mistis memang terasa pekat di Gunung Agung, hanya mereka yang berniat baiklah yang akan diselamatkan oleh anjing baik hati ini.
#6 Dilarang memakai baju warna merah dan hijau
Kalian pasti sudah tidak asing lagi dengan mitos Pantai Parangtritis. Ya, warna hijau merupakan warna milik ratu pantai selatan. Jadi, tidak boleh ada orang yang menyamai warna tersebut. Jika dilanggar, biasanya malapetaka akan terjadi. Mungkin ini ada kaitannya dengan kepercayaan warga Bali yang menganggap bahwa gunung dan laut adalah suami dan istri. Konon warna merah menjadi warna kesukaan penunggu gaib gunung tersebut. Oleh karena itu, pakaian dengan warna merah dan hijau dilarang untuk digunakan ketika datang ke gunung ini.
Itulah cerita misteri dari Gunung Agung di Pulau Dewata yang hampir keseluruhannya berdasar pada kepercayaan umat Hindu. Dengan menghormati kepercayaan setempat, kamu bisa melakukan pendakian dan menikmati keindahannya dengan sempurna. Karena pada dasarnya, alam mengajarkan kita untuk saling toleransi, menghormati, dan mencintai. Bukan saling menyindir dan merendahkan.
Penulis: Ni Putu Roshinta Dewi
Editor: Audian Laili