Sudah hampir tiga tahun saya merantau di Semarang setelah sebelumnya tinggal di Magelang. Awalnya sih mikir kehidupan di Semarang sama aja kayak di Magelang, paling beda dikit. Wong masih sama-sama di Jawa Tengah. Tetapi ternyata saya salah besar. Ada banyak hal yang bikin saya kangen Magelang, mulai dari soal kuliner, suasana kota, sampai cara hidup masyarakatnya yang beda banget sama Semarang.
Sebagai perantau yang bolak-balik Magelang-Semarang, saya jadi sering membandingkan kedua kota ini. Dan saya menyadari ada beberapa hal yang mudah banget ditemukan di Kota Sejuta Bunga, tapi ternyata sulit atau bahkan nggak ada di Kota Lumpia.
#1 Getuk Trio yang legendaris itu cuma ada di Magelang
Pertama, kuliner yang paling bikin kangen adalah Getuk Trio. Ini bukan getuk biasa yang bisa kamu temui di pasar-pasar tradisional. Getuk Trio itu ikonik banget buat orang Magelang. Teksturnya lembut, manisnya pas, dan yang paling penting, rasanya tuh beda dari getuk manapun.
Di Magelang, terutama daerah pusat kota, Getuk Trio ini gampang banget ditemukan. Bahkan jadi oleh-oleh wajib kalau ada tamu dari luar kota. Variannya juga macem-macem, di antaranya original, cokelat, durian, pandan, dan masih banyak lagi.
Nah, begitu saya pindah ke Semarang, saya coba cari getuk yang rasanya mirip. Susah, Bro. Yang ada cuma getuk biasa yang dijual di pasar atau toko oleh-oleh dengan merek lain. Rasanya jauh banget. Getuk Trio memang cuma bisa didapat di Magelang, dan itu bikin saya sering nitip kalau ada teman yang pulang ke sana.
#2 Pemandangan Gunung Merapi dan Merbabu dari tengah kota
Ini yang paling bikin beda secara visual. Di Magelang, kamu bisa dengan mudah melihat Gunung Merapi dan Merbabu dari berbagai sudut kota. Bahkan dari rumah, kampus, atau jalanan biasa, kamu bisa langsung lihat dua gunung megah itu berdiri gagah. Apalagi kalau pagi hari pas cuaca cerah, pemandangannya tuh bikin adem hati.
Suasana ini bikin Magelang terasa lebih sejuk dan asri. Udara juga lebih dingin, terutama pagi dan malam. Kadang kalau lagi hujan atau kabut turun, rasanya kayak tinggal di pegunungan.
Beda banget sama Semarang. Kota ini lebih datar dan pesisir, jadi ya nggak ada pemandangan gunung. Yang ada malah laut di utara. Suasananya juga lebih panas dan gerah, apalagi kalau siang hari. Jadi buat saya yang terbiasa dengan kesejukan Magelang, adaptasi di Semarang tuh lumayan challenging, terutama soal cuaca.
#3 Aksesibilitas ke tempat wisata dalam radius dekat
Magelang itu surganya destinasi wisata dalam jarak deket. Mau ke Candi Borobudur? 15-20 menit doang. Mau ke Ketep Pass buat lihat Merapi lebih dekat? 30 menit. Mau ke Punthuk Setumbu buat sunrise hunting? Sejaman. Belum lagi wisata lain kayak Svargabumi, Taman Kyai Langgeng, Rafting Elo, atau Gereja Ayam.
Semua tempat wisata ini gampang banget dijangkau. Jadi kalau weekend bosen di rumah, tinggal ngajak teman jalan-jalan, nggak perlu planning ribet atau perjalanan jauh. Biaya pun relatif murah karena nggak perlu sewa hotel atau keluar ongkos transportasi besar.
Di Semarang, destinasi wisata memang ada, tapi kebanyakan itu wisata kota kayak Lawang Sewu, Kota Lama, atau Sam Poo Kong. Kalau mau yang alam, harus keluar kota lumayan jauh. Mau ke Bandungan atau Ambarawa butuh waktu minimal sejam lebih. Jadi kalau dibanding Magelang, Semarang kurang “kaya” soal variasi wisata alam yang gampang dijangkau.
#4 Kultur masyarakat Magelang lebih homogen dan kekeluargaan
Di Magelang, kultur masyarakatnya masih kental banget dengan nilai-nilai kekeluargaan. Tetangga kanan-kiri masih saling kenal, masih ada budaya saling titip kunci rumah, atau ngobrol santai di teras. Komunitasnya juga lebih homogen karena mayoritas warganya ya orang Jawa asli Magelang atau sekitarnya.
Bahasa yang digunakan pun cenderung seragam, yaitu bahasa Jawa dengan dialek khas Magelang yang lembut. Nggak ada perbedaan dialek yang terlalu mencolok kayak di kota-kota besar lainnya.
Sementara Semarang, sebagai kota besar dan pelabuhan, jauh lebih kosmopolitan. Banyak pendatang dari berbagai daerah, jadi kulturnya lebih beragam. Ini sih ada plus-minusnya. Plusnya, kamu bisa ketemu banyak orang dengan latar belakang berbeda. Minusnya, nuansa kekeluargaan itu jadi berkurang. Tetangga sebelah mungkin nggak terlalu kenal, apalagi di area kos-kosan atau apartemen.
Buat saya yang terbiasa dengan kultur Magelang yang hangat, awal-awal tinggal di Semarang tuh berasa agak “dingin” secara sosial. Butuh waktu buat adaptasi dan cari circle sendiri.
#5 Harga kuliner yang jauh lebih terjangkau
Last but not least, soal harga makanan. Di Magelang, makan di warung atau angkringan itu bener-bener murah meriah. Dengan uang Rp10 ribu-Rp15 ribu, kamu udah bisa kenyang makan nasi + lauk pauk + es teh manis. Bahkan mie ayam atau bakso yang enak pun harganya masih di bawah Rp15 ribu.
Kultur makan di warung kaki lima atau angkringan juga masih sangat kuat di Magelang. Jadi pilihan tempat makan murah itu banyak banget dan mudah ditemukan di mana-mana.
Begitu pindah ke Semarang, saya langsung ngerasain perbedaan harga yang signifikan. Makan di warung biasa aja bisa habis Rp15 ribu-Rp20 ribu, belum tentu kenyang. Mie ayam atau bakso yang enak harganya bisa Rp18 ribu-Rp25 ribu. Apalagi kalau makan di resto atau kafe, uang Rp30 ribu-Rp50 ribu bisa langsung melayang.
Memang sih Semarang sebagai kota besar punya standar harga yang lebih tinggi. Tapi buat anak rantau kayak saya yang budgetnya pas-pasan, ini lumayan bikin kantong jebol kalau nggak pinter-pinter ngatur pengeluaran.
Inilah beberapa hal yang menurut saya mudah dijumpai di Magelang tapi sulit atau bahkan nggak ada di Semarang. Meskipun sama-sama di Jawa Tengah, ternyata karakteristik kedua kota ini beda banget, ya. Bagaimana dengan kalian? Apakah kalian punya pengalaman serupa tinggal di dua kota berbeda dalam satu provinsi? Atau mungkin punya versi lain tentang keunikan Magelang yang nggak ditemukan di kota lain?
Penulis: Alifia Putri Nur Rochmah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 4 Alasan Anak Muda Ogah Menetap di Magelang yang Katanya Nyaman.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















