Bisa tinggal di desa katanya jadi cita-cita banyak orang yang bosan dengan hiruk-pikuk ibu kota. Tapi, saya yang sekarang tinggal di desa malah nggak betah. Kenapa, ya?
Suatu hari, sepupu saya yang rumahnya di Jakarta mengunjungi rumah orang tua saya yang ada di desa, tapi sebenarnya nggak desa-desa amat. Sepupu saya bilang, “Enak ya di sini adem, nggak kayak di Jakarta, panas!”
Mendengar perkataan sepupu saya itu, saya malah jadi pengin berkeluh kesah soal hidup di tempat tinggal saya sekarang yang beneran desa. Sejujurnya, tinggal di tempat yang menurut sepupu saya lebih adem dibandingkan dengan kota ini lebih menguji kesehatan jiwa dan batin, lho. Saya saja merasa nggak betah tinggal di desa.
#1 Nggak ada tukang sampah
Jika kita tinggal di kota, biasanya ada fasilitas pembuangan sampah dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat. Fasilitas ini agaknya perlu disyukuri sepupu saya deh, sebab di desa nggak ada fasilitas seperti ini.
Di tempat tinggal saya sekarang nggak ada tukang sampah yang wira-wiri mengambil sampah dari tiap rumah warga. Saya sempat bertanya pada tetangga, apakah ada fasilitas pembuangan sampah di desa ini. Tetangga saya malah menjawab, “Di sini sampah biasanya dibakar, Mas, soalnya nggak ada tukang sampahnya.” Duh, repot sekali.
Baca halaman selanjutnya….
#2 Warganya kepo
Entah kenapa, setiap urusan kita menjadi urusan warga desa juga. Urusan apa pun itu. Kemarin saya mematikan stop-keran PAM karena ada keran air yang harus diperbaiki. Letak flow meter PAM yang ada di sawah dekat area rumah saya membuat saya harus melewati sawah untuk menggapainya. Eh, ada warga desa entah datang dari mana tiba-tiba berteriak, “Ngapain di situ, Mas?” Saya cuma bisa bengong sambil mbatin, ha, kok pengin tahu urusan orang.
Pernah juga suatu hari istri saya pulang dari belanja sayur. Seorang tetangga yang kebetulan bapak-bapak lewat depan rumah bertanya pada saya, dari mana istri saya datang. Saya nggak menjawab karena saya pikir blio nggak perlu tahu. Eh, bapaknya malah mencondongkan badan pengin mengintip isi kresek yang dibawa istri saya, dong. Hadeh, hancur sudah privasi kami.
#3 Warganya suka basa-basi
Kenapa warga desa kalau memerlukan sesuatu harus dikomunikasikan dengan bahasa yang berbelit-belit, ya? Kejadian ini saya alami sendiri. Jadi suatu hari, Pak Geprek (penjual geprek dekat rumah saya) datang ke rumah. Blio tahu kalau saya menyimpan uang kembalian cukup banyak karena saya nyambi jualan bensin.
Sebelum ke percakapan inti, Pak Geprek basa-basi bertanya ini itu pada saya sambil memegang uang seratus ribu rupiah. Setelah lama berbincang, barulah dia mengatakan tujuannya datang untuk menukarkan uang. Aduh, Pak, ribet banget hidup njenengan. Mbok dari tadi ngomong. Lantaran sudah kadung termakan basa-basi, saya kan jadi sungkan kalau nggak memberi uang tukeran.
#4 Susah pasang layanan internet
Memasang provider internet itu nggak bisa seenak jidat. Untuk menjangkau calon pelanggan, perlu tiang-tiang penyangga kabel dari kantor penyedia layanan provider ke rumah pelanggan. Kalau nggak ada satu pun tiang di dekat rumah, berarti kita nggak akan bisa memasang layanan internet.
Pun kalau ada tiang pendek yang biasanya berwarna hitam itu, arus yang terjadi dalam kabel itu adalah searah, alias arus DC. Sehingga, jika ada seseorang yang ingin provider internet di sebuah daerah dan dia adalah pelopor alias orang pertama, pihak penyedia provider internet harus menambah kabel lagi dari kantornya atau menambahkan hub untuk membuat cabang pada kabel itu.
Setahu saya, pemasangan provider internet di luar jangkauan akan ditolak oleh penyedia layanan. Kalaupun memaksa untuk memasangnya, biaya penambahan jaringan akan dibebankan kepada calon pelanggan. Kalau dibayangkan, pasti butuh uang banyak untuk sekadar pasang internet di rumah saya di desa. Padahal belum bayar biaya bulanannya, lho!
#5 Rawan dijulidin
Sejujurnya saya baru menetap di desa beberapa bulan. Awalnya saya hanya tinggal sendirian, namun kini sudah ada istri yang menemani. Gara-gara istri saya baru datang beberapa waktu lalu, warga desa yang terbiasa melihat saya sendirian sebelumnya jadi bertanya-tanya. Mungkin mereka mengira saya menyelundupkan perempuan di rumah, padahal kalau mau bukti buku nikah sih semuanya ada~
Beberapa warga yang malas bertanya biasanya melirik ke arah rumah saya tiap kali lewat. Istri saya sampai merasa risih dan menyarankan untuk memasang foto nikah kami dengan ukuran besar di ruang tamu agar bisa dilihat jelas warga yang lewat depan rumah. Ide bagus, sih, tapi apa perlu?
Itulah lima hal yang bikin saya nggak betah tinggal di desa. Kalau desa tempat tinggal kalian warganya baik hati dan nggak seperti yang saya ceritakan di atas, bersyukurlah.
Penulis: Muhammad Arif Prayoga
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Begini Rasanya Tinggal di Desa yang Tidak Dijangkau GoFood dan GrabFood.