4 Fesyen Feminin yang Ternyata Dulunya Dipakai Pria

4 Fesyen Feminin yang Ternyata Dulunya Dipakai Pria Terminal Mojok

4 Fesyen Feminin yang Ternyata Dulunya Dipakai Pria (Unsplash.com)

Dulu, high heels dan rok adalah dua fesyen feminin yang dipakai kaum pria, lho.

Fesyen seolah tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sepanjang perkembangan peradaban manusia, fesyen juga berkembang sehingga masing-masing zaman memiliki ciri khas fesyennya sendiri. Tren fesyen di suatu zaman bisa menjadi sesuatu yang sangat hits, namun di zaman yang berbeda, tren tersebut akan terkesan aneh dan konyol.

Melalui fesyen pula identitas gender sering kali tersematkan. Misalnya gaun menjadi fashion item yang sangat lekat dengan perempuan, sedangkan setelan tuksedo lekat dengan citra maskulin kaum pria. Tapi seperti yang sudah saya katakan di atas, tren fesyen tiap zaman itu berbeda-beda. Contohnya pada zaman dulu, makeup dan wig adalah dua hal yang lazim digunakan kaum bangsawan—laki-laki maupun perempuan—di Mesir kuno hingga Eropa abad ke-17. Di era sekarang, penggunaan makeup dan wig heboh bagi kaum laki-laki tentunya merupakan hal yang nggak umum.

Selain makeup dan wig, masih ada beberapa fesyen feminin yang dulu dipakai kaum pria, lho. Yuk, kita cari tahu sama-sama.

#1 High heels

Fesyen feminin pertama yang dulu dipakai pria adalah high heels. High heels populer di kalangan tentara Persia. Para tentara dan bangsawan Persia memakai high heels untuk menjaga kestabilan tubuh mereka saat berkuda. Caranya dengan membuat posisi kaki terkunci dengan baik pada sanggurdi. Sehingga saat berperang, mereka bisa lebih lincah memainkan senjata tanpa khawatir akan terjatuh.

High heels kemudian diperkenalkan ke Eropa. Selain untuk berkuda, bangsawan Eropa memakainya untuk menjaga kaki tetap bersih saat melewati jalanan kota yang berlumpur dan kotor. Saat itu, bangsawan perempuan juga mulai menggunakan high heels dengan bentuk heels yang lebih ramping ketimbang heels milik pria. Rupanya pemakaian high heels sangat disukai karena dianggap menambah wibawa pemakainya. Jadilah tren ini ikut berkembang di kalangan rakyat biasa.

Lantaran tak mau tersaingi, raja mulai mengatur ketinggian heels dan warna sepatu untuk menentukan status sosial pemakainya. Semakin tinggi heels-nya, semakin tinggi pula status sosial pemakainya.

Akhirnya setelah revolusi industri, saat inovasi kendaraan bermesin mulai ditemukan dan kuda tak lagi digunakan, kaum pria mulai meninggalkan high heels. Hingga kini, penggunaan high heels tetap menjadi tren di kalangan perempuan untuk alasan estetika penampilan.

#2 Legging

Fesyen feminin kedua yang dulunya dipakai pria adalah legging. Legging telah dipakai para pria sejak abad pertengahan sebagai pakaian untuk berperang. Untuk keperluan ini, sering kali ditambahkan pelindung baja yang melapisi bagian luar.

Saat itu, celana masih digunakan untuk membedakan pakaian wanita dan pria, makanya hanya kaum pria yang memakai legging. Legging bahkan menjadi tren fesyen yang digemari bangsawan Eropa di masa lalu.

Semenjak penemuan sepatu boot militer yang dinilai lebih praktis, para pria mulai meninggalkan legging. Pada abak ke-20, saat paham feminisme tumbuh subur, para wanita mulai menggunakan celana yang lebih fleksibel dibandingkan rok. Alhasil, legging juga mulai dilirik. Legging meraih popularitas puncaknya di kalangan wanita pada tahun 70-80’an saat demam disko, dansa, dan aerobik di pusat kebugaran melanda dunia.

#3 Rok

Sebenarnya rok telah digunakan manusia sejak zaman purba. Saat itu, rok adalah pakaian universal bagi semua gender. Namun, seiring berkembangnya nilai keberadaban manusia, perempuan beralih dari rok pendek ke jubah dan gaun panjang sebagai penutup tubuhnya. Rok pendek sendiri masih menjadi tren di kalangan pria. Contohnya di peradaban Mesir, Yunani, Romawi, dsb. Rok pendek dipilih karena lebih fleksibel ketimbang memakai jubah panjang.

Identitas gender mulai disematkan pada rok sejak abad ke-18 setelah revolusi Prancis. Saat itu, kaum pria memilih meninggalkan segala aksen dekoratif heboh pada pakaiannya yang membawa atribut kelas sosial. Kaum pria mulai melirik fesyen yang lebih simpel, termasuk celana. Oleh karena itu, rok menjadi benda fesyen yang lekat dengan citra feminin hingga sekarang.

#4 Warna pink

Fesyen feminin yang dulunya dipakai kaum pria adalah pakaian berwarna pink. Zaman dulu, warna pink adalah warna universal yang bebas digunakan oleh segala gender. Bahkan warna pink pernah menjadi warna yang dianjurkan untuk dipakai anak laki-laki lantaran pink merupakan turunan warna merah yang bersifat maskulin. Sementara itu, warna biru justru dianggap melambangkan kelembutan yang lebih sesuai untuk sifat feminin. Sekarang jadi terbalik, ya?

Warna pink jadi lekat dengan identitas feminin setelah Perang Dunia II. Saat itu, Mamie Eisenhower, istri presiden AS tahun 1953-1961, sering tampil di acara publik menggunakan pakaian bertema pink. Tren ini segera diikuti oleh artis-artis papan atas pada zaman itu seperti Audrey Hepburn. Selain itu, di era Nazi yang terkenal dengan holocaust-nya, logo segitiga pink digunakan untuk menandai tahanan dari kalangan homoseksual (mayoritas gay). Sehingga kemungkinan sejak saat itu mulai ada tendensi untuk mengaitkan warna pink ke dalam sifat feminin.

Polarisasi warna sebagai identitas gender (pink untuk anak perempuan, biru untuk anak laki-laki) mulai terasa sekitar tahun 80-an. Perusahaan fesyen merekonstruksi pikiran konsumen bahwa sejak kecil warna pakaian harus disesuaikan gender. Tujuannya tentu saja untuk strategi pemasaran agar mereka bisa menjual lebih banyak produk, karena di zaman dulu anak-anak biasa dipakaikan pakaian warna apa pun (umumnya putih) yang bisa dipakai bergantian tanpa terikat identitas gender.

Hingga saat ini, warna pink dalam dunia fesyen memang masih lekat dengan citra feminin. Tapi, nggak sebatas jadi warna kebesaran Barbie, warna pink juga kerap dipakai sebagai simbol gerakan aktivis perempuan. Ya setidaknya warna pink jadi punya power yang positif dengan cara ini.

Fesyen memang bisa menjadi instrumen untuk mengelompokkan gender. Namun, jika melihat fenomena yang sedang marak belakangan ini, tren kebebasan mengekspresikan diri memungkinkan monopoli gender terhadap fesyen akan memudar perlahan-lahan.

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 6 Tren Fesyen Jadul yang Sebaiknya Tidak Terulang Saat Ini.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version