5 Pelajaran Hidup dari Pengalaman Nggladhag Motor Saat Ban Bocor

Tips dari Tukang Tambal Ban: Cara Deteksi Dini Ban Bocor atau Cuma Kempes

Ban motor bocor memang sebuah pengalaman yang bisa memberi banyak pelajaran.

Dari masa saya kecil hingga sekarang, sepeda motor menjadi transportasi primer dalam hidup. Secara kronologi, sepeda roda tiga pernah mengisi hari-hari usia balita. Di jenjang TK hingga SD, sepeda BMX tapi yang versi murah mewarnai kegiatan ini-itu. Jelang masuk SMP berganti dengan sepeda federal hingga awal SMA. Saat masuk di semester kedua kelas X, Astrea 800 menjadi tunggangan paten. Berikutnya New Supra Fit, Supra Fit edisi lawas, dan Revo Fit silih berganti untuk memboncengkan orang tua, teman, musuh, pacar, dan mantan pacar. Jangan tanya kenapa tidak ada mobil dalam daftar kisah tadi. Sepanjang usia saya hanya pernah punya mobil dalam bentuk remote control dan Tamiya.

Motor yang menjadi tunggangan saya dari zaman remaja ibarat sahabat sejati yang menemani saya dalam suka dan duka. Najwa Shihab boleh bilang kalau buku adalah sebaik-baiknya sahabat, tapi bagi saya tiada yang lebih emosional ikatan jiwanya daripada rakitan logam campur plastik bernama motor. Saya diejek di masa SMA karena stigma motor terjelek se-sekolahan juga melibatkan motor, boncengan yang-yangan berkeliling dari Klebengan-Kotabaru-Malioboro-Jokteng-hingga Rektorat UNY juga disaksikan motor, hingga tabrakan sekian kali juga membawa-bawa motor. Pokok’e motorcycle is my life.

Meski ke mana-mana kerap naik motor, ada satu hal yang saya amat waspadai tiap naik motor yaitu kebanan alias ban bocor. Kebanan adalah hal yang tak terelakkan dari pergi bawa motor. Ibarat orang pedekate sama cewek, ya kalau nggak mulus pastinya ya gagal jadian. Jadi ban bocor itu sudah sepaket dengan naik motor. Dari era di mana saya diajari Bapak naik motor pun saya juga tahu. Tapiii… yang sering kepikiran tentang kebanan adalah saat kebanannya di waktu-waktu vital dan masa-masa genting.

Perkara ongkos nambal ban hingga ngganti ban tentu juga masuk hitungan mahasiswa kere seperti saya. Namun momentum yang hilang gara-gara ban bocor itu yang sulit ditukar dengan apa pun, sukar disembuhkan dengan apa pun, dan mustahil diulang dengan cara apa pun. Tingginya intensitasi naik motor berbanding lurus dengan banyaknya kasus kebanan yang muncul. Saat kebanan ada dua pilihan di hadapan, nuntun motor atau nggladhag.

Nggladhag adalah istilah untuk menggambarkan orang yang tetap menaiki motor meski dalam keadaan kebanan. Saya adalah golongan orang di jalur nggladhag karena pertimbangan waktu, tempat, dan kepentingan yang mendesak. Sedikitnya ada lima insiden nggladhag legend yang pernah menimpa saya. Suatu hal yang bikin kecewa di hari itu, tapi memberikan pengalaman tiada duanya di hari ini.

#1 Nggladhag menjadikanmu pribadi yang nerimo lewat “ujian” yang dihadirkan

Sebagai mahasiswa yang aktif di himpunan mahasiswa jurusan (Hima), pada tahun 2010 Hima mengadakan bakti sosial (baksos) di panti asuhan Budi Bhakti yang terletak di Wonosari. Saat itu pas bulan Ramadan. Saya hadir membawa pacar yang berasal dari lain fakultas. Baksos berjalan lancar, hingga malam saat pulangnya kebanan terjadi. Di Janti, kebanan membuat kami nuntun motor. Usai lama tak melihat keberadaan kios tambal ban, kami pun nggladhag motor. Nggak lama sih, karena nggladhag dengan kondisi motor dinaiki berdua kan nggak enak rasanya. Kami nuntun lagi hingga ketemu tambal ban di depan Amplaz.

Ketika moment nggladhag, pacar saya mulai marah-marah. Ia sebal harus ngalami kebanan. Lha dipikire aku ki opo yo seneng kebanan? Dipikirnya saya kurang persiapan dalam motoran sehingga ban gampang terserang kebanan. Lha dipikire kebanan ki direncanakan po?

Adegan marah masih berlanjut karena ia ada janji dengan kawannya di daerah barat FT UGM. Saya dituding telah mengacaukan agendanya. Dia masih ngoceh melulu sambil jalan di belakang. Saya hanya bisa bersabar sambil nuntun motor.

Beberapa hari setelah malam sialan itu kami putus. Kebanan dan nggladhag ambil bagian di balik layar kata putus meski dalam porsi kecil. Saya sih nggak mengambinghitamkan ini terjadi gara-gara ban bocor. Sebaliknya, kasus itu mengajarkan saya untuk bersikap bijak dan nrimo keadaan dengan legowo. Meski di kampus saya dicie-ciein teman-teman karena kok bisa-bisanya putus diwarnai unsur kebanan dan nggladhag.

#2 Nggladhag membuatmu jadi orang yang lebih pemberani dari sebelumnya

Alkisah di tahun 2011 saya bersama tujuh teman sejurusan hendak dolan ke Puncak Suroloyo. Saat itu rute yang kami tempuh via pertigaan sebelum Pasar Plono. Ketika mulai mendaki bukit dan sudah melebihi separo perjalanan, kebanan terjadi.

Tanggung banget. Mau lanjut ke Puncak masih agak jauh, mau turun juga jauh. Kondisi medan yang menanjak dan tenaga yang mulai letih membuat kami memutuskan untuk turun. Adegan nggladhag terjadi di sini. Jujur saja nggladhag di jalur Suroloyo kala itu agak serem, sih. Ngeri-ngeri sedap. Gimana nggak lha wong jalannya sepi banget. Jarang berpapasan dengan manusia lain.

Kami nggak kepikiran kalau ketemu hantu. Kami was-was kalau tahu-tahu ada macan ngadang di tengah jalan. Sesampai di jalan raya dan nemu bengkel tentu saja wajib ganti ban. Ini wajar mengingat jarak nggladhagnya yang jauh dan ban dalamnya udah nggak karuan lagi.

Dari pengalaman itu saya tidak pernah cemas lagi saat nggladhag meski dalam kondisi sunyi. Menjadi lebih pemberani karena pernah berpengalaman nggladhag di jalur yang horor. Oiya, setelah itu kami nggak pernah berencana ke Suroloyo lagi. Mungkin mereka trauma dan kapok ke sana gara-gara ngajak saya dan ending-nya gugur di jalan.

#3 Nggladhag melatihmu untuk menjadi orang yang sabar

Kejadian ini saat saya motoran di daerah Pomad, Bogor, tahun 2015. Di siang yang menyengat, kebanan terjadi di jalan raya. Feeling saya langsung nggak enak karena saya tahu Bogor adalah salah satu wilayah yang populasi tukang tambal bannya seperti hantu. Kalau masalah ada nggaknya sih saya yakin ada, cuma sulit untuk menemukannya kecuali kamu memang punya kenalan tambal ban.

Berbeda dengan di Jogja yang banyak tambal ban, di Bogor uaaangeel polll. Kadang saya mikir ini kotanya kok gini amat ya. Bener-bener kudu sabar deh. Masak iya saya kalau pergi harus bawa boks isi peralatan nambal. Emangnya sini tim pit stop balapan F1 po?

Selain itu, Bogor kan kemacetannya luar biasa. Dominasi angkot sudah keterlaluan dalam ngebak-ngebaki dalan. Parahnya banyak jalan Bogor yang nggak terlalu lebar. Karena motor digladhag, otomatis saya nggak bisa melaju dengan cepat. Klakson angkot, mobil, dan motor lain pun sering bersahutan di belakang. Kebayang nggak sih kalau kamu lagi kebanan terus diberondong klakson melulu oleh pengendara lain. Kalau saya nggak sabar mah tongkat Voldemort auto ditodongkan ke mereka sembari mengucap Avada Kedavra!

#4 Nggladhag mengajarimu tentang skala prioritas

Di tahun 2018, nggladhag paling nggak bermutu terjadi. Saat itu saya dari Prambanan mau ke Solo di jam setengah lima pagi. Rumah saya di Prambanan dan ngajar di Solo. Pas banget di traffic lights Terminal Penggung Klaten, kebanan melanda. Langsung saya gladhag, nggak pake acara nuntun-nuntun segala. Keputusan logis karena naluri berkata di jam segitu mana ada tukang tambal ban yang sudah buka lapak.

Ironisnya di pagi buta itu benar-benar nggak ada tambal ban yang buka satu pun. Ketar-ketir langsung bergelayut di benak karena jam tujuh pagi saya ada jadwal ngajar. Kalau sampai telat, kasihan para siswa yang kena jam kosong. Saya nggak mau mereka senang dan berselebrasi hore-hore karena pagi-pagi sudah langsung dapat bonus jam kosong. Atas dasar mementingkan kepentingan umum daripada urusan pribadi, nggladhag pun tancap gas.

Nggladhag edisi ini enggak enak banget. Coba pikirkan seberapa jauh jarak dari Terminal Penggung hingga area sekolah saya yang letaknya sebelum lampu merah Manahan. Jauhnya nggak ketulungan, Bro.

Sepanjang rute itulah saya naik motor kayak naik kuda catur. Ban depan normal, ban belakang gembos. Rasanya naik motor yang isinya cuma velg doang blass ora penak. Di jalan saya dilihatin pengendara lain, tapi saya mah cuek. Pokoknya yang dipikir cuma satu, nyampek sekolah sesegera mungkin meski setiba di sana velg belakang bentuknya sudah nggak karuan.

#5 Nggladhag membentukmu bermental kuat dalam pengendalian diri

Pada tahun 2019 saya kebanan di barat bangjo Pakis dalam perjalanan dari Solo ke Jogja. Malam Minggu hujan deras dan kebanan, lengkap sudah weekend nan malang ini. Konsekuensi umum dari nggladhag adalah saya harus melaju dengan agak pelan di tepi jalan. Ujian yang saya hadapi saat itu berupa genangan air. Sepanjang rute per-nggladhag-an itu, tercatat lebih dari lima kali saya kecipratan genangan air yang diterjang oleh pengendara lain. Mobil dan motor sama saja, cipratan airnya ada yang kena badan dan kepala. Meski saya pakai mantol dan helm tetap saja guyuran itu kroso banget. Lha wong kaca helm saya buka dan mantolnya juga nggak teramat tebal. Dingin iya, kotor pasti. Ingin rasanya mulut berkata kasar dan misuh setiap kena cipratan air, tapi mulut saya tahan-tahan. Diciprati air kotor berkali-kali saat nggladhag menunjukkan secara nyata pada saya bagaimana cara meredam emosi.

Tidak ada seorang pun yang mengharapkan kena kebanan. Nggladhag sebagai salah satu solusi yang saya ambil tidak dianjurkan untuk ditiru. Pokoknya jangan deh, kecuali kamu siap menanggung risiko ya silakan, sih. Tapi jika kamu pernah jadi orang ndableg kayak saya, saya cuma mau bertanya satu hal. Seberapa jauh rekor jarak tempuhmu dalam nggladhag motor kesayanganmu?

BACA JUGA Tips dari Tukang Tambal Ban: Cara Deteksi Dini Ban Bocor atau Kempes Belaka dan tulisan Christianto Dedy Setyawan lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version