4 Jenis Kecurangan Skripsi yang Paling Sering Dilakukan, dari Ngakalin Turnitin sampai Pakai Jasa Joki Jahanam

Dosen Pembimbing yang Nggak Becus Tak Bisa Jadi Pembenaran Jasa Joki Skripsi. Mahasiswa kok Mentalnya Pengecut? Aneh! joki tugas

Dosen Pembimbing yang Nggak Becus Tak Bisa Jadi Pembenaran Jasa Joki Skripsi. Mahasiswa kok Mentalnya Pengecut? Aneh! (Pixabay.com)

Nggak bisa dimungkiri, skripsi merupakan fase yang menakutkan bagi mahasiswa akhir. Sebagian orang mungkin bisa melewati tahap ini dengan minim hambatan. Namun, ada sebagian lain yang terjebak dengan berbagai hal rumit, seperti pembimbing yang susah ditemui, kesulitan mencari data, bahkan nggak ngerti skripsinya mau diapain.

Sementara itu, tekanan dari luar pun turut bertambah. Mahasiswa akan menghadapi teror pertanyaan “Kapan lulus?” dan sosial media dipenuhi update kawan yang lulus lebih dulu. Sungguh, terjebak di situasi macam ini sangat menguras tenaga dan pikiran. Tak ayal, banyak yang bertindak curang asal skripsinya bisa selesai.

Nah, berdasarkan pengamatan saya, setidaknya ada 4 kecurangan paling umum yang dilakukan mahasiswa ketika skripsian.

Manipulasi temuan data

Kecurangan pertama yang paling sering saya temui adalah memanipulasi temuan data. Saya lebih sering menemui kecurangan ini pada mahasiswa yang mengerjakan skripsi kuantitatif daripada kualitatif. Tingkat manipulasinya pun beda-beda, mulai dari ringan sampai parah tergantung kasus yang dialami oleh mahasiswa.

Bagi yang skripsinya kuantitatif, manipulasi dilakukan dengan cara mengisi sendiri sebagian kuesioner, sedangkan sebagian yang lain diisi oleh subjek penelitian. Sementara untuk kualitatif, yang dimanipulasi adalah hasil wawancara. Biasanya, hal ini dilakukan demi efisiensi waktu, menghemat biaya, dan menghindari kerumitan ketika olah data.

Dalam hal ini, kerumitan yang dimaksud adalah data yang sudah diolah ternyata tidak sesuai dengan hipotesis atau teori yang disiapkan. Dengan kata lain, skripsinya nggak valid dan perlu disusun ulang. Namun, alih-alih merombak, mahasiswa justru melakukan cara “kreatif” dengan membuat seakan-akan temuan data berkorelasi dengan skripsi yang diajukan.

Mencurangi Turnitin dengan menyisipkan huruf atau simbol putih

Saat ini, semua kampus memiliki kebijakan bahwa setiap karya ilmiah atau skripsi harus melalui tahap cek plagiasi di situs Turnitin. Batas bawah persentase kemiripannya pun beragam, tapi rata-rata berada di kisaran 20–30 persen. Jika melebihi batas tersebut, mahasiswa harus melakukan parafrase pada skripsinya.

Namun, entah kenapa, parafrase bagi beberapa orang ternyata menjadi hal yang sangat sulit. Saya kira hal ini juga yang membuat joki parafrase bertebaran di X. Masalahnya, harga joki parafrase ini lumayan, sekitar Rp2.000 per turun 1%. Bayangkan, jika harus turun 10% saja, mahasiswa harus membayar Rp20.000, seharga dua porsi mie ayam.

Itulah sebabnya beberapa mahasiswa menggunakan cara yang sedikit ekstrem, yakni dengan menyisipkan simbol atau huruf acak di setiap kalimat, lalu diberi warna putih. Misalnya, kalimat “aku suka menulis” akan diubah menjadi “aku! suka! menulis!”. Nah, tanda “!” ini akan dibuat berwarna putih, sehingga kalimat akan tampak normal ketika dibaca sekilas.

Memang saat saya uji coba pun cara ini ternyata berhasil untuk menurunkan persentase kemiripan di Turnitin. Namun, bisa jadi masalah kalau kalimat tersebut dicopas ke dokumen lain, sebab akan langsung ketahuan kalau kalimatnya diakali.

Memasukkan banyak informasi yang nggak relevan ke dalam skripsi

Beberapa dosen pembimbing meyakini bahwa kualitas skripsi itu ditentukan bergantung pada ketebalan. Semakin tebal skripsi yang dibuat, semakin menunjukkan tingkat kecerdasan dan keseriusan mahasiswa. Sebab, skripsi yang tebal menjadi bukti kedalaman analisis yang dilakukan. Oleh sebab itu, tak jarang dosen pembimbing mewajibkan mahasiswa membuat skripsi setebal mungkin.

Masalahnya, saya nemu banyak sekali skripsi yang tebal, tapi isinya ampas. Saya bukan mau menghakimi, tapi memang begitu adanya. Bayangkan, ada skripsi yang memasukkan visi-misi daerah, tupoksi perangkat daerah, bahkan tutorial lengkap mendaftar di situs milik pemerintah daerah.

Maksud saya, ini kan informasi umum dan bisa diakses dengan mudah gitu, lho. Jadi, kayaknya nggak penting-penting amat sampai harus dimasukkan dalam skripsi. Saya juga yakin kalau pembaca nggak akan kehilangan konteks meskipun informasi macam itu ditiadakan. Informasi ini kesannya cuma buat nambah-nambahin halaman aja.

Ya, memang bikin jadi lebih tebal, sih, tapi dipenuhi informasi nggak penting daripada hasil analisis yang dilakukan. Padahal, poin utama skripsi itu ada di analisisnya. Hadeh…

Menggunakan joki skripsi

Kecurangan terakhir, sekaligus yang paling buruk, adalah mahasiswa yang menggunakan joki skripsi. Sejak awal, jasa macam ini memang diperuntukkan bagi mereka yang terlalu putus asa (untuk nggak menyebut tolol dan malas), tapi punya uang berlebih. Jadi, daripada memaksimalkan otak dan usaha, mereka lebih milih memaksimalkan pengeluaran.

Gini, lho, setidaknya sampai sekarang, skripsi masih menjadi bentuk pertanggungjawaban mahasiswa terhadap studinya. Jadi, kalau nggak bisa ngerjain skripsi, artinya belum layak lulus dan masih perlu pendalaman materi. Kalau gitu solusinya, ya, harus mau belajar lagi. Bukan malah bayar orang buat joki skripsi.

Sudahlah, skripsi itu intinya cuma membaca, diskusi, bimbingan, dan dikerjakan. Sulit memang, tapi bukan mustahil. Jadi, nggak usah sok ngide mau bertindak curang. Mahasiswa harus punya integritas, Gaes. Lagi pula, percayalah kalau pasti ada kebanggaan ketika menyelesaikan skripsi dengan usaha sendiri. Semangat yuk!

Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Skripsi Tak Hanya Sulit, Juga Mahal: Sudah Biaya Cetaknya Mahal, Berkali-kali pula, tapi Nggak Semua Dosen Mau Bimbingan Pakai Soft File

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version