5 Alasan Mengapa Saya Nggak Suka Jadi Bridesmaid di Desa

5 Alasan Mengapa Saya Nggak Suka Jadi Bridesmaid di Desa

5 Alasan Mengapa Saya Nggak Suka Jadi Bridesmaid di Desa (unsplash.com)

Beberapa waktu lalu, saya mendapat tawaran untuk menjadi bridesmaid di pernikahan beberapa teman saya. Dengan alasan buat pengalaman sekalian coba-coba, saya menerima tawaran tersebut.

Saya berpikir, menjadi bridesmaid itu bakalan menyenangkan, seperti video-video yang sering saya lihat. Ternyata dugaan saya salah besar. Yang terjadi justru sebaliknya, saya kapok dan nggak akan mau lagi kalau ditawari untuk menjadi bridesmaid apalagi di desa-desa seperti tempat saya tinggal.

Lho, kok bisa? Memangnya kenapa?

#1 MUA-nya nggak punya banyak pilihan warna foundation

Salah satu hal fatal dari para MUA di desa ini adalah mereka nggak punya banyak pilihan warna/shade foundation. Rata-rata hanya punya satu, yaitu light beige untuk mengimbangi cahaya dan biar kelihatan bagus saat difoto.

Masalahnya, warna foundation light beige tersebut jelas amat-sangat nggak cocok dengan warna kulit saya yang sawo matang. Alhasil, yang saya takutkan benar-benar terjadi. Warna foundationnya nggak menyatu dengan warna kulit saya dan semakin lama semakin teroksidasi. Hal ini kemudian membuat muka saya entah berubah menjadi abu-abu atau menjadi tomat.

Pokoknya nggak banget, deh! Makanya saat menjadi bridesmaid di acara yang lain, saya pilih sewa MUA sendiri.

#2 Kerjaan bridesmaid di desa nggak jelas

Kalau di kota-kota, kerjaan bridesmaid mungkin memang sudah jelas karena sebelum-sebelumnya sudah sering dibriefing. Entah nanti ada adegan pesan-kesan sebagai sahabat, ikutan main games, atau ngasih surprise ke pengantin. Nah, di desa, konsep bridesmaid ini masih agak baru, jadi kerjaannya masih banyak yang belum jelas.

Selain membantu memberikan suvenir ke tamu undangan yang datang, saya nggak menemukan tugas-tugas bridesmaid yang lain kecuali buat foto-foto dan bikin video. Jadi, saya merasa banyak membuang-buang waktu hanya untuk menjadi bridesmaid ini.

#3 Habis banyak biaya

Kembali pada poin pertama, karena seringnya merasa nggak cocok sama pilihan foundation MUA-nya, saya memutuskan untuk menyewa jasa MUA sendiri. Tentunya karena ini kemauan saya sendiri, jadi saya harus merogoh kocek sendiri juga tanpa minta bantuan pada teman saya yang jadi pengantin.

Selain itu, menjadi bridesmaid juga kadang mendapat kain yang nantinya harus dijahit untuk menjadi seragam saat hari-H. Aturan nggak tertulisnya, sih, pihak pengantin hanya menyediakan kainnya, nanti orang-orang yang sudah ditunjuk jadi bridesmaid dan mendapat bagian kainlah yang harus menjahitnya sendiri. Tentu saja biayanya juga sediri, dong, hehehe.

Belum lagi biaya lainnya untuk kado, surprise untuk pengantin kalau teman-teman bridesmaid lain sudah bikin keputusan bersama, dan biaya lain-lainnya. Pokoknya banyak banget, deh.

#4 Bridesmaid di desa malah jadi bahan omongan julid tetangga yang lain

Namanya saja di desa, konsep rewang dan gotong-royong pas ada acara itu pasti kental banget, termasuk di desa saya. H-7 para tetangga biasanya sudah sibuk bantu-bantu di rumah yang punya hajatan.

Nah, para tetangga ini tentunya punya keponakan, cucu atau saudara perempuan yang penginnya semua dijadikan bridesmaid. Dalam benak mereka, konsep bridesmaid itu nggak melulu harus sahabat dekat si pengantin tapi boleh siapa saja, termasuk cucunya yang baru kelas 5-6 SD. Pokoknya, kalau terpilih jadi bridesmaid akan menjadi semacam kebanggaan gitu.

Gimana kalau nggak terpilih? Tentu saja menjulid bersama dan mengomentari para bridesmaid lain yang terpilih. Saya pernah dilihatin tepat di depan muka, dikomentari makeup-nya secara terang-terangan, dan dibandingkan dengan yang lain.

Lalu, komentar-komentar tersebut merebak dan berkembang liar di belakang, di area dapur tempat para tetua ibu-ibu rewang berkumpul. Jujur saja, ini beneran pengalaman paling menyebalkan dan bikin trauma. Sampai ibu saya juga ikutan komentar: mending jangan mau kalau diminta jadi bridesmaid lagi.

#5 Nggak suka jadi pusat perhatian

Saat ada pernikahan di desa, selain pengantin perempuan di atas pelaminan, bridesmaid adalah objek kedua yang bakalan paling sering menjadi pusat perhatian.

Sebagai orang yang nggak terlalu suka jadi pusat perhatian, menjadi bridesmaid tentunya bukanlah pekerjaan yang menyenangkan. Saya merasa menjadi pusat perhatian selama 4-5 jam, dengan makeup tebal, mata yang berat karena bulu mata palsu, juga baju yang gerah karena tempatnya sering kali panas.

Pokoknya nggak enak banget, deh. Pengalaman-pengalaman saya menjadi bridesmaid tadi saya rasa sudah cukup, deh. Saya juga nggak akan pernah mau kalau diminta jadi bridesmaid lagi. Mending saya jadi tamu biasa saja, bebas beli jajan juga tanpa harus takut dikomentari.

Penulis: Siti Halwah
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Pager Ayu, Sebuah Tradisi Mantenan Jawa yang Tergusur oleh Bridesmaid.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version