Tidak terasa, sebentar lagi para umat muslim akan merayakan hari raya Idul Adha. Di mana hari itu menjadi salah satu perayaan yang sakral bagi para pemeluk agama Islam. Walaupun ya, kali ini saya yakin perayaannya tidak akan jauh berbeda dibanding tahun lalu, yang mana masih di suasana pandemi. Apalagi, mengingat kebijakan pemerintah soal PPKM berlaku hingga hari perayaan Idul Adha, ini kalau nggak diperpanjang.
Melihat kondisi yang sekarang, saya menjadi sangat bersyukur. Di tahun-tahun sebelum pandemi menyerang saya masih bisa menikmati suasana Idul Adha yang lebih kondusif dan ideal. Di mana para warga di tempat tinggal saya dapat berkumpul untuk melakukan rangkaian ibadah Idul Adha mulai dari sholat Idul Adha sampai prosesi penyembelihan hewan kurban bersama-sama.
Khususnya di acara pemotongan hewan kurban, para warga dari yang tua hingga muda semua turut ambil bagian. Walaupun tidak ada briefing sebelum prosesi penyembelihan hewan kurban, masyarakat seakan sudah tahu masing-masing tugasnya, losss.
Pertama, saya masih ingat bahwa sebagian anak-anak TK sampai sekolah dasar duduk di masjid sembari mengumandangkan takbir, mengiringi proses penyembelihan hewan kurban. Mereka yang lebih berani, percaya diri untuk melihat prosesi pemotongan hewan kurban.
Kedua, para remaja sekolah menengah pertama sampai sekolah menengah atas, juga sedang menonton sang jagal menyembelih sapi dan kambing satu persatu. Para pemuda tanggung itu menunggu tugasnya, yaitu membersihkan jeroan atau bahasa kerennya, brodot. Mereka tidak hanya menunggu jobdesk, tapi juga menantikan momen di mana mereka bisa bermain air di sungai tanpa takut kena ceramah tiga SKS dari orang tua. Ini karena di tempat tinggal saya ada kebiasaan mencuci jeroan sapi di sungai
Saya jadi teringat, bahwa pernah merasakan kegembiraan yang sama
Berbekal dengan bambu kecil yang diberi silet ujungnya, kami berangkat ke sungai setelah semua hewan kurban disembelih dan dibersihkan organnya. Bambu itu adalah alat membersihkan brodot sampai bersih. Sambil melakukan tugas, tidak lupa sesekali kami sambil bermain air di sungai.
Kalau diingat hal itu memang menjadi pengalaman yang sungguh menyenangkan. Apalagi, setelah capek membersihkan jeroan hewan kurban, kami biasa berenang di sungai. Walaupun, kondisi sungainya ya seperti itu.
Pukul 12 siang adalah waktu kami selesai membersihkan brodot. Pulang dari sungai, kami kembali ke masjid dan sudah disambut dengan makan siang yang nikmat. Namun, tugas kami belum selesai. Kami masih harus membagikan daging kurban kepada orang yang berhak menerima. Itulah kurang lebih tugas yang pernah saya rasakan dari SMP sampai SMA.
Ketiga, akhirnya sekitar enam tahun yang lalu saya secara resmi sudah naik tingkat, saya yang sudah kuliah meninggalkan tugas sapu bersih. Pensiun dari dunia per-brodot-an, menapaki karier baru dengan tugas yang lebih next level.
Para laki-laki yang telah lulus SMA dan entah memilih bekerja atau kuliah, sampai dengan para papa muda mendapatkan tugas seperti saya. Memegangi hewan kurban saat proses penyembelihan, membantu menguliti (bagi yang percaya diri), dan memotong daging. Oh iya, usung-usung daging yang berukuran besar pun juga kami lakukan.
Ini adalah proses kaderisasi dan regenerasi yang menentukan akan ditaruh di divisi apa setelah kami menginjak usia senior. Maka selayaknya masa percobaan tiga bulan di dunia kerja, kami harus menunjukkan kapasitas tertinggi.
Keempat, ada para bapak-bapak yang lebih senior yang seolah sudah memiliki tugas permanen di arena penyembelihan hewan kurban. Di sini sudah diplot siapa yang memegang tugas apa. Ada bapak-bapak yang tugasnya menyembelih, contohnya bapak saya, ada yang tugas menguliti sapi, ada yang tugasnya menguliti kambing, ada yang memisah-misahkan bagian tubuh sapi, ada yang memisah-misahkan bagian tubuh kambing.
Namun, di klub bapak-bapak senior ini juga ada divisi khusus yaitu, komentator dan mandor. Mereka biasanya komentar soal kinerja warga lain yang “kerja” sambil menyilangkan tangannya ke belakang dan tunjuk sana-sini. Nyebai, pokoknya!
Kelima, ada peran perempuan di acara penyembelihan kurban juga cukup vital loh. Biasanya para ibu-ibu diberi tugas yang bobotnya sama dengan yang lain. Ada yang memisahkan daging dari tulang, mencacah daging dan tulang, mengemas daging ke plastik untuk dibagikan, ada juga yang memasak untuk makan bersama. Peran remaja putri juga tidak ketinggalan di dalam membantu menyiapkan konsumsi.
Sebuah harmoni yang sepertinya tidak bisa saya rasakan dan saksikan di Idul Adha ini. Yah, semoga ya Idul Adha berikutnya bisa lebih baik lagi dengan suasana yang normal. Bukannya, new normal~
BACA JUGA Betapa Tak Istimewa Kurban yang Sebatas Nyembelih Kambing atau tulisan Rezza Atthoriq lainnya.