5 Istilah Ekonomi Islam yang Sering Bikin Salah Paham

5 Istilah Ekonomi Islam yang Sering Bikin Salah Paham

5 Istilah Ekonomi Islam yang Sering Bikin Salah Paham (unsplash.com)

Simpan baik-baik istilah ekonomi Islam ini supaya kamu nggak bingung waktu ditanya.

Jujur saja, banyak orang masih mengira ekonomi Islam itu cuma ekonomi konvensional yang dikasih bumbu “syariah”. Padahal, fondasinya jauh lebih dalam daripada sekadar “nggak boleh riba.”

Yang bikin lucu sekaligus tragis, bukan cuma masyarakat umum yang salah paham, mahasiswa Ekonomi Islam sendiri sering ikut tersesat. Terutama waktu pertama kali masuk kelas muamalah atau ushul fikih ekonomi. Banyak istilah Arab, teori normatif, dan perdebatan mazhab yang baru terasa relevansinya setelah mereka benar-benar paham mekanisme akad.

Sebagai mantan maba yang dulu sering bertanya “Hah, istilah apaan ini?” saya ngerti persis rasanya gimana. Makanya, ini lima istilah ekonomi Islam yang paling sering bikin salah paham. Simpan baik-baik biar kamu nggak bingung pas ditanya dosen atau pas debat sama teman anak manajemen konvensional.

#1 Istilah riba dalam ekonomi Islam bukan cuma “bunga bank”

Banyak orang menyamakan riba dengan bunga bank, lalu selesai. Padahal riba adalah konsep yang jauh lebih tua, lebih luas, dan lebih kompleks daripada lembaga keuangan modern. Dalam fikih, fokus riba bukan pada nama lembaga atau produknya, tetapi pada akad dan tambahan yang disyaratkan dalam transaksi utang atau jual beli barang tertentu.

Kesalahan umum muncul ketika riba dipahami secara hitam-putih: yang tanpa bunga dianggap pasti halal, yang berbunga otomatis haram. Mahasiswa Ekonomi Islam perlu lebih kritis, memahami istilah riba bukan soal menghafal definisi, tetapi memahami motif, keadilan, dan relasi kuasa dalam transaksi. Di sinilah perbedaan mazhab dan pendekatan para ulama menjadi penting, karena konteks modern sering menuntut pembacaan yang lebih teliti.

#2 Musyarakah bukan patungan modal ala-ala

Sekilas, musyarakah memang mirip patungan modal—kamu dan teman-teman kumpulin dana lalu buka usaha bareng. Tapi kalau dipelajari serius, musyarakah punya struktur yang jauh lebih ketat. Ia tidak mengenal peserta “numpang nama.” Semua pihak adalah mitra penuh yang sama-sama menanggung risiko dan terlibat dalam keputusan usaha.

Kesalahan paling umum adalah anggapan bahwa siapa yang modalnya paling besar otomatis boleh menentukan semuanya. Padahal, kemampuan mengatur bukan “hadiah” dari besarnya modal. Pembagian keuntungan boleh fleksibel sesuai kesepakatan, tetapi kerugian harus dibagi sesuai porsi modal. Prinsip ini bukan aksesori semata, ini adalah inti keadilan musyarakah yang membuatnya berbeda dari skema pembiayaan berbasis utang.

Dalam praktik perbankan syariah, istilah musyarakah sering tampak sederhana di brosur. Tetapi ketika masuk ke detail akad, banyak yang baru menyadari bahwa musyarakah bukan tipe transaksi yang bisa dikelola asal jalan. Ia menuntut transparansi, laporan yang jujur, dan kontribusi nyata dari semua pihak.

Jadi kalau kamu menganggap musyarakah itu cuma joint venture berbahasa Arab, kamu kehilangan inti filosofisnya: semua mitra berdiri di lantai yang sama, terutama ketika bicara risiko.

#3 Istilah gharar dalam ekonomi Islam bukan sekadar ketidakpastian

Hampir semua transaksi ekonomi mengandung ketidakpastian. Kalau semua ketidakpastian otomatis haram, ekonomi modern berhenti berputar. Di sinilah banyak orang terjebak karena menerjemahkan gharar secara terlalu literal.

Gharar dalam fikih merujuk pada ketidakpastian yang berlebihan, spekulatif, atau menyembunyikan informasi penting sehingga membuka peluang perselisihan atau penipuan. Ini bisa berupa objek barang yang tidak jelas, syarat yang samar, atau kondisi akad yang membuat salah satu pihak berada dalam posisi merugi.

Konsep gharar sangat penting karena ekonomi Islam menuntut transparansi. Risiko pasar itu wajar, tetapi gha­rar yang mengaburkan objek transaksi atau memanipulasi ekspektasi pihak lain adalah problem. Kalau hanya menghafal “gharar = ketidakpastian,” kamu bisa salah membaca kenapa sebagian produk modern tetap sah secara syariah meskipun punya risiko fluktuatif.

#4 Akad bukan cuma “kontrak versi syariah”

Ini salah satu miskonsepsi paling umum. Banyak orang menganggap akad hanyalah kontrak yang pakai bahasa Arab. Padahal konsep akad dalam fikih jauh lebih struktural. Ada rukun, ada syarat, ada larangan umum, ada ketentuan objek, dan ada tujuan syariah yang harus dijaga. Semuanya bukan pajangan semata, mereka menentukan sah atau tidaknya transaksi.

Memahami akad dalam ekonomi Islam bukan soal hafalan definisi. Tetapi juga kemampuan membaca motif, struktur transaksi, dan apakah manfaat serta risikonya didistribusikan secara adil.

#5 Mudharabah bukan tabungan syariah yang pasti untung

Inilah miskonsepsi yang paling sering menimbulkan ekspektasi yang keliru. Banyak orang mengira mudharabah adalah tabungan atau deposito versi Islami yang pasti menghasilkan return bulanan. Padahal, mudharabah adalah akad kerja sama antara pemilik modal dan pengelola usaha dengan prinsip bagi hasil berdasarkan performa riil usaha tersebut.

Tidak ada jaminan keuntungan tetap. Jika usaha rugi, pemilik modal menanggung kerugian finansial, sementara pengelola menanggung kerugian tenaga dan reputasi. Rasio bagi hasil (nisbah) hanya berlaku jika usaha benar-benar menghasilkan laba. Jika bank atau lembaga keuangan mematok return tetap sejak awal, itu tidak lagi sesuai struktur mudharabah dan masuk ke wilayah syarat fasid menurut banyak ulama.

Kesalahpahaman biasanya muncul karena brosur bank mencantumkan angka “estimasi” bagi hasil, yang sering dibaca sebagai kepastian. Padahal, angka itu hanya proyeksi berdasarkan kinerja masa lalu, bukan jaminan. Kalau kamu menganalisis mudharabah dengan mindset “pokoknya harus untung,” berarti kamu masih terjebak logika pendapatan tetap—sekadar berganti nama menjadi istilah Arab.

Lima istilah ini sering menjadi jebakan bagi mahasiswa Ekonomi Islam. Memahaminya bukan hanya penting untuk lulus UTS muamalah, tetapi untuk membaca transaksi modern dengan kacamata syariah yang utuh, bukan instan. Dunia keuangan syariah berkembang cepat, dan kamu tidak bisa hanya mengandalkan hafalan istilah Arab atau label produk bank.

Kalau kamu masih setengah paham, jangan terburu-buru menilai sebuah transaksi halal atau haram. Ketepatan jauh lebih penting daripada kecepatan. Dan dalam banyak kasus, “yang kelihatan Islami” tidak selalu sejalan dengan substansi akadnya.

Penulis: Muhammad Syifa Zamzami
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 10 Istilah Ekonomi yang Sering Muncul dalam Pembahasan Utang Negara

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version