Saya masih ingat betul saat pertama kali menginjakkan kaki di Kota Bandung awal 2020. Saya turun di Stasiun Kota Bandung dengan bayangan kota ini bakal dingin, estetik, romantis, rapi, dan penuh taman hijau. Tidak lupa orang-orangnya yang ramah dan santun. Pokoknya gambaran ideal seperti yang disuguhkan dalam film Dilan dan My Heart.
Sebagai orang luar Bandung, gambaran itulah yang saya tangkap tentang kota dengan julukan Paris van Java ini. Itu jugalah yang dipikirkan kawan-kawan saya sehingga mereka mengucakpkan selamat ketika tahu saya bekerja di kota ini. Jelas muncul rasa bangga dalam dada saya. Ternyata tak sia-sia kurang tidur tiap minggu ujian selama perkuliahan. IPK yang baik ternyata berhasil membawa saya ke kota idaman ini.
Akan tetapi, realitas menampar saya begitu keluar dari Stasiun Kota Bandung 5 tahun lalu. Konon katanya, Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum. Tapi, saya curiga, itu bukan senyum bahagia, lebih mirip senyum sinis atau senyum karir. Begitu pula senyum saya ketika menginjakkan kaki di kota ini perlahan pudar dihempas realitas.
Setelah lima tahun menjadi warga yang (terpaksa) adaptif, berikut lima hal paling kacau yang saya temukan di kota yang katanya romantis ini. Lima hal yang sudah terlalu lumrah di Kota Bandung, tapi jarang diketahui orang luar Bandung:
#1 Tata kota buruk
Jalanan Kota Bandung itu sempit dan trotoarnya banyak yag rusak. Taman tematiknya memang banyak, tapi di mata saya, mayoritas kurang jelas, kurang khas. Konsep kota hijau tinggal jargon di baliho karena ruang terbuka hijau sering kali dikorbankan demi ruko, kafe, atau proyek “penataan ulang” yang justru makin semrawut.
Bahkan, saat hujan deras, kota ini berubah bak Venesia yang terkenal punya banyak kanal itu. Jalanan di sana selalu tergenang banjir, membuat macet semakin parah, dan merusak kendaraan. Selain itu, begitu malam tiba, banyak jalan utama yang gelap gulita karena lampu jalan mati. Kalau tidak percaya, coba saja lewat Jalan Soekarno Hatta, Jalan Arah Saparua, Jalan Peta, dan Jalan Kopo. Kondisi ini bukan hanya tidak estetik, tapi juga sangat berbahaya bagi pengendara dan pejalan kaki.
#2 Angkot abadi yang tak pernah berevolusi
Angkot di kota bandung tidak kalah meneybalkan. Mereka kerap berhenti sesuka hati, ngetem di tengah jalan, dan menolak hukum fisika dasar bahwa kendaraan seharusnya bergerak. Transportasi publik di sini seperti mesin waktu, membawa kita kembali ke masa lalu, ketika integrasi antarmoda masih jadi wacana seminar.
Dan, seolah nostalgia itu belum cukup, Bandung juga menawarkan bonus level: surga pungli. Mulai dari parkir yang tarifnya fleksibel tergantung mood abang-abangnya, sampai kawasan wisata yang selalu punya “biaya tambahan” entah untuk apa, tapi semua orang pura-pura paham.
#3 Pejalan kaki, orang paling nelangsa di Bandung
Ogah naik angkot dan memilih jalan kaki? Itu pilihan yang sama buruknya. Sebab, berjalan kaki di Kota Bandung itu butuh nyali tinggi. Taruhannya nyawa. Trotoar bukan untuk manusia, tapi untuk pedagang, parkiran, atau genangan air abadi. Kota ini begitu kreatif sampai-sampai bisa menghilangkan fungsi dasar fasilitas umum tanpa rasa bersalah.
#4 Bandung penuh dengan kafe overprice
Kota Bandung sekarang seperti pameran kafe dengan tema estetika yang nyaris sama. Ironisnya, banyak kafe ini menjual kopi seharga satu hari uang makan mahasiswa, tapi membayar pegawainya di bawah UMR. Kota yang katanya ramah kreator, tapi justru memelihara ekosistem kerja yang eksploitatif. Pelopor munculnya fenomena skena sekaligus sekenanya membayar gaji pegawai.
#5 Gotham city wannabe
Begitu malam tiba, Kota Bandung berubah jadi kota autopilot. Lampu jalan minim, geng motor tak jelas mondar-mandir, dan suara knalpot bising jadi pengantar tidur. Jalan utama pun remang (seperti dijelaskan di poin 1). Rasanya seperti hidup di antara dua dunia, siang penuh wacana kreatif, malam penuh keresahan.
Setelah lima tahun hidup di Kota Bandung, saya menyadari satu hal, semua kekacauan ini sudah menjadi bagian dari keseharian warga. Tulisan ini lahir dari monolog di kepala, omelan di tongkrongan, dan keheranan yang menumpuk. Kalau hanya dibiarkan sebagai keluhan pribadi, ia mungkin hilang begitu saja. Tapi, kalau ditulis, siapa tahu ada pejabat daerah yang membaca, setidaknya tersadar bahwa kota yang katanya kreatif ini punya banyak pekerjaan rumah.
Penulis: Fatikha Faradina
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Jogja Memang Istimewa, tapi Mohon Maaf Bandung Lebih Nyaman untuk Ditinggali.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















