Sebagai seorang Jawa tulen, tentu dalam keseharian saya dipenuhi dengan kebudayaan serta kebiasaan yang Jawa banget. Mulai dari tata bahasa, tradisi, profesi, sampai kepercayaan Jawa pun hingga kini di daerah saya masih kental. Menjadi bagian dari salah satu suku terbesar di Indonesia, rasanya saya cukup bangga dengan itu. Sebab, menjadi orang Jawa, pada dasarnya tidaklah mudah. Kadang-kadang, menjadi sekelompok mayoritas memiliki beban yang berat. Mulai dibilang anak kesayangan negaralah, apalah, inilah, itulah, dan lain sebagainya.
Namun, saya nggak akan membahas itu. Pasalnya, dari pengalaman saya selama lebih dari 20 tahun hidup di kalangan masyarakat Jawa, orang Jawa memiliki keunikan dalam menentukan format penamaanya. Oleh karena itu, siapa pun orang akan hanya cukup mengetahui namanya saja untuk menyimpulkan bahwa itu orang Jawa. Nah, nggak usah berlama-lama, berikut ini beberapa format penamaan orang Jawa yang sering saya temui di sekitar saya.
#1 Format nama awalan “Nga”
Jika ditanya berapa, jujur saya nggak tahu ada berapa orang di desa saya yang memiliki format penamaan ini. Di desa saya sendiri pun ada beberapa nama simbah-simbah yang memiliki awalan ini, baik simbah lanang maupun simbah putri. Sebagai contoh, mulai dari Mbah Ngadimin, Ngadenan, Ngasirin, Ngatinah, Ngateno, Ngadirin, dan Mbah dengan Nga-Nga lainnya.
Saking banyaknya dan mirip-mirip, pernah suatu kali ketika bapak saya nyuruh saya untuk ngantar pisang ke mbah-mbah, saya keliru ngantar ke simbah lain.
Bapak saya bilang, “Iki pisang kita wis matang banyak, Le. Nih, antarno pisang securung ndek rumahnya Mbah Ngadimo.”
Saya pun iya-iya saja, dong. Namun, alangkah kagetnya saya, pisang tersebut tidak saya antarkan ke rumah Mbah Ngadimo, melainkan saya antar ke rumah Mbah Ngateno. Saya pun akhirnya kena marah habis-habis karena yang saya dengar adalah Ngateno bukan Ngadimo
#2 Format nama awalan “Wa”
Selanjutnya, format penamaan orang Jawa yang saya temui adalah “Wa”. Saya pun kadang heran dan kepo sambil mbatin, “Sebenarnya, bagaimana, sih, historis penamaan mbah-mbah ‘Wa’ ini?”
Pasalnya, penamaan dengan awalan “Wa” cukup banyak ditemui di sekitar sini. Kayaknya, nggak di desa saya saja, deh. Sebab, jika bisa mengelompokkan, nama “Wa” ini memiliki karakteristik tersendiri. Ada yang memiliki dua suku kata saja dan ada juga yang memiliki tiga suku kata. Contohnya, Wagito, Wagiran, Warsono, Waginah, Watini, Wakidi, Warso, Warto, Warno, Wanah, Wati, dan lain-lainnya.
Uniknya, di setiap penamaan ini saya pasti memiliki cerita unik. Sama halnya dengan kasus yang pertama. Saking banyak dan mirip, saya sering tertukar. Namun, kali ini bukan sebuah barang yang tertukar, tetapi namanya yang tertukar.
Kadang, saya sulit membedakan mana Pakde Warto, Warso, dan Warno. Sebab, bapak saya pun manggilnya juga aneh, sih. Masa ketiga-tiganya dipanggil “War” semua? Kan, saya jadi bingung.
#3 Format nama awalan “Tu”
Kemudian, penamaan orang Jawa yang sering saya temui adalah dari kelompok ibu-ibu format “Tu”. Pasalnya, beberapa ibu-ibu yang memiliki nama awalan “Tu” biasa berperan menjadi pedagang sayur (mlijo) atau membuka toko kecil-kecilan yang menjual berbagai macam snack. Seperti, Bulik Tugiyem, Tugimah, Tutik, Tukiyem, Tuminah, dan Tumini.
Kadang juga, nama “Tu” nggak selalu identik dengan ibu-ibu, kok. Ada beberapa paklik di desa saya yang kalau saya pergi ke sawah selalu menyapa saya. Seperti Paklik Tukiyo, Tumiran, Tursono, Tunggak, dan Paklik Tukino.
#4 Format nama awalan “Su/Soe”
Setelah itu, format nama Jawa yang paling populer di Indonesia adalah awalan “Su” atau “Soe”. Sudah nggak bisa dipertanyakan lagi, mulai dari tokoh berjasa sampai tokoh biasa-biasa saja. Rasanya nggak ada, deh, orang Jawa yang nggak memakai format ini.
Mungkin, kita mulai dari tokoh-tokoh besar saja, ya. Yup, ada presiden pertama RI Pak Soekarno, presiden kedua RI Pak Soeharto, presiden keenam RI Pak Susilo B. Yudhoyono, ada juga Panglima Besar kita Pak Soedirman. Selanjutnya, ada lagi bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Surjaningrat, dan tentu masih banyak lagi.
Namun, nyatanya format penamaan “Su” dan “Soe” di desa saya juga marak. Bahkan nama-nama ini akan sangat mudah ditemukan di berbagai daerah Jawa lainnya. Misalnya, tetangga saya Pak Sutikno, Suyitno, Sutrisno, Sukiran, Sugiyono, Suparlan, dan banyak wes pokoknya.
Yang jadi pertanyaan, mengapa awalan ini begitu populer? Saya pun akhirnya bertanya kepada Simbah yang sangat terkenal di seluruh dunia. Ya, yakni Mbah Google. Katanya, nama awalan “Su” atau “Soe” ini memiliki arti kebaikan/perilaku baik. Sebab, kata “Soe” sendiri sebenarnya diambil dari kata “Sae” yang dalam bahasa Jawa artinya bagus dan baik.
#5 Format nama akhiran “O”
Terakhir, format kali ini rasanya nggak akan bisa dibantah. Dengan menambah format ini, orang-orang luar Jawa akan langsung tahu bahwa orang ini pasti orang Jawa. Sebab, imbuhan akhiran “O” dalam penamaan Jawa memang sangat populer. Bahkan, format ini bisa masuk ke format-format sebelumnya, seperti pada format “Nga, Tu, Wa, dan Su.”
Ada beberapa nama akhiran “O” yang saya temui berdiri sendiri. Misalnya, Mujiono, Paino, Kartolo, Darno, Jarwo, Joko, Bowo, dan seterusnya.
Nah, itulah beberapa format penamaan orang Jawa yang sering kita temui. Meski anak muda (termasuk saya) jarang memakainya, format penamaan tersebut sepatutnya harus kita apresiasi. Sebab, pada dasarnya sebuah nama pasti mengandung doa dan harapan. Untuk itu, sebagai salah satu ciri khas, khususnya orang Jawa, format ini seenggaknya minimal harus kita kenali dan banggakan.
BACA JUGA Falsafah Orang Jawa yang Bisa Kita Contoh dari Sikap Squidward dan tulisan Adhitiya Prasta Pratama lainnya.