5 Kesalahan Saya Sebagai Seorang Perantau Jawa Newbie di Tanah Pasundan

5 Kesalahan Saya Sebagai Seorang Perantau Jawa Newbie di Tanah Pasundan terminal mojok

Saya adalah seorang Jawa blasteran. Ayah berasal dari Jawa Tengah, ibu berasal dari Jawa Timur, hehehe canda, bukan blasteran dengan darah orang WNA atau etnis lain. Sebagai wong Jowo, rasanya sudah menjadi rahasia umum bahwa orang Jawa gemar merantau untuk mengadu nasib di kota atau provinsi lain. Awalnya saya mengira akan berkuliah paling nggak di sekitar Jawa Timur atau Jawa Tengah, dan paling jauh paling di Jakarta. Namun Tuhan berkata lain, dan saya jadi perantau di pusat Jawa Barat, yaitu Bandung.

Berada di Tanah Pasundan jelas sangat berbeda lantaran kultur kedaerahannya sangat kental dibandingkan dengan Jakarta yang beragam. It’s like another level of culture shock karena bahasa dan adat istiadat yang digunakan berbeda dengan suku Jawa di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lantas, kali pertama saya datang dan resmi tinggal di Bandung, saya harus beradaptasi dengan budaya dan cara hidup orang Sunda. Nah, kalau diingat-ingat lagi, ada lima kesalahan utama yang saya lakukan dalam masa-masa adaptasi ini yang langsung membuat orang Bandung menebak dengan tepat, “Pendatang dari Jawa, ya?”

#1 Panggilan “mas” dan “mbak” kurang lazim digunakan

Di Jawa Timur dan Jawa Tengah, sudah jadi kebiasaan untuk menggunakan panggilan “mas” dan “mbak”, bahkan untuk orang yang nggak kita kenal. Panggilan yang menunjukkan bahwa yang dipanggil usianya lebih tua ini kurang lebih sama efektifnya dengan panggilan “kak” yang universal. Namun, di Bandung, dua pronomina ini nggak terlalu sering dipakai. Di Tanah Pasundan, padanan “mas” adalah “aa” atau “kang”. Sedangkan “teh” atau “teteh” adalah padanan untuk “mbak”.  Karena terbiasa menggunakan panggilan “mbak” dan “mas” selama kurang lebih tiga bulan, saya dikira orang Jakarta oleh teteh-teteh Indomaret dan penjual makanan di sekitar kos. Hehehe.

#2 Jika ditanya asal daerah, menyebut “Jawa” saja sudah cukup

Ini kesimpulan pribadi, tapi bagi orang Jawa Barat ya memang hanya kota-kota besar saja yang namanya familier di telinga seperti Surabaya, Malang, Semarang, dan Solo. Sebagai orang Sidoarjo, saya harus menjelaskan dulu kepada teman-teman kuliah saya mengenai keberadaan kota saya. Beberapa ada yang ingat dengan kejadian lumpur Lapindo, tapi ada juga yang nggak tahu. Alhasil, cara paling gampang ya bilang saya berasal dari Surabaya.

Di Bandung, saya memiliki grup kecil-kecilan yang isinya mahasiswa perantau asal Jawa Timur. Mereka bercerita, kalau sudah ditanya mengenai asal daerah, mereka lebih memilih jalan pintas dengan menjawab, “Saya dari Jawa.”  Kalau ditanya lebih detail, cukup jawab saja, “Jawa Timur.” Mengapa? Karena banyak dari mereka berasal dari daerah yang namanya kurang familier bagi warga Sunda seperti Jember, Mojokerto, Ngawi, dan Lamongan. Daripada ribet menjelaskan lokasi kota asal mereka, jawaban “Jawa” saja sudah cukup.

Di Jawa Barat, kata “Jawa” otomatis merujuk ke provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai pendatang, ketika dulu saya bercerita akan mudik ke Surabaya, sebagian besar respons mereka kurang lebih begini, “Oh, pulang ke Jawa, ya.”  Awalnya saya bingung, bukannya sekarang saya lagi di Bandung yang notabene kota di Jawa Barat dan di pulau Jawa?  Kok dibilang pulang ke Jawa? Ternyata oh ternyata, julukan “Jawa” ini memang lebih menegaskan mengenai batas suku, bahasa, dan budaya. Karena Jawa Barat adalah daerah asli suku, bahasa, dan budaya Sunda, mereka jelas membuat garis tegas mengenai perbedaan tersebut dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

#3 Perlu adaptasi dengan gaya berbicara setempat

Sebagai perantau, perlu adanya penyesuaian diri supaya di tanah perantauan nggak terjadi salah paham dan nggak dianggap kurang beretika. Lantaran seumur hidup selalu tinggal di lingkungan budaya dan bahasa yang sama, saya baru tahu waktu pindah ke Bandung bahwa logat saya ternyata cukup medok dan cenderung bernada tinggi.

Ada beberapa kata dan kalimat yang jika saya ucapkan dengan gaya berbicara saya seperti biasa, namun ternyata dianggap cukup mengejutkan untuk orang-orang Bandung. Ya, saya sering dikira marah-marah karena nada bicara saya sangat tinggi dibandingkan orang-orang Sunda yang ngomongnya halus dan lembut. Hehehe, kalau dipikir-pikir lucu juga, karena ya kebiasaan orang Jawa sering memberikan penekanan di tiap suku kata yang diucapkan sebagai indikasi menunjukkan berbagai macam perasaan: jengkel, marah, gemes, khawatir, senang, dan lain-lain. 

Maka dari itu, seharusnya para perantau asal Jawa bisa menyesuaikan diri dengan cara berbicara lebih pelan supaya nggak disahuti dengan kalimat semacam, “Jangan marah atuh, Teh…” Awalnya memang susah, namun seiring waktu, gaya bicara lama-lama bisa menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.

#4 Tidak berbelanja di Borma!!!

Siapa nggak kenal dengan Borma? Ialah juaranya supermarket kesayangan semua orang, terutama kaum mahasiswa. Ya, pikiran perantau newbie macam saya dulu terlalu lugu. Pokoknya belanja saja ke supermarket terdekat dari kos. Dulu supermarket terdekat itu termasuk supermarket ternama yang target pembelinya ekonomi menengah ke atas, jadi harganya lebih pricey. Untung teman-teman saya mengenalkan saya pada Borma, supermarket andalan yang identik dengan kertas plastik warna kuning terangnya.

Walaupun jarak lokasi Borma dengan kos saya termasuk lumayan alias harus naik angkot dulu agak jauh, setidaknya berbelanja di tempat ini sangat worth it! Tempat ini serba lengkap, menyediakan barang-barang kebutuhan rumah tangga sampai perkakas dan alat-alat olahraga pun dijual. Selain itu, harganya murah meriah. Ketika menginjak tahun kedua kuliah dan dikenalkan pada Borma, pikiran saya cuma, “Haduh, ke mana aje lu?” Eits, tapi karena sekarang pemerintah Bandung mengurangi penggunaan plastik, jangan lupa sebelum pergi berbelanja ke Borma bawa reusable bag dulu ya, Teh!

#5 Tidak memanfaatkan fasilitas angkot secara maksimal!!! Angkot transportasi andalan yang terjangkau!

Karena baru kali pertama merantau dan sering parno, saya takut kalau harus pergi ke tempat lain selain kampus dan bandara/stasiun. Akhirnya, saya menggunakan layanan ojek online karena dijamin pasti langsung sampai ke tempat tujuan dan eksklusif alias hanya saya seorang penumpangnya. Sangat memudahkan sekali, sih, tapi dompet virtual saya lama-lama menjerit karena terlalu sering dipakai membayar biaya ojek online yang nggak selalu murah.

Beruntungnya saya memiliki banyak teman orang Bandung asli! Akhirnya saya dikenalkan dengan berbagai macam warna dan rute angkot yang dipakai di daerah Bandung. Rasanya ingin ke mana saja pasti akan selalu ada angkotnya, walau memang harus hafal rute dan ancer-ancer pindah warna angkot. Tapi jelas, harganya sangat terjangkau!

Sekarang saya lebih suka naik angkot dibandingkan ojek online. Cuma memang harus diakui, naik angkot baiknya ketika sedang nggak dikejar waktu karena angkot sering berhenti di beberapa titik untuk ngetem/menunggu penumpang. Ah, tapi kapan lagi bisa merasakan suasana Bandung dan berinteraksi dengan ibu-ibu di dalam angkot, kan?

Walaupun sebagai orang Jawa saya menjadi minoritas di Bandung, hati ini rindu kembali ke tanah perantauan dan merasakan sejuknya hembusan angin dari Lembang, serta keramahan orang-orang Sunda. Semoga setelah PPKM selesai, saya bisa segera kembali jadi perantau di Tanah Pasundan…

BACA JUGA Karakter Orang Padang di Perantauan dan tulisan Eunike Dewanggasani W.S. lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version