4 Alasan Malang Nggak Perlu Bangun Mall Baru

4 Alasan Malang Nggak Perlu Bangun Mall Baru

4 Alasan Malang Nggak Perlu Bangun Mall Baru (unsplash.com)

Rasanya Malang memang sudah tak perlu membangun mall baru untuk seterusnya karena kota ini sudah terlalu semrawut.

Membicarakan Kota Malang memang seperti menjelajahi labirin, selalu ada hal baru tapi masalahnya tak kunjung habis. Salah satu isu klasik yang terus menghantui adalah soal tata kota. Lagi-lagi, saya harus membahas ini di Terminal Mojok. Sebelumnya, saya menulis tentang banjir di Malang, dan seperti yang sudah bisa ditebak, akarnya ada di tata kota yang semrawut.

Malang menawarkan gemerlap kehidupan kota besar. Mulai dari kafe, restoran, sampai mall, semuanya ada untuk memenuhi kebutuhan hiburan warganya, baik penduduk lokal maupun mahasiswa perantauan. Saking banyaknya, jumlah kafe dan resto di sini hampir tak terhitung. Tak heran kalau suasana Malang begitu ramai, layaknya Surabaya atau Jakarta. Meski mall di Malang tak sebanyak Surabaya, ada sekitar 10 mall yang pernah saya kunjungi, dan semuanya berada di pusat kota.

Akan tetapi dengan lahan yang kian sempit, Malang seharusnya tak lagi memerlukan tambahan mall baru. Kota ini lebih membutuhkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) ketimbang bangunan komersial. Inilah salah satu alasan mengapa Malang sebaiknya fokus memperbanyak RTH daripada menambah mall. Berikut alasan penting lainnya yang membuat Malang sebenarnya nggak perlu lagi membangun mall baru.

Menambah kemacetan 

Malang, kota yang katanya penuh kenangan manis, kini sudah kehilangan pesonanya. Saya ingin menyebutnya “Ngalam kota yang malang”. Sama seperti namanya yang Malang, masalah terus muncul, nggak kunjung mendapat perhatian serius dari pemerintah kota. Alih-alih berbenah, kota ini makin sesak oleh gedung-gedung komersial yang menjamur di setiap sudut. Ruang hidup juga makin sempit. 

Setiap tahun, ribuan mahasiswa baru datang ke Malang. Belum lagi para perantau yang ingin mencicipi gaya hidup slow living. Tapi, sejujurnya, Malang belum layak disebut kota slow living, jika setiap kali kita pergi belanja ke pasar, mall, atau supermarket saja harus berhadapan dengan kemacetan yang tiada ujung. Rasanya jauh dari gambaran hidup santai.

Titik kemacetan di kota ini malah terus bertambah. Pusat kota dengan sistem jalan satu arah bukannya mempermudah, malah bikin pusing kepala. Jalan alternatif yang sempit dan nggak layak hanya menambah daftar panjang penyebab kemacetan.

Lihat saja sekitar kampus Universitas Brawijaya. Setiap hari, dari pagi sampai petang, jalanan penuh sesak, apalagi di jam pulang kerja. Masuk ke Malang dari arah Arjosari dan Belimbing juga sama saja, macet lagi, macet terus. Nostalgia masa lalu yang menganggap Malang kota nyaman dan asri perlahan sirna, tergilas oleh antrean panjang kendaraan.

Macet kini sudah jadi rutinitas. Bukan cuma di jalan utama, bahkan jalan kecil dan gang alternatif pun nggak luput dari kemacetan. Ini disebabkan karena banyaknya jalan-jalan yang sempit karena banyaknya bangunan yang dipaksa untuk berdiri. Selain itu, banyak bangunan mangkrak yang dibiarkan begitu saja.

Malang sebenarnya sudah punya cukup banyak mall, jadi buat apa tambah lagi? Jika ada mall baru dibangun, tentunya lahan kosong makin berkurang. Jalan-jalan yang sekarang sudah sempit bakal makin sesak dengan kendaraan, bikin kita sulit bernapas.

Kalau ruang publik terus-menerus disulap jadi beton dan aspal, di mana lagi warga bisa menikmati kota yang ramah, nyaman, dan ramah untuk pejalan kaki serta pesepeda?

UMR Kota Malang nggak cukup untuk pergi ke mall tiap hari

Apa gunanya banyak mall keren di satu kota kalau upah minimum masih rendah? Contohnya di Malang, per tahun 2024 UMR-nya cuma Rp3,3 juta. Dengan angka segini, kecil kemungkinan warga lokal bisa ke mall tiap hari, bahkan sekadar jalan-jalan santai. Buktinya, banyak outlet di mall Malang yang malah tutup permanen.

Fungsinya sih sama seperti mall di kota besar, tempat hiburan dan rekreasi. Tapi, perputaran uang di Malang nggak bertumpu pada mal. Gaji Rp3,3 juta lebih banyak habis buat kebutuhan pokok. Kegiatan refresing dan rekreasi, paling-paling cuma bisa sebulan sekali, itu pun harus ngirit.

Bagaimana dengan mahasiswa perantauan yang juga banyak di Malang? Jangan salah, mereka juga jarang ke mall. Hiburan favorit mereka justru ke Batu, yang punya lebih banyak pilihan wisata seru.

Lagi pula pemandangan mall yang itu-itu saja bikin bosan. Siapa sih yang mau pusing lihat toko-toko sepi tiap hari. Apalagi sekarang banyak orang yang mulai mengubah gaya hidup mereka menjadi lebih praktis dengan beralih ke belanja online. Harganya sering lebih murah dibandingkan barang-barang di mal.

Coba perhatikan saja mall di Malang, khususnya Matos dan MOG. Area yang paling ramai dikunjungi adalah food court dan arena permainan anak-anak. Sementara itu, kebutuhan lainnya sudah bisa dipenuhi lewat belanja online yang jelas lebih hemat dan mengurangi pengeluaran.

Malang perlu memperbanyak ruang terbuka hijau bukan mall

Banyak warga lokal dan mahasiswa perantauan yang sering mengunjungi Batu untuk berwisata, membuat Malang sedikit kehilangan daya tariknya sebagai kota wisata. Setiap hari, mereka terjebak dalam rutinitas kota yang penuh tantangan, terutama kemacetan.

Kota ini pun terasa sesak dengan bangunan-bangunan yang semakin padat, sehingga nggak ada lagi area yang mampu menyegarkan mata. Warga yang sudah lelah bekerja atau berkuliah sepanjang minggu pun berharap bisa menikmati suasana yang lebih segar dan menyenangkan di luar kota.

Mirip dengan kebiasaan warga Jakarta yang sering menyempatkan diri untuk berlibur ke Puncak, Bogor, Malang juga butuh tempat yang bisa memberikan kesejukan dan ketenangan. Namun, masalahnya adalah minimnya ruang terbuka hijau di kota ini. Malang justru lebih butuh ruang terbuka hijau daripada pembangunan mall yang semakin memperpadat kota. Ruang terbuka hijau bisa menjadi tempat bagi warga untuk relaksasi, olahraga, atau sekadar menikmati udara segar.

Sebuah kota yang sehat dan nyaman memang lebih membutuhkan ruang untuk bernapas, bukan hanya tempat belanja atau hiburan semata. Dengan adanya ruang terbuka hijau, Malang bisa menjadi tempat yang lebih hidup dan menarik, baik untuk warga lokal maupun pengunjung yang datang.

Lebih baik perbaiki fasilitas mall yang sudah ada daripada menambah jumlah mall baru

Beberapa mall di Malang tampil megah dan modern dengan desain bangunan yang nampak sempurna. Namun, kalau dilihat lebih dekat, banyak yang bermasalah, yaitu lahan parkir yang minim. Kekurangan ini memicu munculnya parkir liar yang malah bikin jalanan di sekitar mal jadi macet. Contohnya, parkiran di Malang Town Square (MOG) dan Malang Plaza.

Di sana, motor-motor diparkir di badan jalan, membuat arus kendaraan tersendat. Terutama di MOG, jalan di depannya sudah sempit, tetapi tetap digunakan untuk parkir. Ditambah lagi, pintu keluar mobil mall langsung mengarah ke jalan tersebut, kemacetan pun jadi pemandangan sehari-hari.

MOG sebenarnya memiliki lahan parkir basement, tapi kapasitasnya terbatas. Sebagian area parkir motor dialihkan ke luar gedung yang masih dalam satu area mall. Namun, masih banyak pengunjung yang parkir motor di luar area mall. Padahal jalan itu bukan tempat parkir dan seharusnya tetap berfungsi sebagai akses kendaraan.

Belum lagi pemandangan di depan Matos, ojol yang kerap menjemput dan menurunkan penumpang di tepi jalan menambah kesemrawutan. Tanpa area khusus untuk mereka, kemacetan jadi tak terhindarkan.

Sebagai pusat perbelanjaan, mall seharusnya memberikan kenyamanan lebih bagi pengunjung. Fasilitas parkir yang layak, dengan ruang cukup dan atap pelindung, akan membuat pengalaman berbelanja lebih aman dan menyenangkan. Alih-alih memikirkan membangun bangunan komersil baru, lebih baik perbaiki saja fasilitas mall Malang yang sudah ada. 

Itulah beberapa alasan yang membuat Malang nggak perlu lagi membangun mall baru. Sudah saatnya kota ini berbenah agar menjadi lebih layak untuk semua orang.

Penulis: Nuruma Uli Nuha
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Toilet Mall Berbayar di Malang, Pungutan yang Dinormalisasi Warga Malang tapi Aneh di Mata Orang Luar.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version